Minggu, 21 Agustus 2016

#MatahariAkar [Tokyo Skytree]

Pada akhir Juli lalu, ada adik kelas gue di TIN yang ikutan semacam shortcourse di Tohoku University di Sendai. Berhubung Sendai itu agak terpencil jauh, jadilah adik kelas gue ini flight dari Indonesia ke Tokyo, lalu akan naik bus ke Sendai.

Oiya, adik kelas gue ini namanya Aldrian, gue sering memanggilnya Rian. Lengkapnya adalah Aldrian Kuswadi, TIN 49. Rian ini sepengamatan gue di kampus lumayan dekat dengan Septian *siapa lagi ini Septian --"*. Sempitnya dunia adalah ketika Si Ehem-nya Septian ini (namanya Natsumi) ternyata adalah mahasiswi Jepang (kampusnya di Tokyo, rumahnya di Tokyo-coret) yang pernah AIMS di IPB, bahkan cinlok mereka terjadi semester lalu ketika Natsumi AIMS di IPB.

Gue pribadi nyaris selalu mengiyakan ajakan ketemuan dari teman di Indonesia yang kebetulan sedang berkunjung ke Tokyo. Rasanya seperti dijenguk. Seneng ajaaa~, Alhasil pada 23  Juli lalu, kami bertiga (gue, Rian, dan Natsumi) berjalan-jalan di sekitaran Tokyo.

Semenjak kenal, sesungguhnya gue ga banyak ngobrol dengan Rian. Salah satu obrolan terbanyak kami adalah sekitar 2 tahun lalu, ketika angkatan 49 jadi panitia Hagatri. Kebetulan Rian ini jadi Kadiv Medis Hagatri sedangkan di tahun sebelumnya gue adalah rakyat jelita di Medis Hagatri, jadilah kami sempat ngobrol banyak meskipun isi obrolannya ga jauh-jauh dari revanol, promaag, oxycan, biskuit, teh manis hangat, tandu, pita, pelatihan medis KSR, dan angket riwayat penyakit.

Kebetulan yang membuat makin seru, agenda jalan kali ini adalah naik ke Tokyo Skytree, horeeeeee..

Menurut Wikipedia, Tokyo Skytree ini adalah menara tertinggi di dunia serta menjadi bangunan tertinggi kedua setelah Burj Khalifa di Dubai. Fungsi lain dari Tokyo Skytree selain objek wisata adalah menara pemancar beberapa channel radio dan channel TV. Gue sudah sejak lama ingin naik ke Tokyo Skytree, tapi ga nemu-nemu teman untuk diajak barengan.

Ketika autumn lalu gue pernah berfoto dari Sensou-ji Asakusa, berlatarkan Tokyo Skytree.

Taken by Indria Wahyu Mulsanti

Di penghujung winter, masih lengkap dengan coat tebal, gue juga pernah berfoto lagi berlatar Tokyo Skytree setelah sepanjang siang ngebolang bersama Tiwi dan Aul.

Taken by Khoirina Retno Pratiwi

Rute ke Skytree ini mudah. Dari Sensou-ji, masuk ke subway Asakusa Line dan naik kereta sampai Stasiun Oshiage. Bahkan sejak begitu sampai tap gate Asakusa Line aja langsung ada arahan harus ke platform mana untuk menuju Skytree. Dari platform tersebut, semua kereta yang lewat akan berhenti di Oshiage, ada poster peberitahuan juga bahwa semua kereta yang lewat akan berhenti di Oshiage, jadi ga perlu bingung. Begitu turun dari kereta juga ga perlu bingung karena bertebaran penunjuk arah menuju Skytree. Makin ga perlu bingung karena instruksi menuju Skytree tersedia dalam Nihongo dan English.

Untuk naik ke atas Skytree, kita 'hanya' perlu antre tiket bersama-sama dengan rombongan kita yang akan naik, lalu naiklah ke atas dengan lift. Mengapa gue mengatakan 'hanya'? Karena antre beli tiketnya aja udah dua jam coy, hahaha. Mungkin kalau weekdays antre-nya akan lebih singkat, wallahu'alam bisshawab.

Mengapa harus bareng-bareng antre-nya? Ga bisa nitip ke seorang, trus sisanya nungguin sambil duduk-duduk? Karena setelah selesai dari konter tiket, kita akan langsung bergerak menuju lift, jadi sekali jalan gitu. 

Jangan khawatir, di konter tiket kita bisa beli tiket sendiri-sendiri kok, bilang aja ke si Mbaknya 'betsu betsu' (artinya sendiri-sendiri) jadi ga perlu repot utang-piutang dan talang-talangan dana.

Oiya, ada dua tingkatan di Tokyo Skytree, yang pertama adalah 350 meter. dari bawah ke tingkatan 350 meter ini harga tiket lift-nya 2060 yen. Tingkatan berikutnya adalah naik lift lagi ke 450 meter dari 350 meter, harga tiketnya 1030 yen. Waktu itu gue hanya naik sampai 350 meter aja.

Mahal?
Heummmmm.. no comment deh gue
Kalau mau mencoba mengonversi harga tiketnya ke rupiah, sok mangga~
1 yen sekarang ini setara dengan 120an rupiah
Tapi gue udah sejak lama ga pernah mengonversi harga di Jepang (khususnya Tokyo) menjadi rupiah, biar ga sakit hati..

Teknologi liftnya canggih coy *yaiyalah*. Ketika naik lift ke level 350 meter, kalau kuping ga berdenging, gue ga akan sadar bahwa gue sedang dalam perjalanan cepat ke arah atas. Ketika turunnya juga sama. Getaran liftnya ga kerasa sama sekali. Interior lift-nya juga didekorasi dengan cantik, jadi bisa liat-liat desainnya, hahaha *tipikal anak ga ada kerjaan*.

Ketika itu hari sedikit berawan. Tapi dari atas Skytree, gue tetap bisa melihat seluruh Tokyo kok. Cantik banget, Masya Allah.

Maafkan skill dan kamera yang kurang mumpuni ^.^v

Selfie yang backlight~

Anyhow, jargon divisi Medis Hagatri 2012 adalah,
"Get well soon, dek!!"
Lengkap dengan senyum dan tangan di depan dada sebagai visualisasi dari emot peluk ({}). Dengan ga tau malu, gue dan Rian berpose seperti itu pada ketinggian 350 meter di atas permukaan tanah.

Get well soon, dek!!

Di level 350 meter itu terdapat dua lantai. Di lantai bawah ada spot bernama 'glass floor' *atau floor glass yak? Heummmmm*. Itu adalah beberapa buah lantai kaca *nya heu euh atuh* berukuran sekitar 50 x 50 cm di mana kita bisa melihat ke arah bawah, literally bawah.

Ya Allah, semoga ga ada yang ngintip dari bawah, soalnya hamba-Mu ini pakai rok

Di Skytree, seperti objek wisata di Jepang pada umumnya, juga ada toko souvenir. Selain toko souvenir khas Skytree, juga masih banyak kios lain di dasar Skytree termasuk Pokemon Center dan sebuah kios yang menjual pernak-pernik unyu macam Hello Kitty.

Epilog
Ini ada sedikit oleh-oleh foto *da apa atuh gue mah bukan anak IG*.

Selfie yang ga backlight, dari bawah!!

Foto yang bikin seorang praktikan ngejapri karena envy, haha

Iklan Peps*d*nt

After Credit
Tokyo Skytree:
Checked!!

Senin, 15 Agustus 2016

#MatahariAkar [Taifun]

Berikut ini dilampirkan screenshoot percakapan antara dua orang Bogor yang sedang terdampar sekitar 5800 km dari Bogor.

Taifun, coy~

Orang (yang pernah tinggal di) Bogor sepertinya akan paham.
Hehehe


いじょう です
(read: Ijou desu; means: that's all)

Senin, 08 Agustus 2016

Percaya

Kisah perizinan ke Ibu-Ayah terkait Fujinobori jilid 1 lalu sebenarnya lumayan panjang. Jauh sebelum Kak Fima ngajak, sudah ada teman PMIJ (Persaudaraan Muslim Indonesia Jepang) yang mengajak Fujinobori. Mei lalu ketika Ibu datang, gue melancarkan misi rahasia untuk izin naik. Mulai nyebut-nyebut tentang Fuji cuma bisa didaki ketika summer lah, naiknya ga serepot naik di Indonesia lah, dan lain sebagainya. Respon saat itu adalah positif.

Ketika diajak Kak Fima sepekan sebelum naik, gue kembali izin ke orang rumah mengenai Fujinobori ini. Dari sekian banyak pertanyaan yang diajukan, ada satu pertanyaan pamungkas yang membuat gue jadi banyak berpikir setelahnya,
"Kakak percaya dengan kakak kelasnya?"
Setelah gue jawab 'Percaya', lalu turunlah izin.

Selanjutnya gue jadi mikir banyak tentang hal 'percaya' ini. Urusan naik gunung yang 'cuma' dua hari aja gue harus percaya dulu dengan orangnya, baru diizinkan. Apalagi urusan separuh agama yang kontraknya langsung dengan Allah, disaksikan malaikat, dan berlaku sepanjang zaman? Bahkan setelah nanti penanggalan udah ga ada sekalipun, kontraknya masih berlaku.

Semoga nanti ketika gue mengajukan suatu nama, jika selanjutnya ada pertanyaan,
"Kakak percaya dengan Si Ehem?"
Setelah gue jawab 'Percaya', lalu turunlah izin.


Keterangan:
Di keluarga besar dari Ibu, para om dan tante gue sering menggoda generasi gue dan sepupu gue dengan menyebut 'Si Ehem' untuk membicarakan mengenai kecengan/pacar/teman-tapi-mesra/dan sejenisnya. 'Si Ehem' sendiri diambil dari bunyi berdehem yang sering dipakau untuk ngeledek-ledekin hal yang berbau sejenis itu.

Rabu, 03 Agustus 2016

#MatahariAkar [3776 MDPL Part 1]

3776 MDPL itu apa?
3776 MDPL adalah tingginya Gunung Fuji (for short, let's call Gunung Fuji as Fujisan). Fujisan adalah gunung tertinggi di Jepang.

Kenapa part 1?
Karena sedang membuat rencana untuk mendaki Fujisan lagi di pertengahan bulan Agustus. Mohon doa semoga turun izin dari orang tua, aamiin *bisaan emang, sekalian minta didoain*. For short, let's call 'mendaki Fuji' as 'Fujinobori'; Nobori, noboru (登る) artinya mendaki.

Ceritanya, pada 15-16 Juli 2016 lalu gue Fujinobori bersama Kak Fima dan seorang teman kantornya. Beberapa hari setelahnya mereka berdua akan pulang ke negara masing-masing, sehingga yang paling memungkinkan adalah tanggal 15-16 Juli itu.

Kak Fima ceritanya sangat ingin Fujinobori. Ya cetakan WL lah ya, nurun ke gue. Kak Fima baru ke Jepang September lalu sedangkan Fujisan dibuka untuk dinaiki hanya di bulan Juli dan Agustus. Mungkin Fujisan hanya dibuka dua bulan per tahun dengan alasan keamanan pendaki. Suhu summer di gunung ketika malam hari aja ga beda jauh dengan winter Tokyo di malam hari. Kalau Fujinobori di musim dingin, idih, ngebayangin dinginnya aja gue ogah. Akhir pekan pertama di bulan Juli masih Ramadhan, adapun weekend keduanya gue udah ada agenda nonton kembang api, maka dari itulah akhirnya baru naik di tanggal 15 dan 16 Juli.

Sebelum naik, banyak instruksi yang diberikan Kak Fima ke gue via chat messanger, ya instruksi biar olah raga lah, nyari barang ini-itu lah untuk pendakian, diskusi waktu dan tempat ketemuan lah, dan banyak lainnya. Sebelum naik, kami sempet ketemuan lagi untuk nyari headlamp untuk kami dan sepatu outdoor untuk Kak Fima. Ujung-ujungnya gue malah naksir carrier ukuran imut, hanya 28 liter. Warna biru, cantik, suka banget sama birunya. Pas-pasan tas ransel biru gue baru putus talinya ketika Ramadhan. Huffft, perempuan mah emang suka gitu. Niat ga belanja, ujung-ujungnya belanja paling heboh. Haha..

Perlengkapan naik; Pooh dan beruang tidak termasuk

Kalau dengar-dengar cerita dan baca blog orang tentang Fujinobori, katanya ga sesulit naik gunung di Indonesia, maka dari itulah carrier imut itu gue beli. Tujuan pertama adalah untuk Fujinobori. Tujuan keduanya untuk bawa barang pas pulang ke Indonesia, tujuan ketiganya adalah untuk piknik dan jalan-jalan yang cuma sehari-dua-hari saja.

Winter coat gue sudah dibawa pulang oleh Ibu ketika Mei lalu sempat main ke Tokyo, alhasil gue meminjam winter coat Mbak Indri untuk naik ini. Jas hujan juga minjem seorang senpai lain. Headlamp dibeliin. Sepatu running udah beli beberapa bulan lalu. Carrier baru beli 4 hari sebelum naik.
Kelakuan banget kan..
-______-

Gula merah yang ga abis-abis karena cuma sekali-kalinya bikin bubur kacang hijau, dibuang sayang, mau dipakai masak tapi skill masaknya cupu, akhirnya gue bawa naik gunung untuk asupan energi sederhana yang mudah dicerna. Bawa juga madu hasil shopping di toko 100円. Pengalaman naik Gede tahun lalu bawa air 3 liter, sehingga Fujinobori ini gue juga bawa air 3 liter.

Tanggal 15 Juli lalu, gue langsung ngacir setelah pulang kuliah jam 14,30 JST. Sambil ngebut naik sepeda dari Koganei ke Fuchu, gue beli onigiri 8 biji (buat makan malam dan besok paginya), dan langsung mandi setelah sampai kamar. Setelahnya langsung ngacir lagi ke stasiun untuk naik kereta ke tempat ketemuan dengan Kak Fima, Stasiun Gotemba. Jauh bro, sekitar 85 km, 2 jam lebih naik kereta. Akhirnya gue berhasil sampai Gotemba jam 17.55 dan jadwal keberangkatan bis ke Fujisan adalah jam 18.10. Kalau kata gmaps, dari kamar ke Gotemba rutenya seperti ini..

Mayan uga~

Di Fujisan ada 10 pos, dengan pos 1 di bawah dan pos 10 adalah di puncak. Kendaraan dapat naik hingga pos 5. Setelah pos 5, silakan berjalan kaki sampai atas. Bis yang kami naiki itu adalah bis menuju pos 5. Kalau naiknya paket wisata Fujisan, maka bis akan menjelajah dari pos 1 hingga pos 5.

Menurut cerita mbak-mbak pemandu paket wisata (inipun gue diceritain senpai yang pernah ikutan paket wisata), pos 1 hingga 10 posisinya ditentukan dari kebutuhan lentera selama pendakian. Ketika lentera pertama habis, maka di situlah posisi pos 1. Lalu ganti lentera, ketika lentera kedua habis maka di situlah pos 2, dan begitu seterusnya.

Kami bertiga mulai naik lewat dari jam 7an malam dengan headlamp menyala. Selangkah demi selangkah. Beberapa kali gue dan DJ (temannya Kak Fima) mendapati Kak Fima tertinggal jauh di belakang. Padahal saat itu belum juga sampai pos 6. Setelah beberapa kali fase menunggu-ketemu-ketinggalan lagi-nunggu lagi-dst, akhirnya kami dapati cahaya lampu di kejauhan, tak lama kemudian muncul Kak Fima.

Pada ketertinggalan yang kesekian kali itu, dengan muka pucat Kak Fima bilang bahwa dia ga kuat. Sudah lama ga latihan fisik dengan keras, efek terlalu lama duduk di balik meja kerja. Nungguin dirinya hanya akan bikin langkah kami jadi luar biasa terhambat. The most surprising thing is Kak Fima bilang bahwa kami ga perlu nungguin dia. Kak Fima ga akan sampai puncak, mungkin akan berhenti di pos terdekat, pos 6. Kalau kuat akan lanjut ke pos 7 besok paginya. Nanti setelah pagi kami akan kontak-kontakan kembali untuk ketemuan pulang.

Di situ gue diem.
Ga percaya aja..
Seorang kakak kelas yang gue tau banget deh 10 tahun lalu beliau keadaan fisiknya kayak apa, bisa jalan kaki 4 jam nyaris tanpa berenti, sekarang bahkan belum sampai 2 jam berjalan dengan trek agak terjal sudah ga kuat.

Setelahnya ada prosesi yang agak panjang dan cukup drama. Kak Fima personally menitipkan gue ke DJ dan minta maaf ke gue karena ga bisa ikutan sampai atas.
"She's supposed to be my responsibility. Could you please take her care for me?"

Gue susah buat percaya dengan orang lain. Tapi di WL gue menemukan beberapa alumni yang bisa gue percaya sepenuhnya dan Kak Fima termasuk di dalamnya. Bahkan saking percayanya sehingga gue berani diajak naik gunung paling tinggi di negara orang sekalipun. Adapun di Pandawa, gue hanya menemukan seorang Purna yang bisa gue percaya sepenuhnya.

Setelah pernyataan bahwa Kak Fima ga bisa ikut ke puncak Fuji, ga berarti rasa percaya gue hilang. Bahkan sama sekali ga berkurang. Berhentinya Kak Fima di tengah jalan membuat gue kembali belajar mengenai quote legendaris Smansa,
Jangan batasi diri, tapi tau batasan diri
Bentuk nyatanya ternyata benar-benar sangat banyak jenisnya.

Kami (gue dan DJ) akhirnya tiba di puncak setelah matahari terbit. Kurang lebih 12 jam waktu yang kami butuhkan untuk naik. Seharusnya ga selama itu, tapi kami sempat tidur di beberapa pos karena capek. Persis sebelum naik, kami punya aktivitas masing-masing dan memang belum ada yang sempat boci.

Kalau baca di blog orang-orang, rata-rata hanya membutuhkan 6-8 jam aja untuk naik dari pos 5 sampai puncak. Salah satu hal yang menghambat langkah gue (DJ selalu di depan gue dan kayaknya dia ga capek-capek deh) sepertinya adalah air 3 liter.
((TIGA KILO MEEEEN))

Berhubung ini summer, subuh itu mulai jam 3an dan matahari terbit sekitar jam 5.

Lovely dawn

Matahari terbit ketika kami ada di pos 8. Kata tulisan di sekitar situ sih 3300 MDPL. Hal yang menakjubkan di pos 8 adalah ada wifi.
((3300 MDPL DAN ADA WIFI))
Negara macam apa iniiiii -____-

Matahari terbit di gunung tertinggi di negara matahari terbit

Ketika matahari terbit, untuk pertama kalinya setelah sembilan-setengah-bulan hidup di Jepang, gue melihat orang jepang menyembah matahari terbit. Setelah matahari terbit, kami melanjutkan perjalanan sampai puncak. Ceritanya, gue lupa foto-foto selama di puncak karena ngantuk, jadi foto-fotonya agak ga jelas apa..

Di dekat kawah di puncak gunung

Monumen yang sepertinya bilang bahwa sudah berada di atas Fujisan

Sempat-sempatnya berpose sebelum turun

Kalau kata teman gue sih ini busa cucian mesin cuci~

Peta puncak Fujisan

Bendera negara penjajah di puncak gunung tertinggi di negaranya

Di tiap pos pemberhentian ada toilet tapi sumfeh ga recommended banget. Ada klosetnya, tapi ga ada air di klosetnya, adanya jerami doang jauh di bawah. Bahkan ketika melongokkan kepala ke atas kloset aja jeraminya keliatan. Jadi semua hasil buangan manusia itu akan jatuh ke atas jerami dan periodically jeraminya akan dibakar.

Katanyamah eco friendly. Tetep aja geleuh --"
Gue yang jarang geleuh aja sampai bisa geleuh --"

Satu hal lagi, toilet di sini bayar, men. Pertama kalinya nemu toilet bayar di Jepang ya di gunung ini. Toilet di seluruh pos bayar 200 yen, kecuali di puncak, 300 yen.

Setelah duduk cantik dan tidur (lagi) di puncak, kami memutuskan untuk turun gunung. Ada rute yang dibuat khusus untuk turun. Medan yang berpasir-kerikil-baru membuat sesi turun gunung menjadi agak sedikit lebih mudah, meskipun sakit di ujung-ujung jari kaki karena digunakan untuk mengerem. Gunung yang sekian lama didaki itu dituruni hanya kurang dari 3 jam.

Rute turunnya hanya serosotan doang di pasir, haha. Seru deh. Tapi tetep aja kalau apes bisa menginjak batu dan kerikil dan jatuh guling-guling. Gue berkali-kali kesandung, telapak tangan udah sempet berdarah, dan mayan juga sih sakitnya setelah nyaris guling-guling.

Akhirnya di pos 5 kembali ketemu dengan Kak Fima, lalu kami bergerak menuju halte bis untuk naik bis yang akan membawa kami menuju Stasiun Gotemba. Dari Stasiun Gotemba, selanjutnya gue pulang menuju rumah.

Muka gosong di stasiun Gotemba, menuju Tokyo >.<

Menurut pemaparan teman yang pernah naik Mahameru, sepertinya medan Fuji ga beda jauh dengan Mahameru. Berpasir, berkerikil, curam. Di bagian nyaris puncak, medannya berbatu-batu besar. Ada saat-saat di mana gue harus memanjat untuk bisa naik, ga kuat kalau hanya mengandalkan kaki saja, tangan juga harus ikutan. Ada juga saat di mana angin bertiup luar biasa kencang sehingga rasanya takut terbang kebawa angin. Jangankan takut terbawa angin, rasanya bergeser sejauh tiga puluh senti  dari tempat kaki berpijak aja udah takut, itu berarti sudah keluar dari rute dan medan curam berpasir bisa bikin kita menggelinding ke bawah dengan mudahnya.

Ada suatu masa di tengah malam itu gue dan DJ tersesat. Seriusan rasanya mau nangis. Di kejauhan melihat lampu dari headlamp yang berbaris rapi, itu rute yang benar. Lalu kami berusaha melewati hamparan pasir dengan kemiringan curam untuk sampai ke tempat yang benar. Saat itu, jalan tegap aja ga bisa, harus setengah merangkak saking curamnya. Setiap melangkah, merosot ke bawah 10-20 cm karena pasir semua dan curam. Jarak 100 meter aja gue tempuh lebih dari 5 menit.
Alhamdulillah terlewati..

Kecuramannya segini, cuy ~


----------


Penutup
Tanggal 13-14 Agustus 2016 mendatang, PMIJ (Persaudaraan Muslim Indonesia di Jepang) akan mengadakan Fujinobori dan gue direkrut jadi panitia. Sebenarnya ajakan Fujinobori PMIJ ini udah ada sejak lama. Bahkan ketika Ibu datang di bulan Mei itu gue sudah sempat melempar isu mengenai naik Fuji. Ketika itu responnya positif. Jadi sebenarnya persiapan naik gue ini adalah untuk naik bersama PMIJ, hehe. Makanya ini sedang dalam proses izin lagi, semoga boleh lagi.
Aamiin..

Kesempatan kedua, men. Kesempatan kedua tidak akan menjadi lebih baik kalau kita menjalankan kesempatan tersebut dengan cara yang sama dengan kesempatan pertama. Maka dari itu gue belajar banyak dari kesempatan pertama Fujinobori. Jangan lupa bawa sunblock, karena muka sudah kebakar di penanjakan yang pertama.

Naik di pertengahan Agustus nanti gue ga akan bawa air 3 liter, mungkin hanya akan 1,5 atau 2 liter aja. Ga akan bawa baju ganti sepasang dan baju naik sepasang, gue bawa baju untuk naik aja karena nanti ganti pas pulang akan pakai baju pas berangkat aja (asalkan bajunya cuma dipakai dari kamar ke tempat janjian lalu ke pos 5, jadi masih belum kotor). Berat men.

Semoga kesempatan kedua Fujibonori ini bisa lebih baik, lebih ringan, lebih praktis, lebih gesit, apalagi ditambah tanggung jawab tambahan bawa rombongan naik sekitar 10 orang.
Aamiin.


----------


After Credit
Kalau ada yang nanya mengapa gue mau-maunya naik gunung yang sama untuk kali kedua dalam jangka waktu cuma selisih 4 pekan, gue punya jawabannya.

Naik gunung mengajarkan gue untuk well prepared dalam melakukan sesuatu. Gue juga belajar untuk memilah-milah, mana yang penting serta perlu dibawa, dan mana yang enggak, terbukti dari banyaknya benda di Fujinobori pertama yang akhirnya akan gue tinggalkan ketika naik untuk kedua kalinya.

Naik gunung juga mengajarkan gue untuk menghadapi masalah. Fujisan kalau dilihat dari jauh rasanya tinggi. Pake banget. Tapi ternyata kalau dijalani, selangkah demi selangkah, asalkan ga berhenti, akan ada saatnya berhasil didaki. Masalah dalam hidup juga seperti itu kan? Di awal kelihatan besar dan rumit, tapi setelah diuraikan satu-satu, dikerjakan sedikit-sedikit, akhirnya selesai juga.

Melakukan sesuatu lebih dari sekali (apalagi dalam jangka waktu yang cukup dekat) membuat gue mengukur diri, sebenarnya gue belajar apa sih dari kegiatan yang pertama? Apakah gue melakukan kesalahan yang sama? Kebodohan yang sama? Keteledoran yang sama? Apakah gue melakukannya dengan lebih cerdas? Lebih efisien? Lebih baik? Lebih bertanggung jawab? Lebih ga manja? Lebih ga ngerepotin?

Manusia yang beruntung adalah yang lebih baik daripada masa lalunya kan?
Naiknya gue sampai dua kali ini adalah untuk melihat,
Apakah gue sudah jadi orang yang beruntung?
Semoga sudah
:)

Bismillaahirrahmaanirrahiim.