Jumat, 23 Juni 2023

Kisah Kami Menabung Haji

Bulan Dzulhijjah identik dengan banyak kisah mengenai qurban dan haji. Bersama ini, kami (saya dan Ari) bermaksud menceritakan kisah menabung kami untuk mendapatkan porsi haji.

Sekilas info : Porsi antre haji bisa didapatkan setelah menyetor uang sejumlah 25 juta. Jika kami ingin berhaji berdua, maka kami perlu 50 juta untuk mengamankan porsi antre haji (meski antre-nya sendiri masih puluhan tahun).

Awal mulanya, di Ramadhan 2019, ada pengajian kemuslimahan di kantor saya dengan narsum Ibu Euis Sufi Jatiningsih.

Beliau menyampaikan bahwa Ramadhan adalah bulan penuh ampunan. Dan menyampaikan bahwa muslim yang mau masuk surga itu kayak orang Indonesia yang mau naik haji.

Apa persamaannya? Yaitu belum memulai usaha apa-apa.

Beramal secukupnya, bertaubat juga jarang, menabung juga banyak alesan. Memang sih Allah itu mendengar doa, tapi Allah juga melihat upaya kita untuk mengamalkan sesuatu.

Apakah saya merasa tertampar? YAIYA DOOOOONG

Saat itu saya belom nikah. Dan saya tau banget Ari itu bukan yang anak-nabung gitu.

Akhirnya ketika Idul Adha di tahun yang sama, saya ngide nabung bareng untuk haji/qurban. Tentu ada penolakan dan argumen panjang. Wkwkkwkw (hidup kami penuh debat kisruh sejak jauh sebelum menikah).

Setelah banyak-banyak brainstorming dan penawaran sana-sini, lalu kami bertekad setidak-tidaknya setelah berkeluarga itu kami harus berqurban setiap tahun sebanyak :

=roundup(0.5 * N)

N = jumlah anggota keluarga

Saat itu disepakatilah seorang menabung 150 ribu per bulan untuk qurban. Tabungan qurban tersebut disimpan di saya. Khawatir berubah jadi akeseoris hape kalo disimpan di Ari. #iniserius

Beberapa bulan kemudian, kami menikah di akhir November 2019. Ketika honeymoon, kami membuat rencana upgrade tabungan haji karena masa karyawan kontrak saya selama setahun hampir selesai dan saya sudah mulai bisa dinas-dinas luar kota. Dengan banyak-banyak optimis, kami yakin saya akan jadi karyawan tetap dan gajinya akan naik.

Tentu juga dengan berdoa untuk dilimpahi rezeki yang berlebih, sehingga ringan untuk beribadah dan berbagi

Akhirnya kami upgrade alokasi tabungan per bulan. Yang awalnya 150 ribu per orang per bulan, menjadi digabung (karena sudah menikah) sejumlah sejuta per bulan.

Tak lama saya hamil Aqila. Tabungan harus mulai dialokasikan juga untuk kontrol hamil, melahirkan, dan aqiqah.

Dan benar saja. Alhamdulillah saya mulai dapat dinas luar kota, jadi karyawan tetap, dan gaji pokok meningkat. Lalu juga ada restrukturisasi pada lembaga tempat saya bekerja sehingga gaji baru itu rasanya naiknya kok banyak banget 😭. Masya Allah.

Lalu Ari juga tiba-tiba jadi banyak banget kerjaannya. Sebelumnya lembur hanya 1x per bulan, di awal 2020 bisa jadi 2-3x per bulan. Hal ini berimplikasi pada honor lembur yang meningkat.

Tak lama, muncul pandemi. Kantor saya full WFH (boleh ngantor tapi harus dengan izin atasan) dan kantor Ari menerapkan kerja secara hybrid. Ongkos PP Ari Jaksel-Bogor otomatis dapat dihemat.

Setiap ada lebihan-lebihan itu kami sisihkan. Kami yakin ini adalah salah satu jalan Allah agar target tabungan haji kami cepat terpenuhi.

Biaya kontrol kehamilan hingga lahiran, blass semua tercover oleh asuransi kantor Ari. Yang padahal asuransi karyawan itu merupakan benefit baru di kantornya.

Meanwhile biaya vaksin-vaksin Aqila setelah lahir tercover seluruhnya dengan fasilitas kesehatan kantor saya. Yang juga benefit ini super-duper baru banget adanya.

Akhirnya setelah dikeluarkan untuk aqiqah dan qurban di 2020, pada pembukuan tabungan haji 2020 terkumpul sebanyak 14 juta. Jujur ini jauuuuuh di atas prediksi saya. Saya awalnya merasa bisa nabung 10 juta per tahun itu udah akan jadi prestasi besar (10 juta per tahun dengan rincian : menabung sejuta per bulan, lalu lebihan2/lembur/bonus ditambahkan utk menggenapkan biaya qurban).

Awal menabung haji ini saya sudah berkata ke diri sendiri bahwa, "Nabung 5 tahun ga apa-apa ya. Setahun minimal 10 juta. Allah melihat upaya kok, bukan semata-mata hasil."

Tapi ternyata Allah mampukan menjadi 14 juta dalam tahun pertama.

Tahun 2021 target menabung kami meningkat. Dari awalnya sejuta per bulan, kami tingkatkan menjadi 1.5 juta per bulan. Hal ini karena kami bertekad harus qurban minimal 2 domba. Target minimal di akhir tahun adalah terkumpul sebanyak di tahun 2020.

But baby blues did exist. Mommy brain. Brainfog tak berkesudahan. Banyak nge-lag. Beberapa target pekerjaan dari atasan tidak sesuai antara persentase penilaian achievement vs jumlah waktu yang dibutuhkan untuk pengerjaan tersebut (contoh : Ada pekerjaan yang waktu pengerjaannya adalah full sepanjang hari, seminggu sekali. Tapi bobotnya kecil sekali dalam persentase penilaian total pekerjaan saya. Waktu aktual terpakai saya adalah 20% dalam tiap pekan, tapi bobot penilaian pekerjaan tersebut tidak sampai 15%. Dan sialnya tiap 1 on 1 dengan atasan, saya lupa terus untuk mengomunikasikan hal tersebut).

Saya tau diri untuk mengurangi jumlah availabilitas hari dinas agar fokus dengan pekerjaan harian.

Target utama setiap hari bagi ibu dengan anak kecil sebenernya sederhana : semua masih hidup, anak sudah makan-mandi tepat waktu, dan tidak ada yang terluka

Tapi siapa yang memperhatikan kebutuhan ibu : Apakah ibu sudah makan dengan proper? Sudah istirahat dengan proper?

Kadang dalam hidup ada aja so-called support system yang padahal mah ga ada support-support-nya pisan.

Note besar-besar : Ari sangat men-support gue.

Ajaibnya, rezeki itu selalu tau di mana pemiliknya. Mengajukan sedikit tanggal available untuk penugasan di kantor, eh malah dapat banyak penugasan dari sepupu-kantor. Dan tugas dari sepupu-kantor ini ga banyak PR-nya, selesai di hari yang sama, sehingga ga mengambil banyak waktu (tapi tetep dapat honor).

Perhitungan menabung dengan target minimalis kami menjadi terpenuhi dengan lancar.

Ditambah berbagai uang kaget yang beneran bikin kaget pas lihat mutasi rekening, pada akhirnya di 2021 terkumpul juga sebanyak 14 juta. Sehingga total terkumpul 28 juta. Sudah lebih dari setengah target.

Lalu 2022 kami berencana tetap dengan style menabung yang sama. Yang ternyata tidak mudah karena kami mulai tinggal terpisah dengan orang tua. Kami punya 'soft loan' saat membangun rumah yang harus bertahap dilunasi ke orang tua. Di samping itu juga ada kebutuhan-kebutuhan bulanan yang sebelumnya kami sharing dengan orang tua dan kini jadi sendiri.

Ditambah pula kantor saya mulai menerapkan harus WFO setidak-tidaknya sekali dalam sepekan (sebelumnya bisa full WFH sejak pandemi 2020). Banyak boncos di beli makan, wkwkwkwkwk, karena saya tu ga passionate untuk memasak apalagi diburu-buru sebelum berangkat kerja harus masak banyak untuk sampai makan siang. Dahlah, mending beli di luar aja (tapi saya passionate kok kalau nyuci, jadi jarang nge-laundry 😁).

Banyak sekaliiii godaan jajan di 2022 ini. Apalagi kami mulai tinggal terpisah oleh orang tua. Makanan-makanan yang jarang sekali dibelikan orang tua ketika kecil (karena berbagai alasan, mulai dari gizi hingga value for moneyof course bisa kami borong karena ga akan dimarahi orang tua (due to udah ga serumah dan ga ketahuan). Ditambah ternyata preferensi makanan saya dan Ari agak berbeda, jadi kadang kalau saya capek masak ya sebagian makanan mending beli jadi.

Selain godaan jajan, ada juga kenekatan kami yaitu Ari jobless selama beberapa waktu karena ingin mencari pekerjaan yang bisa dilakukan secara remote. Sudah lelah Bund, PP Jaksel-Bogor 5 tahun. Meski resign ini dilakukan dengan perhitungan, ya tetap ada banget dong ketar-ketirnya.

Tapi lagi-lagi, rezeki selalu tau di mana pemiliknya.

Meski saya menyampaikan availabilitas dinas dengan jumlah yang minimalis karena punya tambahan tanggung jawab untuk mengurus rumah, tapi ujung-ujungnya ada juga kejutan-kejutan kerjaan di beberapa bulan terakhir di 2022 meski ada misuh-misuhnya (ofkors!!) dan pulang jam 9 malam. Yang pada akhirnya bisa banget untuk nambah-nambahin tabungan haji kami.

Lalu di akhir 2022, ibu dan adik saya umrah. Karena selisih usia saya dan adik hanya 2 tahun, dari kecil kami hampir selalu mendapatkan fasilitas yang sama. Di saat persiapan umrah itu, Ibu merasa bersalah karena ga bisa mengajak saya ikut serta (ya kalau saya berangkat, gimana Ari dan Aqila kan?).

Untuk mengompensasi hal tersebut, lalu saya dapat uang kaget sejumlah sekian dari Ibu. Lengkap dengan pesan, "Buat nambahin tabungan haji. Ayo masih kurang berapa lagi? Mau minjem uang Ibu dulu? Biar bisa setoran dulu untuk dapet nomor antre. Antre-nya masih panjang. Kalau bisa haji saat muda pasti lebih enak daripada haji pas sudah tua."

Masya Allah 😭.

Momen paling kaget dalam rangkaian menabung haji itu pas dapat kejutan beberapa kali di paruh kedua 2022 termasuk the real uang kaget dari Ibu.

Di tahun-tahun sebelumnya, kami 'tutup buku' tabungan haji ga tepat di akhir tahun, seringnya di awal tahun depannya. Kadang menunggu bonus tahunan saya atau lihat saldo tabungan total kami apakah ada yang bisa dialokasikan untuk menggenapkan tabungan haji.

Dengan uang kaget dari Ibu maka lengkap sudah tabungan kami 50 juta. Ini terkumpul sebelum akhir tahun 2022.

Tapi sayangnya kami baru berhasil mendaftar haji di 2 Januari 2023. Ceritanya panjang lah pokoknya. Wah ini kalau mau diceritain ke-amsyong-an Depag Bogor bisa jadi satu cerita sendiri lagi soalnya.

Dan pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh teman-teman kami adalah :

Nabungnya di bank mana?

Jawabannya adalah : Kami nabung di kaleng kukis hampers lebaran. Tiap akhir tahun kami pindahkan ke goodie bag souvenir nikahan salah satu teman kami.

Besar harapan kami, teman kami tersebut ikut mendapat sebagian pahala menabung dan berhaji kami kelak.

Kegalauan kami memilih bank ga menyurutkan kami untuk tetap menabung. Ketika terkumpul, barulah kami buka akun bank Muamalat, lalu setor 25 juta++ (karena akan ada saldo mengendap) per orang, dan saat itu pula langsung disetorkan kembali oleh bank ke rekening haji.

Mungkin kisah menabung kami tidak terlalu heroik. Ga ada cerita jalan kaki berkilo-kilometer untuk menghemat ongkos. Ga ada kisah makan nasi-kecap-garam atau puasa berhari-hari untuk menghemat uang makan. Juga ga ada cerita jual aset untuk menambah jumlah tabungan. Malah ada kisah dapat uang kaget sebagai kompensasi tidak ikut umrah.

Kami paham sekali bahwa mungkin ujian teman-teman kami lebih beragam dan lebih berat. Ini pun sebenernya ada berat-beratnya, banyak momen misuh, kerja sampai lewat jam kerja, istirahat belum cukup tapi kok udah pagi lagi, pergi tugas ke sana-sini, dll. Tapi saya tuh kalau nulis memang hawanya pasti jadi setengah lawak 😒.

Semoga ada hikmah yang bisa diambil oleh teman-teman yang membaca ini. Bahwa memang tidak mudah, tapi bukan berarti tidak mungkin.


=======================================


Btw cerita ini ada epilognya gais :

Dari duluuuuu, sering banget dengar kata-kata yang intinya menyampaikan bahwa :

"Berniaga dengan Allah itu ga bakal rugi"

Atau

"Allah adalah tuan rumah paling murah hati"

Atau

"Kalau berkunjung ke rumah-Nya maka akan dijamu dan digantikan berkali lipat"

And so on.


Masih di Januari 2023, belum genap sebulan dari kami menyetor tabungan untuk mendapatkan porsi haji. Tiba-tiba ada kisah 'uang kaget' lainnya. Kali ini super kaget. Sejauh ini, ini yang paling jauh.

#yangtautauaja #ifyouknowyouknow

Menurut beberapa penutur yang tidak mungkin saya publikasikan namanya, ada yang sampai cuma bisa mijet-mijet kepala dan nge-lag agak lama. Saking kagetnya.

Bagi saya dan Ari, ini rasanya kayak Allah kembalikan sebagian dari apa-apa yang sudah kami upayakan. Serasa di-pukpuk sambil dibilangin bahwa, "Aku hanya ingin lihat kesungguhan hamba-Ku berusaha kok. Bukan hal yang sulit mengembalikan sejumlah itu dalam sekejap."

Siapa yang ga cireumbay digituin. Cireumbay sabari nge-lag tea karena masih kaget padahal mah.


Sekian.

Semangat nabung (apapun demi kebaikan) ya teman-teman!!

:)

Kamis, 05 Januari 2023

Parenting

Semakin belajar parenting, semakin sadar bahwa kengawuran-kengawuran yang gue 'pelihara' saat ini adalah bentuk dari luka-luka dan ketidakkonsistenan pengasuhan orang tua gue dulu.

Sehingga jadi bisa dipahami kenapa training-training self awareness dimulai dengan memaafkan orang tua.

Manusia-manusia yang jadi beban di masyarakat seringkali berawal dari anak-anak yang tidak terpenuhi hak-haknya ketika kecil. Ada tahapan pengasuhan yang tidak tepat atau terlewat dan berakibat ada hal yg 'ga beres' di dirinya.

Bisa jadi disimpulkan bahwa sebenarnya 'anak durhaka' ga berdiri sendiri. Ada aktivitas pendahulunya sebelum muncul anak durhaka, yaitu 'orang tua durhaka' yang ga memenuhi hak-hak anak dengan baik.

Jangan lupa minta maaf kepada anak kita hari ini.

Sabtu, 03 Desember 2022

Cara pikir orang yang belum punya anak, tentu akan berbeda dengan cara pikir orang yang sudah punya anak, apalagi kalau anaknya banyak. Apalagi kalau malah ternyata orang tersebut belum menikah. Pasti ga nyambung.

Cara pikir orang yang ga pernah hidup kesulitan dari segi harta, tentu akan beda dengan cara pikir orang-orang yang kesulitan harta sejauh mereka bisa mengingat asal-usul nenek moyangnya. Pasti ga nyambung.

Jika kita berperan sebagai pengambil keputusan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak -mulai dari HRD sampai DPRD- hendaknya kita ingat-ingat untuk mencoba menempatkan kaki kita di 'sepatu' orang-orang yang kita wakilkan pembuatan keputusannya.

Cerita dari salah seorang teman baik, terdapat manajer HRD di kantornya sudah terkenal sering 'menyepelekan' udzur/perizinan seseorang yang berkaitan dengan izin dari suami atau sulitnya pengasuhan anak.

Manajer tersebut jangankan punya anak, menikahpun belum.

Hingga suatu hari,

Terdengar cerita bahwa seseorang yang tengah meminta keringanan -tapi ditolak- mendoakan manajer tersebut,

"Semoga dirimu ga perlu merasakan sulitnya izin suami dan susah-payahnya pengasuhan anak"

Sungguh, dalam hatinya seseorang yang dimaksud bukan mendoakan agar manajer tersebut punya suami yang mudah izinnya serta anak yang sesuai tumbuh-kembangnya.

Seandainya sang manajer ingat, bahwa orang yang terdzolimi itu tidak ada sekat antara dirinya dan penciptanya.

Rabu, 26 Januari 2022

Akhlak Terbaik

Di usia mendekati kepala 3, banyak teman-teman gue yang membagikan momen mengenai ayah atau ibunya yang last day di kantor masing-masing, alias akan pensiun. Umumnya akan ada sesi di mana teman-teman kantor menyampaikan bagaimana kesan selama ini berinteraksi dengan yang bersangkutan.

Ayah/ibu terkenal baik hati dan murah senyum. Padahal di rumah, anak-anaknya langganan kena bentakan.

Ayah/ibu disukai oleh atasan. Padahal di rumah, anak-anak tidak suka dengan orang tuanya sendiri.

Ayah/ibu terkenal pekerja keras. Padahal begitu sampai rumah sudah capek. Mengungkit-ungkit sudah kerja seharian. Boro-boro bisa bermain dengan anak atau menemani anak belajar.

Ayah/ibu adalah teman yang baik dan atasan yang pengertian. Padahal di rumah, tidak ada hari tanpa teriakan dan omelan. Pasti adaaaaa saja yang dianggap salah.

Ayah/ibu mampu membuat keputusan-keputusan strategis untuk kantornya. Padahal di rumah, pasangan dan anak malas berpendapat karena ayah/ibu mau menang sendiri serta menganggap keputusannya yang paling benar. "Alah, anak kecil tau apa" ujarnya.

Teman-teman ayah/ibu senang tiap ada tugas berdinas bersama. Wah, ini sih cocok. Keluarga di rumah juga senang tiap ayah/ibu berdinas karena jadi ga ada yang suka ngomel-ngomel di rumah.


~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~


Rasulullah bersabda,

"Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya. Dan Akulah yang paling baik di antara kalian dalam bermuamalah dengan keluargaku."


Akhlak terbaik kita, bukankah seharusnya untuk keluarga?

Sebuah tulisan untuk mengingat tanggal Januari 2022.

Minggu, 07 November 2021

Testimoni

 Dear all..

Jarang-jarang ya gue bikin post kayak gini. Tapi gue rasa untuk case ini sudah kelewat batas sehingga gue merasa perlu menuliskan ini daripada spaneng yekan. Ini adalah testimoni gue dan Ari setelah bekerja sama dengan salah satu developer untuk membangun rumah.

Disclaimer : Kami sudah bayar sesuai ketentuan. Sehingga ini adalah testimoni kami untuk hasil kerjanya (ya kayak orang-orang yg review produk aja lah.. cuma kali ini produknya adalah jasa).

(Insya Allah abis ini akan ada testimoni untuk arsiteknya karena bageur pisan mau bantuin kami ngejar-ngejar si developernya)

Singkat cerita, gue dan suami membangun rumah dengan jasa arsitek dan developer (2 entitas berbeda, tapi developernya adalah kenalan dari arsiteknya). Kontrak di atas materai bersama developer tertulis pengerjaan selama 4 bulan, tapi at the end pembangunannya ngaret for almost 4 other months.

This is not about money. Prinsip gue dan Ari, uang bisa dicari tapi trust ga bisa dibalikin dan waktu ga bisa berputar mundur.

Lalu kalau nanti kalian ada yang berhadaptan dengan bunyi perjanjian yang bilang untuk penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Better said "No!!". Business is business. Yah namanya juga kami newlywed couple, belom paham bahwa bisa-bisanya ada orang yang heseyemeleh kebangetan macem begitu. In several ocasions gue sempet ngomong ke developernya ketika dia mau menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, something like "duh di keluarga saya ga ada yg suka ingkar janji dan tukang tipu sih jadi ga kebayang penyelesaian kekeluargaannya kayak apa".

Tanda tangan kontrak per akhir Februari 2021, tapi si direktur developernya verbally said bahwa ini perhitungannya per material pertama kali tiba di lokasi. Upaya bersih-bersih lahan ga termasuk dari definisi pengerjaan. Material tiba di lokasi per akhir Maret 2021. Tapi hingga saat ini (awal November 2021) rumah gue belum kunjung jadi. Alesan dari developernya? Banyaaaaaaaakk..

Banyak penyebabnya, tapi kami (gue, Ari dan bapak arsitek baik hati) rasa sih karena si direkturnya ampas. Se-ampas apa?

  • Kerjanya ga dipikir
  • Ga bisa me-manage tim dan waktu dengan baik
  • Tidak mendengar keluhan/rekues customer dan tidak merespon kedua hal tersebut dengan baik
  • Punya kesibukan lain di luar sana (jadi rumah gue itu terlihat bukan sebagai aktivitas yang diprioritaskan, padahal gue kalau urusan duit mah nyetor mulu da sesuai kesepakatan, malu keles ngutang-ngutang)
  • Serta kalau ngomong itu asbun, yang dijawab hampir selalu ga nyambung sama yang ditanya (jadi baru mau nanya konfirmasi aja udah keburu kesel, wkwkwkwk).

To be fair : material yang dipilih itu oke punya dan ga tipikal ngoplos-ngoplos gitu.

Tapi ya kebayang kan.. Meski materialnya oke tapi kalau eksekusinya ampas ya ampas aja.

Arsiteknya sampai merasa bersalah ke gue karena ternyata developer kenalannya kok ya seampas itu..

-------------------------------------------

Sependek yang gue tau, developer ini sedang ada project bikin perumahan di Ciherang (Kab. Bogor), Tangerang Selatan, dan Bandung.

In case you find out that rumah yang lu incer adalah dari developer yang gue maksud, better find another place. (Or maybe your future business partner, siapa tau mau bangun apa gitu kan.. Better find another partner). Or maybe orang-orangnya udah tobat bekerja secara ngasal? wkwkwk, (who knows..) titip sampaikan aja dia masih punya hutang berupa kerugian non-material dengan gue.


Spill nama developernya?

Of course.

PT Bumi Sangkuriang Siliwangi


Hint :

Direkturnya bentukannya kayak orang soleh rajin solat karena di jidatnya ada tanda bekas sujud (INGAT!! Rajin solat ga menjamin seseorang itu soleh dan berakhlak baik yes) jadi bukan ga mungkin lu akan merasa everything will be okay (ya kayak gue pas awalnya aja). Padahal aslinya mah hesyemeleh.

Kalau versi pengalaman gue dan Ari selama otw 8 bulan ini, direkturnya bahkan sudah mengantongi 3 ciri munafik yang ada di hadist rasul (berkata bohong, berjanji tapi ingkar, jika dipercaya dia berkhianat) hanya dalam waktu 3-4 bulan.

Spill nama direkturnya? In case dia punya bisnis lain.

Oh tentu saja..

Tapi gue perlu disclaimer (lagi)..

Terakhir kali gue googling sih ada artikel tentang si direktur ini, gelarnya adalah pengamat budaya Banten. Ya mungkin memang aktivitasnya sebagai pengamat budaya lebih capable dan layak 'dipajang', who knows (and who cares?!), yang jelas kemampuannya sebagai developer sih ga sebagus isi di artikel tersebut.

Nama direkturnya adalah :

TB Saptani Suria

or in longer and more complete academic degree way, Tubagus Saptani Suria, SE., ME.


Saat post ini diturunkan, masih rame berita VA yang meninggal bersama suaminya karena kecelakaan di jalan tol Jombang. Nama supirnya yang dijadikan tersangka juga ada Tubagus-nya. Ada apa ini dengan nama Tubagus?

-_________-"

Dahmudahan Tubagus-Tubagus lain sisanya di dunia pada bener deh ya..


Mau tau detail ke-zonk-an rumah yang gue bikin pakai developer tersebut? Atau keampasan direkturnya? Please put your email in the comment below or ask me through dm ig @dilahoy

Semoga kalau ada pembaca yang mau bangun rumah, prosesnya dilancarkan serta dijauhkan dari kekampretan-kekampretan duniawi seperti developer yang ga ikutan antre otak pas masih di alam ruh atau tukang-tukang yang nilep/ga bisaeun ngitung kebutuhan material (ini pengalaman temen gue soalnya). Aamiin.

Thank you :)

Minggu, 23 Mei 2021

Pre-Marriage Journey [Part 2 = Prerequisite]

Prerequisite : Prasyarat; Syarat yang harus dipenuhi ketika mau melakukan sesuatu.

Ada satu pertanyaan yang gue jadikan prerequisite sebelum menikah, Yakni:

"Aku boleh tetap kerja ga setelah nikah dan punya anak? Dan apa pendapat kamu tentang perempuan yang kerja setelah nikah dan punya anak?"

Ketika sebelum diskusi, yang ada di pikiran gue cuma satu :

"Kalau gue ga boleh kerja abis nikah, bhay. Gue cari yang lain."

Studi kasus 1 :

Ada kenalan gue. Keluarga dengan 3 anak. Suami bekerja. Istri sebagai ibu rumah tangga. Lalu suami meninggal, dan istri belum pernah bekerja sebelumnya. Akhirnya istri dan anak-anak pulang ke rumah orang tua istri, keluarga suami tidak membiayai apa-apa (ingat, dalam Islam, anak yatim itu jadi tanggungan keluarga bapak lho), istri dan anak-anak dihidupi oleh orang tua istri. Seluruh anak masih sekolah, dan istrinya have no idea gimana cara cari uang untuk hidup karena belum pernah bekerja sebelumnya.


Studi kasus 2 :

Ari adalah anak tunggal. Bapak meninggal ketika Ari SMA. Ibu Ari adalah PNS. Setelah Bapak meninggal, Ibu tetap dapat menghidupi Ari dan dirinya sendiri hingga Ari bisa lulus kuliah.


Poin diskusi :

Tiap mengenang topik bahasan ini, gue selalu percaya bahwa pemahaman itu dapat berubah, asal orang yang bersangkutan memiliki sikap yang open minded.

Percaya ga percaya, dulu bangeeeet tadinya Ari ga mau punya istri yang kerja di luar rumah. Lucu ya, padahal dia dibesarkan oleh ibu yang jadi single parent dan mungkin dia saat itu belum kepikiran bahwa hal tersebut bisa terjadi kepada siapa aja dan kapan saja. Makanya suka gue ledekin kalau minta traktir, ("Katanya istri ga boleh kerja, tapi diminta traktir..").

Tadinya, gue juga sengotot itu HARUS dibolehkan kerja. Tapi setelah menggali lebih dalam berdua, kenapa gue merasa harus banget dibolehkan kerja, adalah karena gue ga dibiasakan meminta apa-apa sejak kecil. Gue merasa harus berdaya dan mandiri, termasuk secara ekonomi. Apalagi gaji gue sebelum nikah itu nyaris 2x UMR Kota Bogor, sultan banget lah pokoknya, dan ga mau aja abis nikah cuma minta uang doang ke suami ketika ga boleh kerja.

Tapi setelah diskusi panjang berhari-hari (ini serius, sampai berhari-hari), terdapat beberapa poin yang akhirnya disepakati :

  • Nafkah keluarga adalah kewajiban suami, terutama untuk kebutuhan primer dan sekunder (ingat, kulineran cantik bukan kebutuhan sekunder, apalagi primer)
  • Khadijah binti Khuwailid adalah wanita terhormat dan pedagang sukses di Mekkah. Hartanya habis tak bersisa untuk mendukung Rasulullah dan memperjuangkan Islam di awal-awal masa kenabian.
  • Istri-istri dan puteri-puteri Rasulullah juga banyak diriwayatkan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya serta untuk bersedekah dan membantu yang membutuhkan
  • Gue (ketika nanti jadi istri) tetap boleh kerja untuk aktualisasi diri; dan juga Ari kenal gue banget, Ari tau gue bisa spaneng kalau monoton mengerjakan kegiatan domestik setiap hari
  • Karena mencari nafkah bukan kewajiban gue, maka apapun kerjaan gue nanti jangan yang sampai sore banget baru selesai/pulang ke rumah, serta waktu dan tenaga udah habis dipakai untuk bekerja
  • Mendidik anak dan melayani suami tetap merupakan kewajiban istri (mendidik anak tugas berdua sih, nanti dibahas di poin tentang anak dan pendidikan anak ya)
  • Cari pekerjaan/aktivitas yang bikin surga rasanya lebih dekat
  • Ga boleh kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa
  • Menghasilkan uang bukan cuma dengan cara kerja kantoran. Maka dari itu bagi warga yang suka mantengin story IG/wassap gue dan beberapa kali sering menemukan gue sedang jualan, itu merupakan penerapan dari poin diskusi yang ini.

FYI kantor gue yang lama itu (yang gaji gue hampir 2x UMR itu) toxic banget, udah gitu lokasi kerjanya juga jauh, ilmu kuliah gue ga banyak yang kepake di sana, serta posisi gue terlalu strategis dan terlalu jago segala-gala sehingga dimintain kerja macam-macam, pindah-pindah bidang dan jam kerja gue juga agak gila. Gue sampai di rumah ga jarang cuma numpang tidur, mandi, sarapan. Saking toxicnya, gue bisa 3 hari dalam seminggu ngobrol sama Ari isinya ngemaki-maki suasana kantor doang, ya entah itu orang-orangnya ngaco lah, ya sistemnya ngaco lah, dan sederet keluhan lainnya.

Bagi gue dan Ari, ini masuk dalam katagori "kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa". NO DEBAT.

Untuk poin kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa ini ga ada opsi lain selain OUT DARI KANTOR LAMA.

Tiap bahas prerequisite kerja ini gue ga pernah ga terharu sama rencana Allah. Memang ya mungkin kalau sudah sampai waktunya harus menikah, tiba-tiba yang kayak begini gampang aja solusinya.

Di tengah gue galau nyari kerjaan lain, tiba-tiba lamaran yang gue kirim sejak 2017 mulai kelihatan hilalnya (itu kondisinya lamaran udah setaun ga ada kabar). Tiba-tiba lolos ke tahapan seleksi berikutnya. Dan lolos lagi ke tahapan berikutnya. Sampai akhirnya gue diemail bahwa keterima kerja di kantor yang sekarang, bahkan sejak 2 bulan sebelum kontrak kerja di kantor lama gue habis.

Detail waktunya juga bener-bener hanya Allah yang bisa merencanakan. Ga mungkin ini konspirasi manusia.

Tanggal 28 Februari 2019 adalah hari terakhir kontrak kerja di kantor lama. Tanggal 1 Maret 2019 diminta ke kantor baru untuk tanda tangan kontrak kerja.

See?

Kadang kalau udah jalannya buat nikah mah suka ada aja yang kayak gitu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Baru-baru ini, gue menghadiri (via zoom) kajian tentang fiqh wanita yang bekerja (dan Ari ikut nguping). Terdapat beberapa poin yang bisa dijadikan tambahan sudut pandang, di antaranya :

  • Ketika "Tetap bekerja" dijadikan syarat untuk menikah, maka bisa dipastikan ketika ga boleh bekerja maka nikahnya ga jadi, sehingga suami tidak boleh melarang istri bekerja (case gue adalah ini ya btw)
  • Ketika istri bekerja, maka ada waktu yang seharusnya digunakan untuk melayani suami tapi malah dipakai untuk bekerja, sehingga ada hak suami yang harus ditunaikan dari penghasilan kerjaan tersebut (dan Ari langsung minta gofud dong, wkwkwkwkwk)
  • Jika pekerjaan kita butuh keahlian khusus yang tidak mudah dipelajari, maka pekerjaan tersebut menjadi sangat bermanfaat untuk umat (misal dokter spesialis, ilmuwan/peneliti)
  • Jika pekerjaan kita akan memudahkan muslimah-muslimah lain dalam menjaga diri, maka pekerjaan tersebut juga bermanfaat (misal dokter kandungan, bidan, salon muslimah)
  • Jangan bekerja di tempat-tempat/aktivitas yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (misal riba, prostitusi, menipu/mencuri)
  • Bekerjalah di tempat yang membuat kita tetap dapat berhijab dengan baik
  • Bekerjalah di tempat yang memungkinkan tidak terjadinya khalwat

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk menjawab pertanyaan yang mungkin akan terlintas dalam topik-topik yang akan datang, seperti..

"Kenapa acuannya ujung-ujungnya ke Allah/kisah Rasulullah/para sahabat/fiqh?"

Jawabannya adalah : Karena salah satu tujuan gue dan Ari dalam menikah adalah masuk surga sekeluarga, sehingga kami merasa perlu untuk menyesuaikan langkah-langkah di kehidupan ini dengan guidance dari sang pemilik surga. Juga kami merasa perlu untuk mencari reference dari aktivitas-aktivitas para manusia mulia yang sudah terjamin punya kavling di surga.

Mau sidang skripsi aja penelitiannya butuh reference, ya masa mau masuk surga ga se-effort sidang skripsi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kurang lebihnya seperti itu.

Insya Allah akan disambung di lain waktu :)

Minggu, 04 April 2021

Pre-Marriage Journey [Part 1 : Introduction, Disclaimer, Newbie Tips, Bonus Tips]

Introduction :

Di tengah adanya aturan tak tertulis mengenai usia menikah sebaiknya ketika umur masih kepala 2. Di tengah teman-teman perempuan gue yang mulai worry karena disuruh nikah terus sama keluarga. Di tengah teman-teman laki-laki gue (dan teman-teman Ari, karena basically teman kita ya itu-itu lagi) masih banyak yang clueless tentang menikah..

Gue dan Ari menikah di atas usia 25 tahun. Usia gue saat menikah adalah 26 tahun lebih banyak, sedangkan Ari adalah 27 tahun kurang dikit.

Dengan background kami yang berteman sejak kuliah (pas SMA cuma tau-tauan doang) serta tanpa pacaran uwu-uwu ala remaja, cukup banyak yang bertanya ke gue yang intinya, "Dil, gimana caranya lu bisa yakin sama Ari?".

Dan jawaban gue selalu sama, "Ya dibikin yakin lah". Caranya gimana? Kalau gue adalah menginterogasi (karena topiknya lebih berat daripada sekedar 'wawancara') Ari tentang banyak hal.

Ketika kemodusan Ari bertambah busuk dan terlalu obvious, gue nekat nanya "Ini maksudnya apa?". Ya daripada chatting-nya berdua tapi ngarepnya sendiri kaaaan. Wkwkwkwkw. Long story short, intinya dia berencana ke hubungan yang lebih serius dengan gue.


Disclaimer :

Gue bukan expert di bidang ini. Usia menikah gue dan Ari juga baru setara kuliah 3 semester. Di tulisan ini gue memposisikan diri sebagai teman yang kebetulan-udah-nikah-duluan dan alhamdulillah selama usia pernikahan yang 3 semester ini kami berdua ga pernah mengalami ribut panjang yang berlarut-larut karena perbedaan prinsip yang mendasar (karena hal-hal tersebut sudah disepakati dan disamakan cara pandangnya di tahap interogasi).

Lah emang usia pernikahan yang baru 3 semester bisa berantem hebat? Bukannya sedang sayang-sayangnya karena baru nikah? Faktanya, dari list pertemanan gue aja, sudah ada 3 orang kenalan gue yang bercerai di umur pernikahan yang yaaaa setara 3 semester ini.

Cerita Pre-Marriage Journey ini niatnya membantu memberi bayangan bagi teman-teman yang mau menikah tentang kira-kira apa aja ya yang sebaiknya dipastikan sebelum menikah. Pertanyaan dan diskusi ini juga semoga bisa menambah sudut pandang bagi teman-teman. Kalau ada yang baik, datangnya dari Allah (kalau ada yang ngaco ya namanya juga manusia tempatnya salah dan dosa).

Pertanyaan-pertanyaan interogasi serta brainstorming ini bukan berarti harus plek ditiru. Enggak. Ga gitu konsepnya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah hal yang gue merasa harus dipastikan karena berkaitan dengan prinsip serta ngaruh banget untuk teknis hidup berumah tangga (dan kewarasan gue) ke depannya, dan ini bisa berbeda-beda untuk tiap orang.

Hal yang sama untuk jawabannya.

Kalau case gue, gue mau lihat bagaimana pandangan Ari terhadap sesuatu. Bukan semata-mata jawaban benar-salah, tapi lebih kepada apa sih pedoman Ari dalam memandang sesuatu? Apa sih reference dia dalam mengambil keputusan?

Teori dasarnya jelas, bahwa kita ga bisa memberikan hal yang kita ga punya. Teko berisi kopi, ya saat dituang nanti akan keluar kopi. Sehingga dari jawaban-jawaban yang diberikan Ari akan terlihat mengenai apa sih yang ada di kepalanya tentang sesuatu.

"Susah beneeeeer, mau nikah doang aja sampai kayak gitu"

LAH YA IYA DONG

Kalau menikah diibaratkan dengan setengah agama, disebut-sebut sebagai ibadah terlama, ya masa proses menuju ke sana-nya asal-asalan? Beli pepaya di pasar aja milih dulu, masa calon pasangan ga dipilih?


Newbie (karena umur pernikahan gue baru setara kuliah 3 semester) tips :

1. Pertanyaan-pertanyaan ini sebaiknya ditanyakan sebelum baper dan rasa ngarep itu muncul. Kenapa? Agar mudah untuk meng-cut semisal ada poin-poin yang tidak bisa dikompromikan.

Di kasus interogasi-no-baper ini bagi orang yang sebelumnya ga pacaran maka akan lebih mudah hidupnya, karena ga ada tuh istilah "Tanggung ih udah 5 taun pacaran" atau "Duh ortu  kita udah kepalang kenal" atau "Duh, gue udah deket sama nyokap/kakak/adiknya". Jadi ga bias penilaiannya.


2. Buka nurani dan perhatikan red flag

Jangan ragu nge-cut kalau ada satuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu aja hal kecil yang mengganjal berhari-hari. Gue pernah menghempas seorang lelaki karena dia ga bayar pajak motor bertahun-tahun plus lampu belakang motornya mati. Buat gue, itu ga sesuai dengan value yang gue pegang (gue anaknya safety first banget lah, namanya juga anak pabrik). And now I'm happy with that. Laki-laki yang dimaksud di atas, sekarang ga jelas sih kerjanya apa dan gimana idupnya.


3. Numbers can't lie

Dalam tahapan interogasi nanti bisa ajukan beberapa poin pertanyaan yg butuh data/angka untuk menyelesaikannya (misal target tabungan nikah, atau rencana keuangan/tabungan jangka pendek-menengah-panjang). Kalau doi sepik doang asal nyebut "Taun depan" or "Dua taun lagi" or "Lima taun lagi" or asal sebut lainnya tanpa ada dukungan data yang jelas, maka bagi gue yang sangat saintifik ini sudah jelas..

HEMPASKAAAAN.


4. Percaya sama pola

Maksudnya gimana? Misal selalu janji mau berenti ngerokok tapi ga berenti-berenti? Atau justru janji mau berenti ngerokok abis nikah? Halah #taiucing. Udah ketahuan itu polanya, janji doang, masa masih ga percaya sama pola yang udah jelas gitu.

Bukan berarti kita anggap kata-katanya semua janji doang ya. Tapi ayo kita lihat polanya. Misal sebelumnya ngerokok 5x sehari abis selesai shalat (gimana sih kok ngerokok abis shalat, wkwkwkwk), trus dia berusaha mengurangi, biasanya jadi 4x sehari, kadang jadi 3x, tapi kadang banget kalo hangout sama temannya kelepasan bisa 5x lagi. Kan dari situ kita bisa lihat bahwa dia sebenarnya niat berubah meski dikit-dikit (dan ingat, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ya ujung-ujunganya semua keputusannya kembali diserahkan kepada teman-teman sekalian kok.. ini mah judulnya brainstorming doang.


Bonus tips beberapa alternatif pertanyaan pembuka untuk perempuan yang merasa harus memperjelas suatu kondisi tapi doi kok ga kunjung ngomong apa-apa :

(Disclaimer lagi, gue anaknya agak preman, dan waktu itu menanyakan ini ke teman dekat yang sama premannya. Jadi nanyanya tanpa baper dan sambil tetep ketawa-ketawa bego aja.)

"Eh, lu perhatian gini ke gue doang apa ke semua orang juga?"

"Nih yak, umur udah hampir 25. Umur segini dekat sama lawan jenis udah bukan buat nambah-nambahin list mantan kan?"

"Eh, ini tuh ya kita berdua kayak gini, gue ngarep sendiri atau lu ada niatan ke arah biar gue ga ngarep sendiri?"


Kadang perempuan cuma butuh kejelasan hubungan aja ga sih? Tapi kadang laki-laki juga clueless kalau diminta berkomitmen cepat-cepat.

Waktu itu, pernyataan pamungkas gue adalah..

"Kalau lu niat serius, gue juga ga akan minta dinikahin bulan depan kok. Yang penting gue tau dulu kita ini ada apa."

Akhirnya kami baru nikah setelah hampir 2 tahun dari pertanyaan pamungkas itu dan selama 2 tahun itu pula Ari diinterogasi, wkwkwkwk. Untung Ari sabar ya sama gue.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kenapa perihal kejelasan hubungan ini harus ditanyakan? Cewek masa nanya-nanya kayak gitu..

Yak betuuull!!

Kalo ternyata doi ga ada rasa sama kita, kita jadi ga buang banyak waktu. Kita bisa memperluas lagi jaringan pertemanan, siapa tau ada orang-orang baik (dan qualified serta available) di luar sana yang kita belum pernah ketemu sebelumnya.

(Aku si anak oportunis, wkwkwk)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Akhir kata, berikut ada quote dikutip dari @kurniawan_gunadi

"Lebih baik gagal di proses daripada gagal di tujuan"


Lalu dimulai lah proses interogasi gue.

:D

~Bersambung

(Plis doakan aku rajin nulis ya)