Minggu, 23 Mei 2021

Pre-Marriage Journey [Part 2 = Prerequisite]

Prerequisite : Prasyarat; Syarat yang harus dipenuhi ketika mau melakukan sesuatu.

Ada satu pertanyaan yang gue jadikan prerequisite sebelum menikah, Yakni:

"Aku boleh tetap kerja ga setelah nikah dan punya anak? Dan apa pendapat kamu tentang perempuan yang kerja setelah nikah dan punya anak?"

Ketika sebelum diskusi, yang ada di pikiran gue cuma satu :

"Kalau gue ga boleh kerja abis nikah, bhay. Gue cari yang lain."

Studi kasus 1 :

Ada kenalan gue. Keluarga dengan 3 anak. Suami bekerja. Istri sebagai ibu rumah tangga. Lalu suami meninggal, dan istri belum pernah bekerja sebelumnya. Akhirnya istri dan anak-anak pulang ke rumah orang tua istri, keluarga suami tidak membiayai apa-apa (ingat, dalam Islam, anak yatim itu jadi tanggungan keluarga bapak lho), istri dan anak-anak dihidupi oleh orang tua istri. Seluruh anak masih sekolah, dan istrinya have no idea gimana cara cari uang untuk hidup karena belum pernah bekerja sebelumnya.


Studi kasus 2 :

Ari adalah anak tunggal. Bapak meninggal ketika Ari SMA. Ibu Ari adalah PNS. Setelah Bapak meninggal, Ibu tetap dapat menghidupi Ari dan dirinya sendiri hingga Ari bisa lulus kuliah.


Poin diskusi :

Tiap mengenang topik bahasan ini, gue selalu percaya bahwa pemahaman itu dapat berubah, asal orang yang bersangkutan memiliki sikap yang open minded.

Percaya ga percaya, dulu bangeeeet tadinya Ari ga mau punya istri yang kerja di luar rumah. Lucu ya, padahal dia dibesarkan oleh ibu yang jadi single parent dan mungkin dia saat itu belum kepikiran bahwa hal tersebut bisa terjadi kepada siapa aja dan kapan saja. Makanya suka gue ledekin kalau minta traktir, ("Katanya istri ga boleh kerja, tapi diminta traktir..").

Tadinya, gue juga sengotot itu HARUS dibolehkan kerja. Tapi setelah menggali lebih dalam berdua, kenapa gue merasa harus banget dibolehkan kerja, adalah karena gue ga dibiasakan meminta apa-apa sejak kecil. Gue merasa harus berdaya dan mandiri, termasuk secara ekonomi. Apalagi gaji gue sebelum nikah itu nyaris 2x UMR Kota Bogor, sultan banget lah pokoknya, dan ga mau aja abis nikah cuma minta uang doang ke suami ketika ga boleh kerja.

Tapi setelah diskusi panjang berhari-hari (ini serius, sampai berhari-hari), terdapat beberapa poin yang akhirnya disepakati :

  • Nafkah keluarga adalah kewajiban suami, terutama untuk kebutuhan primer dan sekunder (ingat, kulineran cantik bukan kebutuhan sekunder, apalagi primer)
  • Khadijah binti Khuwailid adalah wanita terhormat dan pedagang sukses di Mekkah. Hartanya habis tak bersisa untuk mendukung Rasulullah dan memperjuangkan Islam di awal-awal masa kenabian.
  • Istri-istri dan puteri-puteri Rasulullah juga banyak diriwayatkan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya serta untuk bersedekah dan membantu yang membutuhkan
  • Gue (ketika nanti jadi istri) tetap boleh kerja untuk aktualisasi diri; dan juga Ari kenal gue banget, Ari tau gue bisa spaneng kalau monoton mengerjakan kegiatan domestik setiap hari
  • Karena mencari nafkah bukan kewajiban gue, maka apapun kerjaan gue nanti jangan yang sampai sore banget baru selesai/pulang ke rumah, serta waktu dan tenaga udah habis dipakai untuk bekerja
  • Mendidik anak dan melayani suami tetap merupakan kewajiban istri (mendidik anak tugas berdua sih, nanti dibahas di poin tentang anak dan pendidikan anak ya)
  • Cari pekerjaan/aktivitas yang bikin surga rasanya lebih dekat
  • Ga boleh kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa
  • Menghasilkan uang bukan cuma dengan cara kerja kantoran. Maka dari itu bagi warga yang suka mantengin story IG/wassap gue dan beberapa kali sering menemukan gue sedang jualan, itu merupakan penerapan dari poin diskusi yang ini.

FYI kantor gue yang lama itu (yang gaji gue hampir 2x UMR itu) toxic banget, udah gitu lokasi kerjanya juga jauh, ilmu kuliah gue ga banyak yang kepake di sana, serta posisi gue terlalu strategis dan terlalu jago segala-gala sehingga dimintain kerja macam-macam, pindah-pindah bidang dan jam kerja gue juga agak gila. Gue sampai di rumah ga jarang cuma numpang tidur, mandi, sarapan. Saking toxicnya, gue bisa 3 hari dalam seminggu ngobrol sama Ari isinya ngemaki-maki suasana kantor doang, ya entah itu orang-orangnya ngaco lah, ya sistemnya ngaco lah, dan sederet keluhan lainnya.

Bagi gue dan Ari, ini masuk dalam katagori "kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa". NO DEBAT.

Untuk poin kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa ini ga ada opsi lain selain OUT DARI KANTOR LAMA.

Tiap bahas prerequisite kerja ini gue ga pernah ga terharu sama rencana Allah. Memang ya mungkin kalau sudah sampai waktunya harus menikah, tiba-tiba yang kayak begini gampang aja solusinya.

Di tengah gue galau nyari kerjaan lain, tiba-tiba lamaran yang gue kirim sejak 2017 mulai kelihatan hilalnya (itu kondisinya lamaran udah setaun ga ada kabar). Tiba-tiba lolos ke tahapan seleksi berikutnya. Dan lolos lagi ke tahapan berikutnya. Sampai akhirnya gue diemail bahwa keterima kerja di kantor yang sekarang, bahkan sejak 2 bulan sebelum kontrak kerja di kantor lama gue habis.

Detail waktunya juga bener-bener hanya Allah yang bisa merencanakan. Ga mungkin ini konspirasi manusia.

Tanggal 28 Februari 2019 adalah hari terakhir kontrak kerja di kantor lama. Tanggal 1 Maret 2019 diminta ke kantor baru untuk tanda tangan kontrak kerja.

See?

Kadang kalau udah jalannya buat nikah mah suka ada aja yang kayak gitu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Baru-baru ini, gue menghadiri (via zoom) kajian tentang fiqh wanita yang bekerja (dan Ari ikut nguping). Terdapat beberapa poin yang bisa dijadikan tambahan sudut pandang, di antaranya :

  • Ketika "Tetap bekerja" dijadikan syarat untuk menikah, maka bisa dipastikan ketika ga boleh bekerja maka nikahnya ga jadi, sehingga suami tidak boleh melarang istri bekerja (case gue adalah ini ya btw)
  • Ketika istri bekerja, maka ada waktu yang seharusnya digunakan untuk melayani suami tapi malah dipakai untuk bekerja, sehingga ada hak suami yang harus ditunaikan dari penghasilan kerjaan tersebut (dan Ari langsung minta gofud dong, wkwkwkwkwk)
  • Jika pekerjaan kita butuh keahlian khusus yang tidak mudah dipelajari, maka pekerjaan tersebut menjadi sangat bermanfaat untuk umat (misal dokter spesialis, ilmuwan/peneliti)
  • Jika pekerjaan kita akan memudahkan muslimah-muslimah lain dalam menjaga diri, maka pekerjaan tersebut juga bermanfaat (misal dokter kandungan, bidan, salon muslimah)
  • Jangan bekerja di tempat-tempat/aktivitas yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (misal riba, prostitusi, menipu/mencuri)
  • Bekerjalah di tempat yang membuat kita tetap dapat berhijab dengan baik
  • Bekerjalah di tempat yang memungkinkan tidak terjadinya khalwat

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk menjawab pertanyaan yang mungkin akan terlintas dalam topik-topik yang akan datang, seperti..

"Kenapa acuannya ujung-ujungnya ke Allah/kisah Rasulullah/para sahabat/fiqh?"

Jawabannya adalah : Karena salah satu tujuan gue dan Ari dalam menikah adalah masuk surga sekeluarga, sehingga kami merasa perlu untuk menyesuaikan langkah-langkah di kehidupan ini dengan guidance dari sang pemilik surga. Juga kami merasa perlu untuk mencari reference dari aktivitas-aktivitas para manusia mulia yang sudah terjamin punya kavling di surga.

Mau sidang skripsi aja penelitiannya butuh reference, ya masa mau masuk surga ga se-effort sidang skripsi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kurang lebihnya seperti itu.

Insya Allah akan disambung di lain waktu :)