Senin, 13 Juni 2016

#MatahariAkar [Persiapan Besar Sebelum Merantau di Luar Negeri]

Setelah delapan setengah bulan tinggal di negara orang lain, akhirnya gue menyimpulkan bahwa ada sebuah hal besar yang perlu dipersiapkan sebelum mencoba untuk merantau ke negara lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal itu adalah kesiapan mental.

Setelah gue kerucutkan, salah satu mental dasar dalam urusan rantau-merantau ini adalah aplikasi dari beberapa jenis pepatah,
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya"
"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"
Intinya sama, hormati dan patuhilah adat-istiadat serta kebiasaan setempat.

Judulnya juga merantau, ga perlu ditanya lagi bahwa tanah yang menjadi tujuan kita memiliki adat-istiadat dan kebiasaan yang berbeda dengan tanah yang biasa kita pijak. Jangankan jauh-jauh ke luar negeri, beberapa kota yang tetanggaan aja adat istiadatnya bisa beda, misal di Bogor mungkin ga akan ada yang menyebut bahwa liburan ke pantai itu mudah-murah-meriah secara Bogor ga punya pantai, beda dengan Sukabumi yang punya Pelabuhan Ratu.

Sebenarnya, ada kesimpulan yang lebih inti, yaitu..
Belajar bertanggung jawab.
Jalanilah segala konsekuensi dari pilihan yang diambil, dalam kasus ini adalah pilihan untuk hidup di luar negeri. Jangan cuma mau enaknya saja punya judul gelar akademis lulusan luar negeri, mencantumkan di CV bahwa pernah kuliah/kerja di luar negeri, tapi ga mau (mencoba) patuh dengan cara hidup di negeri yang bersangkutan. Itu namanya egois.

Selama hidup sehari-hari di Jepang dalam delapan setengah bulan ini, ada beberapa kasus yang benar-benar membuat gue gerah. Kasus-kasus nyata yang gue alami sendiri di sini. Kasus-kasus yang -di mata gue- pelakunya itu egois. 

Kasus 1
Sampah
Mungkin sudah pada paham teori mengenai urusan buang sampah di Jepang ini termasuk ribet. Sampah harus dipisah-pisah menjadi sampah burnable, unburnable, dan sampah berwujud agak besar seperti misal pecahan gelas atau payung. Di samping itu ada pula ketentuan untuk membuang karton tetrapack, kaleng, beling, dan botol minum kemasan PET. Ditambah jadwal buang sampah juga ada harinya dan tiap katagori sampah ada plastik khusus untuk membuang dengan warnanya tersendiri, jadi di hari tersebut kita diminta menaruh sampah yang bersangkutan (tentunya dengan plastik yang sesuai) di depan rumah sebelum jam  8 pagi agar dapat diambil oleh mobil sampah. Plastiknya sendiri harus beli, tapi harganya manusiawi kok.

Jadwal buang sampah, lengkap dengan warna plastik sampah yang semestinya

Di international house tempat gue tinggal ini ada bak sampah tertutup cukup besar di halaman depan sehingga banyak yang membuang sampah tidak pada waktunya karena toh dapat tertampung di bak sampah dan baunya ga ke mana-mana. But that's not the right one.

Hal yang mau gue kritisi sebenarnya bukan masalah jam buang sampah, melainkan apa yang sering gue temui ketika membuka bak sampah untuk buang sampah. Sangat sering gue menemui sampah yang dibuang bukan dalam plastik yang semestinya. Banyak yang buang sampah di dalam plastik-plastik  berbelanja di supermarket. Salah satu yang berkali-kali gue pergoki adalah dua orang dari negara yang sama di benua yang berawalan huruf A (nahloh bingung kan, hampir benua berawalan huruf A).

Di bawah ini bahkan keadaan di depan pintu kamar salah satu dari mereka, gue cukup yakin plastik itu berisi sampah, tapi itu bukan plastik sampah yang seharusnya.
Sampah dengan plastik yang tidak semestinya

Kalau di mata gue, itu namanya egois.

