Hari ke-3
Pagi ini kehebohan dimulai dengan mandi pagi di Masjid Agung Gresik. Masjidnya besar dan terawat. Kamar mandinya bersih pula. Sayangnya tempat wudhu perempuannya semi-terekspos gitu, sehingga lebih enak wudhu di kamar mandi kalau semisalnya mau wudhu. Dari Masjid Agung Gresik ini ke KML (Kelola Mina Laut) kata orang Gresik sih deket banget, jadinya ga terburu-buru juga untuk ke KML-nya.
Pada hari ini, entah bagaimana awalnya, pokoknya di bis 2 Mbak Puri sudah memiliki panggilan baru yaitu Bunda Puri.
KML ini sepertinya udah familiar banget di telinga anak TIN. Pendirinya itu alumni TIN angkatan 18 (atau 17 ya?) dan merupkan salah satu icon alumni TIN yang sukses. KML ini merupakan industri seafood dengan kapasitas produksi dan penjagaan mutu yang luar biasa sehingga sejauh ini sudah berhasil mengeskpor ke mancanegara, termasuk ke Jepang yang katanya pengawasan mutu untuk produk seafood itu sangat ketat.
Indonesia itu harusnya mengklaim sebagai Negara Bahari, bukan agraris *pasti Ibu gue seneng kalo tau gue nulis ini*. Hal tersebut karena luas perairan Indonesia itu lebih luas daripada luas daratan. Lautan Indonesia juga merupakan jalur migrasi ikan secara internasional, ya wajar aja keanekaragan hayati hasil lautnya juga sangat beragam. Keanekaragaman hayati ini dimanfaatkan oleh KML dengan sangat baik yang ditandai dengan banyaknya lini produksi dari beragam jenis makhluk laut.
Untuk masuk ke ruang prosesnya, kami diharuskan mnggunakan baju proses (akhirnya kami pakai jas lab, ya mirip lah ya :p), sarung tangan, masker, penutup rambut, dan sepatu boot. Ditambah melewati serangkaian upaya pembersihan diri seperti mencelupkan kaki (kan pake sepatu boot) ke dalam kolam(?) *kayaknya ada kata yang lebih tepat daripada kolam deh* berisi larutan klorin 100 ppm dan ritual cuci tangan secara baik, benar, dan kaffah(?) seperti yang dianjurkan oleh WHO.
Penjagaan mutu yang sangat ketat di KML menjadikan di setiap ruangan proses akan terdapat spot untuk cuci tangan dan merendam sepatu boot di kolam klorin 100 ppm. Bahkan di salah satu ruangan terdapat pengumuman besar yang berbunyi "Segera mencuci tangan ketika bel berbunyi" dan kata pemandu gue, bel akan berbunyi setiap beberapa menit sekali. Sebegitunya. Demi mempertahankan mutu produk. Kece lah pokoknya.
Kata pemandu gue, sering kali masalah muncul bukan di ruang proses, melainkan dari penerimaan bahan baku. Banyak supplier ikan yang memberikan bahan baku kurang higienis sehingga terpaksa ditolak. Kurangnya pengetahuan nelayan tentang mutu mengakibatkan mereka ga terlalu memikirkan hal itu. Tiba-tiba gue membayangkan kalau Ibu ada di sana, pasti bakal bilang,
"Itulah urgensi mengapa perlunya diadakan penyuluhan perikanan."
Tuh kan, emang dasar gue adalah orang Bogor yang minimal 2 hari sekali ketemu rumah. Sekalinya 2 malam ga tidur di rumah aja udah kayak gini. Ngaku kalah telak deh gue sama teman-teman gue yang setaun bisa ga pulang-pulang. Da aku mah apa atuh lah..
Di KML ini ada ruangan bersuhu -18 derajat Celcius (apalagi kalau bukan untuk tempat penyimpanan produk, agar mikroorganisme tidak dapat berkembang biak) dan rombongan gue masuk ke dalam ruangan itu, dengan pelapis tubuh tambahan hanya berupa jas lab setipis itu doang. Hal gilanya adalah gue ikut masuk. Dingin? Ga usah nanya. Begitu keluar, kacamata gue terus-menerus berembun sampai tur berkeliling ruang proses usai.
Beberapa hari sebelum keberangkatan, pada briefing seangkatan di koridor fakultas sesungguhnya telah pernah dipaparkan bahwa rombongan tidak bisa terlalu lama berada di KML karena jarak KML dan Nestle yang cukup jauh. Tapi pada kenyataannya tetep aja lama --"
Setelah perjalanan cukup jauh dan melewati bendungan lumpur di Sidoarjo, akhirnya kami tiba di Nestle (ngaret sekitar satu jam dari jadwal yang direncanakan). Nestle ini keren banget. Paling keren dari seluruh industri yang dikunjungi, sampai gue ga bisa berkata-kata. Ga sia-sia rasanya keribetan maha ribet ketika mengupayakan Nestle kalau ilmu yang kami dapatkan memang sebegitunya. Sampai Camel hampir nangis, sampai bikin surat on the spot dan kurang dari 10 menit langsung kelar, sampai nyaris memaksa ke pihak Nestle agar rombogan dibikin jadi 2 shift, sampai melobi dan bilang,
"..ga apa-apa kok kalau kami ga dapet bingkisan apa-apa karena terlalu banyak orangnya.."
Itu terbayar dengan apa yang kami dapatkan di Nestle.
Ketika praktikum di semester 4 mengenai peralatan industri, kami pernah menghadapi spray dryer dengan ukuran sekitar 50 cm. Tapi ketika di Nestle ini, ada spray dryer yang diameternya kata pemandu gue bisa jadi lebih besar daripada kamar kosan dan dengan tinggi berpuluh-puluh meter.
Spray dryer di Nestle ini namanya Egron. Ternyata eh ternyata, nama Egron ini berasal dari nama pembuatnya, Norge, lalu pengejaannya dibalik. Lantas ada temen gue bernama lengkap Fachru Reza Rochili yang spontan berceletuk,
"Nanti kalo gue bikin teknologi keren, mau gue namain Ilihcor deh."
dan dibalas oleh Linda,
"Aduh, Ayuningtiyas itu susah dibacanya kalau dibalik, jadi Sayitnginuya."
Okesip, terserah kalian aja lah :p
Proses produksi (sampai kepada proses loading-unloading) yang sudah tersentuh peralatan dan mesin berteknologi tinggi mengakibatkan kunjungan di Nestle ini,
"..serasa sedang ada di film Transformer deh.."
.Ketua Pelaksana Fieldtrip.
Dhis, imajinasi lu kayaknya berlebih deh.
Ada hal lucu di sesi tanya-jawab kloter gue. Salah seorang teman gue bernama Kholiq asal Banyuwangi *lah terus kenapa Dil kalo asal Banyuwangi?* *ga kok, ga kenapa-napa, cuma pengen bilang aja* bertanya, inti pertanyaannya adalah,
"Kenapa Bear Brand itu gambarnya beruang, tapi di iklannya pakai naga, padahal susunya susu sapi?"
Lucunya adalah pertanyaan itu merupakan pertanyaan yang persis sama ditanyakan oleh Ihsan di sesi sebelumnnya. Bahkan bapak dari pihak Nestle yang ingin menjawabnya saja sampai tertawa terlebih dahulu, mungkin serasa deja vu.
Kunjungan di Nestle berakhir ketika langit sudah gelap. Setelah makan malam, shalat, dan waktu pribadi, tujuan perjalanan berikutnya adalah pantaaaaaai, *horeeeeeeee. Pantai yang dituju adalah Pantai Ketapang dan Gilimanuk (baca : penyeberanganan Ketapang-Gilimanuk).
Hari ke-4
Di bawah pengaruh antimo, gue tertidur selama perjalanan ke pantai (baca : pelabuhan). Lewat tengah malam gue terbangun. Gue terbangun ketika bis 2 sudah memasuki kapal dan penghuni bis dianjurkan keluar karena katanya efek guncangan oleh ombak akan lebih terasa ketika berada di dalam bis. Daripada muntah lagi akhirnya gue keluar bis dan menyusuri tangga menuju dek kapal.
Mamah, anakmu naik kapal, Mah..
Maaf alay. Biasa, tadi obatnya sedang abis.
Sesunguhnya pas masih kecil katanya gue pernah ke Bali sekeluarga dan naik kapal, tapi gue ga inget sama sekali --"
Tadinya gue mau foto kayak di adegan Titanic gitu di pinggir dek, tapi gue ga yakin ada yang mau difoto bersama gue dengan pose seperti itu. Sekalinya ada yang mau pun gue ragu apakah dia akan tahan untuk ga ngejorokin gue ke tengah laut.
Penyeberangan Ketapang-Gilimanuk ini dihiasi oleh awan mendung, gerimis rintik tipis, semburat garis fajar di ufuk timur, lampu Pelabuhan Ketapang yang terasa kian menjauh lantas mengecil lalu berkelip manja, dan lampu di Pelabuhan Gilimanuk yang terlihat kian dekat.
So sweet kaaaaan :3
Begitu tiba di Bali, spot pertama yang dikunjungi tak lain dan tak bukan adalah masjid di dekat pelabuhan untuk menunaikan panggilan alam dan panggilan Ilahi.
Cukup lama kemudian (gue udah pake tidur dulu soalnya, kayakya masih efek antimo deh) rombongan tiba di tempat untuk sarapan dan mandi pagi. Beberapa saat sebelum kembali melanjutkan perjalanan sempat ada rapat dadakan dengan bahasan mengenai lokasi shalat Jumat yang cukup jauh dari pabrik Sosro, sekitar 1 jam perjalanan. Akhirnya formasi bis yang terbentuk adalah bis 1 seluruhnya berisi laki-laki muslim, bis 2 seluruhnya berisi perempuan, dan bis 3 campur. Di tengah perjalanan, laki-laki muslim di bis 3 pindah ke bis 1 untuk selanjutnya menuju tempat shalat.
Di bis 2, karena isinya seluruhnya perempuan kecuali supirnya, ada cukup banyak teman-teman gue *yang sebenarnya dari bis lain* yang melepas kerudungnya. Gue dan beberapa teman lain sudah mengingatkan sih, tapi nyaris ga berefek apapun. Miris sendiri sih sesungguhnya.
Dari teman-teman yang melakukan pertukaran bis, gue jadi tau cerita-cerita aneh di bis lain. Semisal Dara yang kerjanya selama beberapa hari ini hanya minta antimo ke Mas Aryo (pemandu dari Lainuba di bis 3) - tidur - bangun - pipis/shalat/mandi/makan - minta antimo lagi - tidur lagi - dan begitu seterusnya. Pembelaan dari Dara sih biar ga mabok. Ada lagi Dira yang tidurnya pasti mangap dan ngiler. Pembelaan Dira sih katanya kalau pake behel itu susah mingkem.
Bis 2 dan 3 tiba di pabrik Sosro lalu langsung disuguhi dengan berbotol-botol Teh Botol Sosro yang berjejer rapi di meja. Kata ibunya yang menjadi narasumber hari itu, boleh minum di tempat sepuasnya, asal jangan bersisa. Yaaaa, silakan dibayangkan bagaimana jadinya kelakuan mahasiswa ketika mendapat sesuatu yang berbau-bau gratisan.
Sadis bro. Brutal.
Padahal itu nyaris semuanya perempuan dengan hanya beberapa laki-laki non-muslim saja yang tidak Shalat Jumat.
Efeknya? Antrian toilet yang luar biasa panjang ketika tiba di masjid terdekat untuk shalat setelah keluar dari Pabrik Sosro.
Meskipun belum secanggih Nestle, pabrik Sosro Gianyar juga kece dengan kapasitas produksi mencapai 30 ribu botol per jam. Itu berarti lebih dari 8 botol per detik.
Teh Botol Sosro telah terdistribusi di tingkat nasional dan internasional. Tanpa penggunaan pewarna, pengawet, dan pemanis buatan menjadikan Teh Botol Sosro memang 'aman' ketika dikonsumsi. Ketika cairan teh dimasukan ke botol dalam keadaan masih panas lalu seketika ditutup, menjadikan Teh Botol Sosro berada dalam keadaan steril. Menurut pemandu kloter gue, botol-botol dari teh botol akan kembali tiba di pabrik *untuk dicuci lalu kembali diisi ulang dengan teh yang baru* dalam rata-rata waktu kurang dari 6 bulan sehingga hampir dapat dipastikan tidak ada Teh Botol Sosro kadaluarsa yang beredar dipasaran *secara sirkulasinya cepet banget*.
Terdapat hampir 7000 ha perkebunan teh milik Sosro yang tersebar di beberapa lokasi di Pulau Jawa. Dengan berfilosofikan 'Niat Baik', Sosro menjalankan fair trade dan bercita-cita menjadi minuman kelas dunia.
Aamiin :)
Semoga bisa ada hal positif seperti Teh Botol Sosro untuk mewakili nama Indonesia di tingkat dunia ya, biar tidak melulu hal yang jelek-jelek saja yang diingat dari Indonesia.
Kunjungan pabrik meliputi berkunjung ke instalasi pengolahan limbah dan ke proses produksi. Kunjungan diakhiri dengan foto bersama seangkatan setelah para lelaki muslim (yang menjadi kloter 2 karena Jumatan) selesai melakukan tur pabrik.
Ada sedikit yang terlewat, selama di Bali ini ada seorang pemandu wisata asli Bali (kami memanggilnya 'Bli', gue lupa Bli siapa namanya, Bli adalah sapaan untuk orang Bali laki-laki yang lebih tua dari kita *ini gue udah nyari literatur*, kayak 'Mas' gitu sepertinya kalau di Jawa) di tiap bis yang akan bercerita panjang lebar mengenai Bali. Menurut gue yang dari dulu memang selalu tertarik dengan legenda dan kebudayaan kuno, cerita Bli ini ga boleh dilewatkan.
:D
Seusai dari Sosro, rombongan menuju pusat oleh-oleh yang kebetulan ada mushalanya. Setelah ada bercandaan rada vulgar di perjalanan dari Bli mengenai kacang asin, lalu ada temen gue yang beli kacang asin sebagai oleh-oleh untuk staff departemennya di BEM. Ada juga yang mau beli kacang asin untuk pacarnya. Atuhlah --"
Di pusat oleh-oleh itu (namanya Cening Bagus) ada tas selempang lucu dan akhirnya gue beli 2. Beda warna. Untuk dipakai kembaran dengan adik gue. Haha.
Seusai dari Cening Bagus, rombongan bergerak ke..
Pusat oleh-oleh Krisna
Again, pusat oleh-oleh.
Dua pusat oleh-oleh dalam sehari.
Di sini gue kalap. Ada gelang unyu-unyu harganya Rp 1500,00. Iya bener, seribu lima ratus rupiah coy, pipis aja dua ribu. Gue dan Icha tanpa komando udah duduk memblokir area sambil ngurek-ngurek tumpukan gelang seribu lima ratus itu. Gimana juga bisa ga kalap kalau harganya seribu lima ratus dan gelangnya lucu.
Setelah bertaubat dari pesona gelang seribu lima ratus, gue bergegas bayar. Waktu berbelanja sebenarnya masih lama, tapi gue sengaja bayar dengan harapan malas antri lagi di kasir dan ga tergoda beli apa-apa lagi. Teori yang aneh sih, but it works, haha.
Gue lantas berjalan-jalan di Krisna. Kegabutan gue ternyata terdeteksi oleh Rizki DJ dan dia akhirnya menodong gue, minta tolong bantu mencarikan baju untuk oleh-oleh ke ibunya. Pertama-tama gue harus tau dulu ukuran ibunya seperti apa..
Gue : DJ, ibumu ukurannya sebesar siapa?
DJ : Heummm, se-Desta, Dil.
Gue : Ooooh, oke.
Lalu gue mulai memilih di antara deretan daster dengan berbagai warna dan ukuran. Sedang asik mencari, tetiba DJ mencolek bahu gue.
DJ : Dil, kayaknya ga sebesar Desta deh. Se-Desita mungkin.
Okesip.
Tapi itu jauh bro bedanya.
Setelah selesai dengen DJ, gue mungkin bisa muter-muter lagi dan liat barang lucu-lucu. Tapi ternyata ga semudah itu. Umay melihat DJ membawa daster dan berkata dengan yakinnya bahwa daster itu ga mungkin DJ yang nyari sendrian. DJ mengiyakan, dia bilang itu dasternya nyari bareng-bareng gue.
Akhirnya gue kembali memilih-milih daster, kali ini untuk ibunya Umay. Menurut Umay, ukuran ibunya sebesar Nia tapi lebih pendek. Lalu dimulailah petualangan mencari daster untuk ibunya Umay. Kali ini sedikit lebih susah, ada yang warnanya bagus tapi modelnya biasa aja, ada yang modelnya bagus tapi warnanya dangdut banget, sekalinya ada yang warna dan modelnya bagus tapi ternyata jahitannya ga rapi..
"Ampun lah, Dil. Gue ga pernah kepikiran untuk merhatiin jahitan baju."
Putus asa. Susah banget nyarinya. Setelah sekian lama berkutat dengan deretan daster, lantas berakhir bahagia dengan selendang yang lucu banget untuk ibunya Umay.
Selanjutnya?
Deja vu, terjadi percakapan antara Umay dan Ryan. Seusai percakapan itu, gue dan Ryan berkutat di baju-baju santai remaja, bukan daster, karena Ryan mau membelikan untuk adiknya.
Ryan : Dil, temenin gue nyari baju untuk adik gue dong.
Gue : Adik lu bukannya kembaran lu?
Ryan : Ada lagi, perempuan, masih SMP.
Gue : Ooooh, oke oke.
Ryan : *berdiri suram di depan deretan daster*
Gue : Eummmm, saran gue jangan daster. Gue aja baru suka pake daster pas udah kuliah.
Ryan : Oooh, oke-oke. Gue juga sebenernya ga kebayang sih kalo adik gue pake daster.
Gue : Adik lu sebesar siapa?
Ryan : Sebesar, heummm, Erin lah. Atau Fika ya?
Erin dan Fika, itu jauh beda sesungguhnya.
Akhirnya berjodohlah dengan sepasang baju dan celana yang dibawa Ryan dengan muka girang untuk dibayarkan.
Tak lama, gue merasa ada yang menarik-narik pelan jaket gue. Salman.
Salman :Dil, pernah ketemu ibu gue kan?
Gue : Pernah, Man :D
Salman : Tolong bantuin milih yak, hehe..
Gue : Okedeh :D
Singkat cerita, akhirnya terpilihlah 4 alternatif motif dan model daster yang sekiranya pas dengan ibunya Salman. Keputusan final ada di tangan Salman dan dia sedang bingung sendiri memilih yang mana.
Gue berjalan tak tentu arah di dalam toko, tetiba sudah berada di depan deretan baju-baju lucu. Tidaaaaak. Lu harusnya menghindar, Diiiiiiiiiiil, itu jebakaaaaaaaaaan. Dan dengan naasnya gue terperangkap.
Baju-bajunya sih sesungguhnya baju yang terbuka di beberapa tempat. Tapi kan gue ga mungkin juga pake baju-baju itu begitu saja, pasti nantinya gue akan pake cardigan lah, atau apa kek gitu.
Ketika sedang asik mengukur-ukur baju dan mencocokkannya di badan, ketika itu Salman melihat ke arah gue untuk meminta pertimbangan daster.
Salman : Dil, yang ini kali ya? Astaghfirullahaladzim, Dil.
Gue : Atuh lah, Man. Gue juga bakal pake cardigan atau apa gitu pas pake ini.
Salman : Istighfar Dil, istighfar.
Daripada Salman jantungan dan bikin repot ketika tau gue beneran beli baju itu, akhirnya baju lucu itu gue letakan kembali bersama teman-temannya.
Tujuan perjalaan berikutnya setelah toko oleh-oleh Krisna adalah penginapan. Penginapan, sodara-sodara. Sekali lagi, penginapan. Subhanallah, ketemu kasur setelah 3 malam tidur di bis. Kasuuuuuur, come to mama :3
Sempat ada evaluasi singkat bersama panitia lain mengenai 3 hari ke belakang seusai makan dan mandi. Evaluasi berlangsung cukup singkat untuk ukuran evaluasi selama 3 hari perjalanan. Setelah evaluasi, panitia dipersilakan beristirahat oleh Yudhis karena besok aktivitas sudah dimulai sejak pagi.
Di penginapan ini gue sekamar dengan Fika, Natali, dan Srikandi. Kami berempat entah mengapa melakukan hal yang sama ketika tiba di kamar, yakni merapikan koper beserta oleh-oleh, dan nyuci. Iya, nyuci. Ga abis pikir gue juga bahwa mereka akan nyuci. Hal penting yang dicuci di antaranya adalah ciput, jilbab, kaos kaki, dan kerudung bergo. Sama persis, sama-sama untuk keperluan pulang karena sama-sama males bawa stok banyak biar ga menuh-menuhin koper, biar kopernya bisa diisi untuk oleh-oleh.
Gue kira gue udah akan aneh sendirian kalau nyuci, ternyata sekamar gue sama anehnya.
Seusai nyuci berjamaah *aduh, gue jadi inget sama lorong asrama deh*, tidak sampai 15 menit setelah menyentuh kasur, personil kamar gue seluruhnya sudah berpindah ke alam mimpi.