Senin, 26 Oktober 2015

#MatahariAkar [The Beginning]

Dalam setahun ke depan mungkin gue akan menulis banyak post dengan hashtag #MatahariAkar. Rangkaian post #MatahariAkar ini adalah kisah gue selama di Jepang. Sejak kapan gue ada di Jepang? Nah maka dari itu gue mau menceritakan banyak hal di #MatahariAkar ini.

Kenapa nama sekuelnya #MatahariAkar? Jadi, Jepang kalau ditulis dalam kanji adalah seperti ini:
dibacanya: Nihon

Belajar kanji itu filosofis banget. Seru loh. Mungkin kapan-kapan gue akan membuat tulisan mengenai kanji.

'Ni'-nya adalah kanji dari matahari dan 'hon'-nya adalah kanji dari akar. Kanji 'hon' kayak gitu juga sebenarnya artinya buku, tapi kan #MatahariBuku agak aneh ya? Lebih keren #MatahariAkar lah menurut gue. Secara harfiah, Nihon itu artinya "The sun's origin" karena kan kalau awal mula apa-apa itu dari akar ya. Makanya sekuel ini judulnya #MatahariAkar. Nomenklatur "The sun's origin" atau "Land of the rising sun" ini dibikin oleh China pada dinasti Sui karena jika according to China, Jepang itu lokasinya lebih timur daripada China. Heummmmm, leh ugha.

The Beginning
Awal-awalnya duluuuuu banget, mentor pertama ketika gue kelas X di Smansa hanya sempat mengisi mentoring sekitar 2 bulan karena selanjutnya beliau akan mengikuti exchange ke Jepang. Beliau kuliah di Sastra Jepang UI angkatan 2005, ya wajar lah ya kalau exchange-nya ke Jepang. Awalnya gue biasa aja.

Setelah mentor pertama kelas gue exchange, ada mentor pengganti. Beliau FKH IPB angkatan 45. Ibu beliau adalah dosen TIN. Di awal masa semester 3, ibu dosen tersebut sempat memberikan kuliah umum terkait suatu mata kuliah di angkatan gue dan berkata, "Kalian angkatan berapa? 48 ya? Aduh, kalian lebih muda daripada anak saya. Anak bungsu saya angkatan 45. Dia mau berangkat ke Jepang akhir bulan ini". Disitu gue rasanya agak ga rela. Padahal siapa gue, hehe. Mentor gue itu (kita sebut saja si Teteh) udah gue anggap kayak kakak sendiri karena gue ga punya kakak, makanya agak ga rela pas tau beliau mau exchange ke Jepang setahun.

Selama si Teteh di Jepang, gue sering mengintip blognya dan menemukan sudut pandang lain mengenai exchange. Jauh sebelum gue membaca buku 99 Cahaya di Langit Eropa, gue sudah mulai menelaah mengenai "Menjadi agen muslim yang baik" melalui perjalanan si Teteh di Jepang. Juga mengenai quote legendaris Smansa, "Jangan batasi diri, tapi tau batasan diri", gue menemukan itu di perjalanan hidup Teteh di Jepang. Teteh gue yang satu ini adalah orang Bogor yang kuliah di IPB, kebayang lah ya kerjanya pulang-pergi seperti gue. Teteh pernah mengaku ga bisa masak. Sedangkan hidup di negara minoritas muslim dengan status kehalalan bahan pangan yang tidak jelas menjadikan Teteh ya harus masak, kalau ga masak nanti ga makan. Sampai-sampai di blog Teteh ada label khusus mengenai masakan beliau selama di Jepang dengan judul 'something edibel'.

Ketika SMP, gue pernah diajarin cara survival di hutan. Kasus kali ini adalah Jepang yang notabene lebih ramah daripada hutan. Bagi gue, itu sangat menantang. 

Sepulangnya si Teteh dari Jepang, gue sempat bertemu beliau di kantin Sapta. Di situ gue bertanya banyak mengenai program exchange yang beliau ikuti. Dari situ gue tau bahwa nama program exchange-nya adalah STEP@TUAT (Short Term Exchange Program at Tokyo University of Agricullture and Technology). Dari beliau, gue tau bahwa pendaftaran program ini di IPB biasa dibuka dari sekitar Desember hingga Februari.

Dengan bermodalkan penasaran, di awal Januari gue iseng membaca requirements-nya. Sedikit sih, tapi harus diperjuangkan untuk mendapatkannya, misal TOEFL dan medical check up.

Saat itu gue sadar bahwa selama Januari-Februari 2014 gue ada agenda UAS semester 5, Fieldtrip angkatan ke Jawa-Bali (gue jadi sekretaris kepanitiaan), dan umroh sekeluarga. Ditambah gue masih akan punya tanggungan di BEM F hingga Oktober/November 2014, itu semakin membenarkan gue untuk ga daftar. Akhirnya gue batal daftar tanpa sempat melakukan perjuangan sama sekali.

Di awal Oktober 2014, tetiba berseliweran di beranda Facebook gue mengenai keberangkatan Teh Usi (Muhjah Fauziyah, FEM 47). Ternyata Teh Usi ikutan STEP yang berangkat 2014. Ya udah. Antiklimaks.

Di awal Januari 2015, ketika masih ribet-ribetnya dengan tugas akhir mata kuliah Perancangan Pabrik, gue mendapat broadcast mengenai program STEP@TUAT 2015. Gue ingin ikut. Gue ingin mengalahkan rasa malas gue di tahun sebelumnya. Gue ingin mengalahkan diri gue yang tahun lalu sudah kalah bahkan tanpa sempat berjuang. Gue ingin menuntaskan rasa penasaran gue.

Bersamaan dengan persiapan pelaksanaan proker perdana BEM KM, BEM Expo "Isi Rumah Kita", gue juga mempersiapkan berkas keperluan pendaftaran. Ya tes TOEFL lah. Ya harus nunggu 3 pekan terhitung sejak daftar baru tes lah. Ya harus nunggu 7 hari kerja untuk ambil hasil TOEFL lah. Ya tes TOEFL pas sedang flu berat karena terlalu lelah dan memforsir diri di banyak hal lah. Ya birokrasi Dit***a yang you know lah kayak apa. Ya ke poliklinik kampus dan malah dilempar-lempar lah. Ya muter-muter mencari RS di Bogor yang bisa X-ray thorax dan hasilnya cepat lah. Ya ambil darah dan urin di Prodia sampai numpang shalat di rumah sepupu lah. Ya sengaja nunggu dari sore untuk ambil nomor antre pertama di dokter langganan sejak kecil lah. Ya bolak-balik dari rumah ke tempat praktek dokter karena dokternya salah isi dan gue ngeprint ulang form kesehatan lah. Ya ngabisin uang tabungan 3 bulan untuk ngerjain itu semua lah. Ya gitu lah.

Gue awalnya sempat galau ketika mau ikut. Galau kalau lolos nanti harus bagaimana. Dengan kondisi gue yang sudah tingkat segini, berarti S1 gue akan 5 tahun lebih dikit. Wedeh. Ada dua jawaban yang membuat gue akhirnya tetap mencoba. Yang pertama adalah dari Ibu,
"Kalau daftar aja belum mah ga usah mikir gimana kalau keterima. Yang daftar aja belum tentu keterima, apa lagi yang ga daftar."

Jawaban kedua adalah dari partner ngasprak gue selama 2 semester, Kholiq,
"Lu punya kesempatan itu, Dil. Ambil. Kalau lu tanya gue, dengan kondisi gue yang kayak gini, gue ga akan ambil. Gue anak laki-laki pertama lah. Bidik Misi yang cuma sampai semester 8 lah. Banyak, Dil, alasannya."

Ahirnya dengan banyak-banyak basmalah, gue daftar.

Setelah wawancara dengan orang ICO dan Dit***a lalu dipojokkan hingga terpojok dengan bahasa Inggris pas diwawancara, setelah  bingung karena email penerimaan yang bahasanya tersirat banget (sampai gue bingung maksud email ini sebenarnya artinya keterima apa enggak sih), setelah deg-deg-ser menanti kiriman COE dan LOA yang akan jadi surat sakti untuk bikin visa, setelah bikin visa yang ternyata simpel banget, finally semenjak 1 Oktober 2015 gue sudah ada di negara #MatahariAkar.

Selamat datang :)
Bismillaahirrahmaanirrahiim
:)