Kasus 2
Attitude
Jadi ceritanya tahun fiskal di Jepang itu dimulai dari bulan April. Itu awal musim semi, ada sakura mekar *terooooos?*. Tahun ajaran sekolah juga dimulai sejak April. Khusus untuk universitas, untuk menyesuaikan dengan banyak kampus di luar Jepang (dengan maraknya kesempatan berkuliah di luar negeri), akhirnya ada juga tahun ajaran yang start di bulan Oktober.

Gue tinggal di asrama dekat kampus. Dekat banget. Di Jepang ini juga ada keluarga besar Indonesia yang kuliah di wilayah sekitar tempat gue tinggal (bukan hanya di kampus gue ini saja) dan kami punya grup line yang tiap tahun dibikin baru (isinya adalah orang-orang yang ada di kampus pada tahun itu, jadinya gue ga se-grup bareng Si Teteh karena kita exchange di tahun yang berbeda, jadinya pula para veteran ga terganggu dengan obrolan kekinian tentang Jepang).

Pada akhir Maret lalu, banyak apato (apartment) atau -sebut saja- kostan yang sudah habis masa berlakunya karena penghuni yang bersangkutan sudah pindah atau lulus. Ada seorang mbak yang mengiklankan kostannya di grup. Salah satu hal yang gue garis bawahi dari pesan Si Mbak di grup adalah ibu kost-nya bilang bahwa berita ini boleh disebar ke mahasiswa asing tapi tolong jangan ke orang B*******sh dan P******n (dua buah negara di Asia Selatan).

Di situ gue langsung melongo, masih dengan posisi terakhir sambil liat grup dan pegang hape.
Gileh..
Kalau kelakuan kita aneh-aneh di negara orang bukan cuma nama kita aja yang jelek, tapi nama bangsa juga bisa rusak.

Mengapa gerangan sang ibu kos sampai melarang?
Jadi ceritanya penghuni sebelumnya yang dari negara tersebut itu kalau bayar air dan listrik suka nunggak, suka berisik dan pernah sampai diprotes tetangga, juga buang sampah seenaknya (plastik ga sesuai, sampah ga dipisah, waktu buang ga sesuai). Pantas aja ibu kosnya juga emosi.

Kalau di mata gue, itu namanya egois.

Kasus 3
Living cost
Urusan living cost juga kasus yang sering membuat gue nyengir sinis (yang kenal dan pernah liat muka jutek gue pasti kebayang lah ya bentuknya senyolot apa). Ini sebenarnya kasus yang lucu, sekaligus banget-banget egois.

Untuk kasus gue yang hidup di Tokyo, living cost di sini mahal. Banget. Tapi sebenarnya itu bukan masalah besar karena beasiswa yang gue dapatkan juga besar. Kalau kebetulan ga dapat beasiswa dan mencari kerja, Insya Allah juga mencukupi untuk hidup (asal ambil shift kerjanya yang rajin aja). Beasiswa gue sebulan di sini, gue yakini lebih besar daripada sebulan gaji freshgrad di perusahaan multinasional di Indonesia.

Lembaga pemberi beasiswa tentunya ga ngasal ketika menentukan nominal beasiswa. Jumlah beasiswa sebesar itu (berapapun itu yang didapat oleh para beaswan) pasti telah dikalkulasi dan disesuaikan dengan living cost di negara atau kota yang dituju (untuk kasus gue, Tokyo), apalagi di Jepang belum nemu tuh hal yang dikerjain secara ngasal sehingga gue percaya bahwa kalkulasi jumlah beasiswa segitu memang cukup untuk dipakai hidup di Tokyo.

Di program exchange ini, ada juga teman-teman yang berasal dari negara-negara yang living cost-nya ga sesadis Tokyo (termasuk Indonesia), dan di sini hal yang menyebalkan terjadi.

Hal yang sangat sering teman-teman gue lakukan adalah membandingkan harga antara di Tokyo dan di kampung halaman mereka. Entah pola pikir gue yang ngaco atau gimana, tapi gue nyaris tidak pernah melakukan hal itu. Alhamdulillah, uang beasiswa guepun aman-aman saja, ga pernah tuh sampai ngutang karena uang bulanan abis (palingan minjem karena lupa bawa dompet atau beli sesuatu berdua dan ditalangin dulu untuk sekalian mecahin uang), ga pernah juga tuh gue setiap hari sampai harus puasa atau makan telor doang di akhir bulan karena lupa diri dan boros di awal bulan.

Apa hasilnya ketika mereka membandingkan harga antara di Tokyo dengan harga di kampung halaman? Teman-teman gue itu banyak yang pada akhirnya udah melampaui fase hemat dan irit, itu bahkan beberapa kali sudah sampai pada fase menjadi cenderung pelit dan dzalim terhadap diri sendiri. Pada akhirnya malah mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok diri sendiri karena ya itu tadi, harga di sini lebih mahal dibanding harga di kampung halaman.

Studi kasus nyata,
Selama winter kemarin, jangan tanya dinginnya kayak apa. Bagi gue yang makhluk tropis, pengalaman dingin saat itu benar-benar "..for the first time in forever.." *sambil nyanyi*. Tentunya mulai dijual juga segala perlengkapan winter mulai dari coat, sepatu/boots winter, sarung tangan tebal, dan lain sebagainya.

Sebutlah teman gue namanya Lili (bosen Mawar terus, haha) dia sudah dari jauh-jauh hari merasa kedinginan tapi tak kunjung beli sepatu winter. Mahal, katanya. Memang sih kalau diubah jadi kurs rupiah (berhubung kurs yang gue pahami cuma rupiah doang) jadi cukup mahal, sekitar 200-350 ribuan, dan sepatu itu akan cuma dipakai kurang dari 4 bulan. Alhasil doi tidak kunjung membeli sepatu winter.

Di mata gue, itu namanya egois.

Padahal sepatu winter itu (at least, bagi gue) benar-benar berguna kala winter. Dia memang didesain untuk hal itu, broh. Sol sepatu yang ga licin, cocok untuk dipakai berjalan di atas salju. Bahan di dalam sepatunya hangat, biasanya bulu-bulu atau kulit *maaf gue bukan promosi*. Gue sendiri punya boots winter dua pasang, yang satu bawa dari Indonesia karena pernah dibelikan Ibu ketika beliau berdinas ke negara yang pas-pasan sedang winter, yang satunya lagi warisan dari angkatan terdahulu. Sepatu boots winter yang dari Ibu itu bahannya kulit, sedangkan yang warisan itu di bagian dalamnya ada bulu-bulu.

Hingga pada suatu hari, beberapa hari setelah salju turun dengan sangat lebat, jalanan sempat terasa sangat licin. Pada siang hari salju meleleh karena suhu yang di atas 0 derajat Celcius, tapi pada malam harinya kembali membeku karena suhu yang di bawah 0 derajat Celcius. Begitu terus selama beberapa hari.

Di sinilah kasus Lili terjadi. Doi pakai sepatu biasa, bukan sepatu winter, ketika dunia sedang licin kayak gitu. Hingga pada akhirnya entah bagaimana caranya doi terpeleset ketika sedang berjalan kaki karena sepatunya licin. Lecet-lecet dan memar ringan, untungnya keadaan doi bisa dibilang baik-baik saja. Tapi hal yang mengenaskan adalah hapenya terlempar ketika doi kepeleset. Layar sentuhnya retak. Rusak. Ga bisa dipakai lagi.

Pesan moral yang sangat berharga bagi gue adalah,
Cerdas-cerdaslah menentukan prioritas.
Sama diri sendiri, jangan pelit-pelit amat lah~
Sok-sok ide hemat 2000-3000 yen, akhirnya malah harus keluar uang lebih dari sepuluh kali lipatnya untuk beli hape baru.

Epilog (I)
Sekian kisah gue kali ini, mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh, lokasi, atau kejadian, karena bisa jadi memang itu kisah mengenai anda. Terima kasih telah memberikan banyak pelajaran berharga untuk gue.

Epilog (II)
Sekali lagi,
Jangan cuma mau enaknya aja punya judul gelar akademis lulusan luar negeri atau mencantumkan di CV bahwa pernah kuliah/kerja di luar negeri, tapi ga mau (mencoba) patuh dengan cara hidup di negeri yang bersangkutan. Itu namanya egois.

Selamat hidup di luar negeri.
Selamat belajar bertanggung jawab.
Selamat belajar menganalisa tiap keputusan, lengkap dengan menghadapi segala konsekuensinya.
Selamat belajar untuk tidak egois.
:)

Tidak ada komentar: