Selasa, 19 April 2016

#MatahariAkar [Partner in Crime]

Jadi ceritanya selama di Tokyo ini gue telah menemukan seoang partner in crime, namanya Mbak Indri. Nama lengkapnya adalah Indria Wahyu Mulsanti. Dunia memang sangat sempit, Mbak Indri ini adalah adik bungsunya Bu Rini (laboran TIN), yang membuat makin sempit yakni Bu Rini adalah teman kuliah om gue (yang hanya selisih umurnya setahun di bawah Ibu) dahulu.

Bersenang-senang (I use the word 'bersenang-senang' instead of  'menggila') bersama Mbak Indri ini seru. Hal paling serunya adalah kami sama-sama suka makan. Kalau sedang badmood, kami dikasih makan juga bisa langsung jadi 'bener' lagi. Di samping itu, rentang makanan pilihan yang acceptable di lidah kami juga juga lumayan banyak (tapi nato tidak termasuk) sehingga urusan makan jadi lebih simpel. We live in Japan now, so why we should hardly try to find Indonesian food here.

Please remind me, someday I want to make post(s) about "What should you prepare for going abroad". I'm so sorry for my belepotan grammar.

Mbak, if someday you find this post, I swear, aku ga nulis yang aneh-aneh tentang dirimu.
Hehehe

Mbak Indri sering bilang bahwa doi ga bisa masak. Sesungguhnya masakan Mbak Indri enak, tapi doi males masak kalau mood-nya sedang ga sesuai. Mbak Indri juga hanya masak untuk memenuhi kebutuhan perut sendiri dan lebih memilih untuk ga masak untuk orang lain (mungkin juga karena aspek selera tiap orang yang beda dll). Sama persis kayak gue.

Selama Fall Semester kemarin tiap doi uring-uringan maka ga lama setelahnya kami akan berpetualang, haha. Work hard, play harder, coy. Kayaknya di Spring Semester ini kalau gue udah mulai uring-uringan, mungkin ga lama setelahnya kami akan berpetualang juga, hahaha.

Bagi gue yang anak sulung, bertemu Mbak Indri adalah serasa bertemu kakak. Bagi Mbak Indri yang anak bungsu, mungkin bertemu gue jadi serasa bertemu adik.

Ngobrol dengan Mbak Indri juga seru. Doi pernah bilang suka dengan cara gue yang mencoba membaca komposisi makanan tiap kali mau beli sesuatu karena di sini kami menemukan orang-orang yang tiap kali belanja itu hobi banget bertanya mengenai makanan yang ada di keranjang belanjaan kami, "Emang itu bisa dimakan?". Gue tau itu maksud sebenarnya baik, dia memastikan apakah ini bisa dimakan atau enggak, mengandung bahan tertentu yang kira-kira ga boleh atau enggak, but trust me sometimes in many cases that's very annoying. Logika sederhananya adalah kami ga akan dengan sengaja memakan makanan yang kami tau itu ga boleh dimakan. That's it.

Kalau inti obrolan waktu itu bersama Mbak Indri adalah,
"Itulah alasan kenapa Allah nyuruh kita untuk belajar. Biar punya ilmu. Trus dipakai ilmunya."
Belajar baca hiragana/katakana/kanji lalu dipakai ilmunya untuk baca komposisi produknya. Yang versi lebih canggih adalah install Google Translate, trus foto bagian yang mau diketahui artinya, tadaaaaa, muncul terjemahannya.
"Kamu kan di TIN, nah, jadi udah belajar juga kan proses pembuatan ini-itu"
Sehingga dapat meganalisa mana yang sekiranya proses pembuatannya melewati titik kritis kehalalan tertentu atau tidak.

Obrolan tersebut bagi gue sampai saat ini adalah obrolan paling menenangkan untuk urusan makan.

Kami hobi jalan-jalan, mulai dari yang tujuannya adalah memang untuk berjalan ataupun ada tujuan lainnya yang agak sedikit lebih jelas semisal untuk makan atau cuci mata. Salah satu pengalaman pertama kami makan berdua adalah makan sushi di sushi bar dekat Koganei Kouen. Itu adalah kali pertama Mbak Indri makan sushi tanpa ada senpai Indonesia lain yang lebih jago sekaligus kali pertama gue makan sushi. Hasilnya? Kami norak banget di tempat sushi, pakai acara ga tau bagaimana cara mengambil sushi di belt conveyor *aduh maaf ya ini penulisnya adalah anak industri yang kadang sering ga tau istilah 'normal'nya namanya apa* yang memutari restoran.

Perjalanan berdua yang entah kesekian kalinya ini agak sedikit lebih cerdas. Kami makan sushi di sushi bar lain. Kali ini kami makan ketika jam orang makan malam, alhasil antre-nya cukup panjang. Dengan bahasa Jepang yang belepotan, gue tanya ke kasir bagaimana caranya kalau kami mau makan, lalu mbak cantik di kasir itu menunjuk sebuah touchscreen tanpa ngasih tau apa-apa lagi. Mau nyambit ga itu rasanyaaaaaa T_T

Layar itu menggunakan bahasa Jepang lalu kami membaca dengan terbata-bata, haha. Inti besar dari touchscreen itu adalah mengonfirmasi berapa orang yang mau makan dan mau makan di mana apakah di counter atau di meja. Makan di counter serasa di kartun-kartun Jepang banget gitu, sushi akan berjalan menggunakan belt conveyor di depan meja kita dan kita tinggal comot gitu aja. Tapi sejauh ini kami selalu memilih makan di meja karena bisa sambil ngobrol (kalau di meja, belt conveyor-nya ada di samping meja). Ukuran meja makannya juga besar, pernah kami menyaksikan se-geng enam orang makan di meja. Da kami mah makan cuma duaan. Haha..

Hampir di tiap piring terdapat dua sushi, akhirnya tiap pesan suatu menu kami hanya pesan satu aja lalu sushi-nya dimakan berdua. Urusan bayarpun jadi agak sedikit lebih simpel, tinggal dibagi dua. Ini adalah hasil karya kami makan sushi dengan sukses.
Enam belas piring
((ENAM BELAS))

Karena penasaran, di lain kesempatan kami juga sempat berkelana ke Shinjuku untuk mencari ramen halal. Kami pergi di penghujung winter-permulaan spring. Kami berangkat dengan jaket winter dan pulangnya melepas jaket karena kegerahan, haha.
Ramen!! Yuhuuuu~

Pernah juga kami berkelana ke Asakusa dan setelahnya beli meron pan (roti melon). Sesungguhnya meron pan ini bukan roti rasa melon, melainkan hanya bentuknya saja menyerupai setengah melon. Di pinggir kios meron pan itu ada replika kue yang bisa dijadikan properti foto.
Maafkan ekspresi kami yang memang seperti ini

Kisah meron pan juga ga beda jauh dengan kisah ramen Shinjuku. Ujung-ujungnya kami lepas jaket karena dunia sudah mulai panas. Ga lama setelah meron pan, kami masih aja nyari ramen halal juga di sekitar sana.
Ramen (again), tapi beda tempat

Hampir setiap bersenang-senang dengan Mbak Indri, gue mengabari orang rumah. Kalau sudah begini, Ibu akan jadi orang yang paling senang karena yakin anaknya akan makan dengan cukup di hari itu.

Masih ada 6 bulan lagi sebelum gue pulang. Masih banyak juga wilayah yang menunggu untuk kami jelajahi. Semoga sepulangnya gue nanti Mbak Indri dapat menemukan orang lain yang bisa diajak untuk bersenang-senang lagi biar hidup jadi lebih berwarna.
Aamiin :)

Tidak ada komentar: