Kamis, 29 Agustus 2013

Menghargai Diri

"Sometimes, you have to make sure. Apakah Kakak sebenernya diperlukan atau enggak di organisasi dan kepanitiaan yang Kakak ikutin? Ada-tidaknya Kakak itu berpengaruh apa enggak di organisasi dan kepanitiaan yang Kakak ikutin? Salah satu caranya ya kayak gini, menghilang sebentar, 1-2 hari juga cukup, yaaa maksimal 3 hari lah. Kalau Kakak emang dibutuhin, orang-orang akan ngerasa kehilangan pas Kakak enggak ada, jadi mereka bisa lebih ngehargain keberadaan Kakak. Kalau ternyata emang enggak ada yang merasa kehilangan, saatnya Kakak yang menghargai diri Kakak sendiri. Resign. Masih teramat banyak hal yang sebenernya bisa dilakukan kan?"
.Dosen Pertama dalam Hidup Gue.

Seperti sebelumnya, gue sangat jarang untuk ga sepaham dengan opini orang tua gue karena opini mereka selama ini sebenernya sangat logis, begitu pula untuk yang kali ini.

Minggu, 25 Agustus 2013

Teduh

"..Dan orang yang mencintai, tatapannya meneduhkan orang yang dicintainya.."
.Azhar Nurun Ala.

Seketika tersentak ketika beberapa hari ke belakang tatapanmu terasa meneduhkan
Detik berikutnya makin tersentak karena teringat bahwa sejak cukup lama, tatapanmu (entah tatapan itu hanya diberikan kepada saya atau diberikan kepada semua orang) memang selalu seperti itu,
..
Semeneduhkan itu

Sabtu, 17 Agustus 2013

Aku dan Indonesiaku

17 Agustus 2013
Dirgahayu NKRI ke-68 :)

Jika berkata tentang nasionalisme, gue juga terkadang bingung bagaimana harus membahasamanusiakannya. Kata-kata sebatas 'cinta tanah air' kadang terasa terlalu dangkal untuk menerjemahkannya.

Mengikuti ektrakurikuler pramuka selama SMP dan paskibra selama SMA menjadikan gue sedikit demi sedikit mulai merasakan tentang cinta yang satu ini. Winaya Lokatmala dan Pandawa 16 menumbuhkan rasa cinta gue terhadap bangsa yang tanahnya sedang gue pijak dan airnya menjadi sumber kehidupan gue selama ini.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring dengan kaki yang melangkah ketika mengikuti lomba lintas alam selama SMP. Berkilo-kilo meter. Menyaksikan indahnya sawah dan menyusur sungai di sepanjang rute. Menyadarkan bahwa sesungguhnya ada alam yang harus dijaga untuk  masa depan bangsa ini.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring api unggun yang berkobar ketika berkali-kali kemah. Baik itu kemah di lapangan SMP, di lapangan Pemda Cibinong, hingga di Sukamantri Gunung Salak.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring dengan siaran langsung upacara kemerdekaan di Istana Negara yang selalu gue tonton di TV selama SD. Ini menjadikan gue sangat ingin menjadi Pembawa Baki bendera pada upacara kenegaraan. 'Tanggal 17 Agustus 2009 membawa baki bendera di Istana Negara' pernah gue tuliskan di buku-buku harian gue ketika SD-SMP dulu. Harapan itu selalu ter-refresh secara otomatis di tiap 17 Agustus yang gue lalui.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring dengan menjadi petugas upacara bendera di Smansa setiap Kamis selama kelas XI.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring dengan berlari rusuh keluar kelas ketika hujan di siang hari pada Senin atau Kamis. Berhujanan bersama XXI yang lain menurunkan bendera yang tengah berkibar.

Rasa cinta ini tumbuh, seiring dengan membayar 300 seri seangkatan dalam seminggu karena ada insiden kecil ketika upacara bendera.

Absurd?
Ya, cinta memang tak pernah punya alasan logis kan?

“Cinta adalah perbuatan, kata-kata dan tulisan indah adalah omong-kosong”
Tere Liye, dalam 'Kau, Aku, dan Sepucuk Angpau Merah'
Ya, juga cinta adalah perbuatan.

Sejak awal kelas 5 hingga akhir kelas 9, selama 5 tahun Elfa Music School juga memberikan gue kisah lain tentang cinta tanah air. Bahwa sejatinya cinta itu perlu diungkapkan dan diwujudkan. Bahwa sejatinya perwujudan itu bisa dalam segala bentuk hal yang positif.

Dan, November 2007, 6 bulan sebelum peringatan 100 tahun Hari Kebangkitan Nasional, hormat sambil menangis ketika mendengar Indonesia Raya mengalun pada 1st Asian Choir Games itu rasanya tak terlukiskan :)

Sejauh ini, baru itu pencapaian gue untuk Indonesia
Baru itu..
Itu pun memberikannya rame-rame *namanya juga paduan suara*
Insya Allah pencapaian yang lain masih akan menyusul :)

Sempat pula ingin memberikan sesuatu untuk Indonesia di bidang akademik. Eh tapi baru sampe tingkat Jawa Barat aja udah ampun-ampunan, sempet pake nangis segala pula.

Hal terdekat yang bisa gue lakukan selaku mahasiswa PTN adalah belajar yang rajin karena gue bisa kuliah gini pake uang negara. Jurusan yang sedang gue tekuni ini juga sesungguhnya teramat sangat potensial bagi gue untuk kelak memberikan hadiah-hadiah lain untuk Indonesia.

Di hari ini, mungkin akan ada lebih dari 200juta anak Adam menjadi nasionalis sesaat. Mayoritas paling hanya bertahan seminggu. Tapi, niat baik sesederhana apapun harus dihargai kan?

Sesungguhnya, mengisi kemerdekaan itu bukan hanya kerjaan satu-dua orang, melainkan seluruh elemen harus bersinergi untuk mewujudkan.

Semoga semangat kemerdekaan ini bisa terus ada di dalam diri Bangsa Indonesia. Sesungguhnya negara ini hebat, akan tetapi masih belum ditemukan cara efektif untuk mengeksplorasi kehebatannya :)

Indonesia, aku padamu :)


Tambahan :
Sesungguhnya ada satu ekstrakurikuler lagi yang masih ada hubungan jauh dengan cinta tanah air, dari dulu pengen gue ikutin tapi ga boleh melulu sama enyak yaitu pecinta alam.

Sabtu, 10 Agustus 2013

Sekeping Kisah pada Hari Kedua Idul Fitri

Pengantar kisah ini sebenarnya bisa begitu panjang. Untuk memudahkan, cukup rasanya diceritakan bahwa selama konvoi 5 mobil keliling Jabodetabek dalam rangka silaturahmi (ke adik-kakaknya almarhum kakek dari pihak Ibu) pada H2 Idul Fitri ini gue terusir oleh adek gue dari mobil Ayah-Ibu sehingga gue berada di mobil saudara gue yang ada tivinya.

Alkisah, sepanjang perjalanan yang rasanya panjang banget itu kami (gue dan 4 sepupu gue yang kakak beradik) nonton tivi. Hingga pada salah satu channel tivi yang menampilkan iklan Master Chef,
Tante gue : Inget ya, Nak, jangan nonton Master Chef.
4 Sepupu gue : Iya, Bu..

Karena merasa bingung, gue memberanikan diri bertanya mengapa para sepupu gue itu ga boleh nonton Master Chef. Ternyata jawabannya adalah,
Om gue : Soalnya mereka mencela makanan, Kak. Apa lagi jurinya si Chef *tuuuut* *pasti taulah siapa*. Kan kata Rasul, kita ga boleh mencela makanan..
Dan tetiba gue merasa bahwa kini membesarkan anak dengan baik kian sulit.

Rabu, 07 Agustus 2013

Tulisan Rada Bener di Malam Takbiran

"Yang jadi masalah bukan ketika pengumumannya. Tapi yang jadi masalah ketika kita harus mempertanggungjawabkan hasil usaha kita di depan keluarga besar kita tanggal 8 Agustus nanti"
.Mas Piet Wahyu, guru NF.
Itu adalah status salah satu sepupu gue yang tahun ini lulus SMA dan alhamdulillah udah keterima kuliah di Metalurgi UI.

Membaca statusnya, gue jadi mikir *tumben kan gue mikir* bahwa salah satu momen 'pertanggungjawaban' terdekat itu sangat bisa terjadi ketika seluruh keluarga besar bertemu di Hari Raya. Yaaa, wajar sih, udah lama ga ketemu, dan lantas ingin tahu keadaan masing-masing.

Somehow, kadang gue ngerasa risih ditanya-tanya kayak gitu. Somehow, ada aja yang men-judge tanpa tau kondisi kita selama setaun ga ketemu itu kayak gimana, tanpa mau tau kondisi kita selama setaun ga ketemu itu kayak gimana.

Tapi gue menyadari,
Bahwa sejatinya, pertanyaan kakek, nenek, om, tante, kakak sepupu, dan kerabat lainnya ketika bersilaturahmi pada Idul Fitri adalah bentuk kepedulian mereka terhadap kita.
"..udah punya pacar belum?.."
"..malem Minggu udah ada yang ngapelin belum?.."
"..IP semester terakhir berapa?.."
Bahwa sesungguhnya itu tergantung sudut pandang kita memandangnya saja.

Serta celetukan retoris,
"..puasanya pasti ga full nih, ga dapet THR yaa.."
Itu juga masih termasuk kepedulian mereka kepada kita. Bahwa sesungguhnya itu tergantung sudut pandang kita memandangnya saja.

Jika semisalnya pencapaian kita selama setahun ga ketemu itu ga sekece pencapaian sepupu jauh kita, mungkin ga ada yang mau tau alasan kita di  balik pencapaian kita yang cuma segitu. Beliau-beliau ini cuma mau tahu bahwa selama setahun ga ketemu, tiap orang punya jatah setahun. Tapi hasil pencapaiannya beda.

Kelak di Hari Perhitungan, juga ga ada yang mau tau kita punya jatah umur berapa. Yang mau tau cuma satu, dipake untuk apa aja jatah umur yang dikasih itu. Just it.

Bahwa segala penyikapan itu sesungguhnya tergantung sudut pandang kita memandangnya saja.