Minggu, 15 Januari 2017

STEP@TUAT; A How To (Part 1)

Sehubungan dengan post sebelumnya, pada post kali ini gue mau bercerita mengenai bagaimana proses persiapan gue untuk mendaftar program STEP. Gue mendaftar STEP dua tahun lalu, berangkat pada Oktober 2015, dan sudah kembali ke Bogor pada September 2016.

First of all, I want to tell you that having a whole year not in your hometown itu harus dikompensasi dengan hal yang tidak sedikit. Gue pribadi kehilangan banyak momen bersejarah dari teman-teman gue. Gue melewatkan setahun periode wisuda, beberapa belas nikahan, dan entah berapa lahiran. Gue ga bisa mendampingi pas ibu harus tengah malam ke rumah sakit (untungnya ga kenapa-kenapa, cuma sempet ngedrop doang), gue ga bisa hadir ketika ibu pelantikan naik jabatan, ga ikutan acara liburan keluarga ke Bukittinggi, and so on.

Dengan sebegitu banyak hal yang gue lewatkan di Bogor dan sekitarnya, yang bisa gue lakukan selama di Jepang adalah bersenang-bersenang. Hahaha. Jangan sampai gue menyesal karena ga bisa merasakan momen di Bogor dan sekitarnya, lalu ditambah di Jepang juga cuma diem-diem aja.

Oke, stop ngelantur dan curhatnya, let's start.

Pada tulisan kali ini (dan yang akan datang) gue mau menceritakan mengenai beberapa syarat kelengkapan berkas yang proses mendapatkannya agak lumayan. Definisi 'lumayan' di sini artinya tidak melulu sulit, bisa jadi tricky, malesin *misal, urusan ke DIT.AP IPB*, ngabisin duit tabungan, and so on.

Surat rekomendasi
Dari sekian banyak syarat pendaftaran, salah satu yang bikin deg-deg-ser adalah surat rekomendasi dari dosen. Diminta 2 pula.

Usul gue sih yang pertama adalah jelas dosen pembimbing. Ibaratnya selama di kampus, beliau lah orang tua kita. Kunci lulus atau enggaknya kita (kuasa Allah sih pasti ya) juga ada di tangan beliau. Dengan minta rekomendasi dari beliau, semisal nanti lolos juga enak ketika ngadep untuk laporan. That's what I did 2 years ago. "Pak, terkait surat rekomendasi exchange yang waktu itu, Alhamdulillah saya lolos..". Ga mungkin kan kita ngilang setahun ke negara orang dan Si Bapak ga tau. Ga sopan juga lagian kalau ga bilang.

Secara ga langsung, ketika beliau bikin surat rekomendasi untuk kita itu beliau merestui bahwa anak bimbingnya punya probabilitas ngilang setahun ke negara orang, haha.

Meminta rekomendasi ke beliau juga nanti bisa bikin enak ngobrol untuk ke depannya, variabel penelitian bisa dikurangi atau enggak (karena takut keburu berangkat), apakah setahun ini mau dijadiin cuti atau enggak, sks dari sana mau diakui di Indonesia atau enggak, mau penelitian di Jepang atau di Indonesia, dan lain sebagainya.

Usul untuk dosen kedua, cari dosen yang kita dekat dengan beliau. Entah karena kita jadi asisten mata kuliah beliau lah, entah karena kita aktif ketika beliau ngajar lah, entah beliau temen orang tua kita lah, entah beliau orang tuanya temen deket kita lah, entah apapun lah. Pastikan juga beliau "ngeuh" sama kita. Kalau kita ngerasa dekat tapi beliaunya kagak ngerasa sih itu namanya kebanyakan ngarep.

Kenapa nyari yang dekat? Karena kalau sama yang dekat, insya Allah rekomendasinya bagus. Lagian gunanya nyari surat rekomendasi kan untuk 'menjual diri'. Kalau minta rekomendasi ke dosen yang kita sering telat datang kuliahnya mah berabe.
"..mahasiswa ini kurang bertanggung jawab karena sering terlambat datang ke kuliah saya.."
END
Bhay

Alternatif lain, cari dosen yang sering stand by di kampus. In case ada perintilan yang kelewatan, gampang untuk nyarinya lagi. Dua tahun lalu gue memilih dosen kedua untuk rekomendasi dengan cara seperti ini. Entah sial atau hoki, ternyata ada hal yang masih harus ditambahkan setelah gue mengumpulkan berkas. Lucky me, Si Ibu mudah ditemui, Alhamdulillah.

Berkas rekomendasi dosen ini ada formatnya di form pendaftaran dan gue hanya meminta beliau-beliau untuk mengisi saja (dengan kata-kata yang sudah gue tulis terlebih dahulu, hehe). Ternyata eh ternyata, agar lebih resmi dan rahasia. Ditmawa meminta agar kertas selembar tersebut dimasukkan ke dalam amplop putih, di-seal, lalu dosen yang bersangkutan mendatangani seal-nya sebagai tanda bahwa bener lho surat ini dibikin beliau dan ga gue otak-atik.

Actually ga rahasia-rahasia amat sih, gue udah kepalang baca tulisan Bapak tentang gue (ketika mau ngerapihin berkas sesuai halaman) dan gue jadi terlihat keren di surat rekomendasi dari Bapak. I love you full lah, Pak.

Alternatif lain (lagi), cari dosen yang gelarnya profesor. Berhubung tujuan exchange ini adalah untuk pendidikan, berhubung profesor adalah gelar tertinggi dalam dunia akademisi, ya pikir deh ya hubungannya apa, hahaha.

Keterangan kemampuan bahasa Inggris
Ini mah ga ada cara lain, ya tes atuhlah.

Kalau kita ngerasa skill English kita ga cupu-cupu amat, sekalian aja tes beneran. Dua tahun lalu itu gue ikutan TOEFL PBT di UPT Bahasa IPB di Kampus Gunung Gede, harganya 400 ribu (untuk 2017 ini pekan lalu gue cek, harganya udah jadi 500 ribu). Tes beneran ini umumnya berlaku selama dua tahun, or at least ada semacam rahasia umum dan kesepakatan bersama bahwa itu bisa digunakan selama dua tahun. Lumayan bisa dipake untuk syarat SKL dan ngelamar kerja kalau udah lulus *itu sih gue*.

TOEFL ini menurut gue agak risky, tricky, dan ngabisin uang tabungan gue. Dua tahun lalu TOEFL di IPB diadakan tiap minggu, minggu ini di Dramaga, minggu depannya di Gunung Gede, gitu terus berulang. Sistem TOEFL di IPB itu pakai kuota, jadi kalau kuotanya udah penuh ya ikutan sesi setelahnya. Nah berhubung gue ngincer yang di Gunung Gede biar ga terlalu jauh dari rumah dan ternyata kuotanya udah penuh, alhasil gue baru tes pada Sabtu ketiga setelah pendaftaran dan hasilnya baru bisa diambil sekitar 8-12 hari kerja setelah tes. Tricky abis kan? Hahaha. Syarat ini sepertinya harus dikerjain duluan.

Kalau ikutan yang TOEFL prediction gitu di tempat-tempat les di Bogor, harganya skitar 150-200 ribu dan cuma berlaku 3-6 bulan. Trus ga resmi pula, power-nya ga sesakti hasil tes beneran.

Selain TOEFL, mau IELTS atau apa juga boleh. Intinya bukti yang menyatakan bahwa kita bisa bahasa Inggris karena selama perkuliahan (kecuali mata kuliah Bahasa Jepang) menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.

Karena pendaftar dari IPB yang cukup banyak di tahun gue mendaftar (ada 7 orang), maka dilangsungkan sesi wawancara untuk semacam 'seleksi tambahan' dari IPB. Gue yakin bahwa hasil TOEFL gue yang ketika itu belum menyentuh angka 500 bakal dijadikan topik hangat ketika wawancara..
..dan bener aja.

Akhirnya gue ngeles ketika wawancara (pakai bahasa Inggris pula) bahwa poin utama dari komunikasi bukanlah tentang kesamaan bahasa, tetapi saling mengerti antara kedua pihak yang berkomunikasi.
Tsaaaaaaah
Gaya banget kan gue
*ditimpuk

Thanks to modul daskom yang pernah iseng dibaca.
:D

----------

Inilah dua dari beberapa hal yang bagi gue paling dagdigdug pas mengusahakannya. Hal lain yang ga-se-dagdigdug dua hal ini akan disambung secepatnya.

いじょうです
ありがとうございます
*bowing

(Dibaca: Ijou desu, arigatougozaimasu; Artinya: that's all, thank you)

Tidak ada komentar: