Selasa, 28 Juni 2016

Dua Tiga

Alhamdulillahirabbil 'alamin karena atas rahmatNya maka seorang Dila masih diberikan umur hingga 23 tahun (9 bulan) di bumi ini.

Kue ulang tahun yang dibeli sendiri oleh yang ulang tahun

INGAT!!
Dua potong kue tidak harus selalu berarti untuk dimakan bersama pasangan.

Jadi ceritanya ada hal yang berhasil gue pelajari di momen ulang tahun kali ini. Tiga tahun lalu, ketika gue ulang tahun kedua-puluh, ada salah seorang teman baik gue yang memberikan sebuah buku sebagai hadiah ulang tahun. Bukunya bagus, luar biasa bagus, kumpulan cerpen Sapardi Djoko Damono, tapi bukan bukunya yang mau gue bahas.
#yaelah.

Di halaman awal buku tersebut, teman gue itu menulis sebuah ucapan ulang tahun. Gue tidak hapal redaksi persisnya seperti apa (karena bukunya ditinggal di rumah juga) tapi gue ingat secara garis besarnya,
..Semoga semakin bijaksana tentang kapan harus bicara dan kapan harus diam..
Sejujurnya gue langsung diem pas baca ucapan itu.

Dari dulu gue tau bahwa lidah tak bertulang dan omongan gue itu bukan cuma sekali-dua-kali aja nyakitin orang lain. Berkali-kali. Bahkan ga lama abis ulang tahun kali itu aja gue dipundungin oleh salah seorang teman baik gue selama hampir setahun gara-gara lupa pake saringan di depan mulut.

Dari dulu gue pengen jadi agak sedikit lebih bener untuk perihal berbicara ini tapi ga nemu aja momen yang pas. Dasar Dila, mau jadi lebih bener aja nunggu momen dulu. Berhubung umur dua puluh itu agak sedikit punya momentum (umur jadi kepala dua), akhirnya gue memutuskan untuk mulai pay attention dengan perihal berbicara.

Sampai saat ini gue pribadi merasa udah agak lebih baik untuk urusan berbicara. Dalam banyak kasus udah sempat mikir dulu sebelum nyerocos dan gue sangat mensyukuri hal itu. Gue juga belajar mengenai timing untuk ngomong dan lagi-lagi mensyukuri hal itu. Meskipun kadang masih sering menyebalkan, setidaknya ini sedang berusaha, semoga bisa lebih baik ke depannya. Aamiin.

Berbicara mengenai perihal berbicara ini, gue semakin yakin bahwa gue MEMANG HARUS pay attention dengan urusan ini. Ada beberapa kasus yang membuat gue yakin bahwa kemampuan sederhana ini punya dampak yang luar biasa besar. Tentunya  kutipan "Mulutmu harimaumu" diciptakan karena ada yang sudah berpengalaman dengan hal itu. Tentunya juga hadist "..berkatalah yang baik atau diam.." bukan dituturkan oleh sembarang orang.

Kisah 1
Setelah di Jepang ini, ada suatu momen di mana gue mengetahui kabar pascakampus dari beberapa orang teman di Tinformers (you know, rasanya senang banget lho masih berkesempatan tau berita teman-teman seangkatan kampus ketika sedang merantau sendirian di luar negeri) lalu dengan antusias gue mengabari seorang teman baik gue lainnya, sebut saja namanya A.

Hal yang menakjubkan adalah si A ini menanggapi seluruh chat WhatsApp gue dengan antusias. Setelah beberapa saat, gue tersadar bahwa pastilah si A sebenarnya udah tau apa yang sejak tadi gue ketik panjang-lebar di WhatsApp, secara doi kan memang ada di sekitar kampus (setidaknya Jabodetabek itu berlokasi di sekitar kampus jika dibandingkan dengan Tokyo).

Setelah gue konfirmasi, ternyata memang benar, dia sudah tau seluruh cerita yang gue ceritakan. Tapi dia tetap menanggapi gue dengan antusias. Jika gue yang ada di posisi si A 3 tahun yang lalu, hampir pasti gue akan bilang bahwa gue udah tau berita tersebut dan bukan ga mungkin itu menyakiti seseorang yang ada di posisi gue saat ini.

Kisah 2
Di kampus gue ini, ada salah seorang senpai Indonesia yang ada sedikit masalah dengan kandungannya lalu dirawat inap dalam jangka waktu yang cukup lama di rumah sakit, sebut saja namanya si Kakak. Si Kakak ini sudah menikah, dan sebut saja suaminya sebagai si Mas. Si Kakak dan si Mas ini adalah tipikal pasangan luar biasa baik hati yang sebisa mungkin berusaha untuk ga perlu ngerepotin orang sehingga berita si Kakak masuk rumah sakit ini hanya sebagian saja teman Indonesia yang tahu (termasuk gue), khususnya teman-teman yang sering berinteraksi dengan pasangan ini saja, itupun informasinya tersebar melalui japri dari si Kakak, bukan dipost di grup. Gue cukup yakin, bukan maksudnya untuk menutup-nutupi, tapi yaaaah, ga semua hal harus diceritakan ke semua orang kan?

Di kampus pula, ada seorang senpai lain yang sedang kuliah S3, sebut saja namanya si Mbak. Dari sisi umur (meskipun gue belum pernah bertanya secara langsung) hampir dapat dipastikan lebih tua daripada gue sekitar 10 tahunan. Si Mbak ini tahu bahwa si Kakak dirawat di rumah sakit.

Suatu hari, si Mas sempat agak aktif di grup (ya kan namanya juga chat grup, hehe) dan si Mbak ini menanggapi lalu frontally bertanya apakah si Kakak udah sembuh atau belum. Di situ gue diem. Ga setuju dengan apa yang dilakukan si Mbak. Ada hal-hal yang memang segaja ga dikasih tau lalu beliau ngasih tau seenaknya dan gue cukup yakin bahwa si Mbak bilang gitu di grup belum dengan persetujuan si Kakak ataupun si Mas.

Karena tak tahan, guepun menjapri si Mbak dan jawabannya adalah si Mbak keukeuh bahwa yang dilakukannya tadi adalah benar.

Kisah 3
Masih tentang si Mbak. Secara singkat, gue diundang berbuka puasa oleh salah seorang senpai Indonesia (tapi beda kampus, namun daerah rumahnya berdekatan). Si Mbak dan beberapa senpai lainpun ada yang diundang. Undangan berbuka ini via japri langsung oleh sang tuan rumah dan hanya ke orang-orang tertentu aja. Mungkin sang tuan rumah ga bermaksud membeda-bedakan, cuma kan ga salah ya kalau merasa punya kedekatan personal dengan beberapa orang tertentu?

Si Mbak ini lalu mengajak seorang senpai lain yang dituakan oleh teman-teman Indonesia untuk berangkat bareng dan apesnya adalah senpai yang diajak tersebut itu tidak diundang oleh sang tuan rumah.

Nahloh kan jadi serba salah. Gue mah udah diem aja dengan muka bete pas si Mbak cerita. Hingga saat ini, kadar respek gue ke si Mbak sudah ga pernah sama lagi dengan sebelumnya.


------------


Dahulu mungkin gue lebih parah daripada si Mbak, sekarangpun gue belum tentu lebih baik daripada si Mbak. Tapi semenjak 3 tahun lalu ada satu hal yang secara intensif sedang gue perbaiki untuk urusan berbicara ini dan gue jadi tahu bahwa orang seperti si Mbak itu luar biasa menyebalkan. Gue jadi tahu bahwa gue sebelum 3 tahun yang lalu itu juga luar biasa menyebalkan.

Mohon maaf kepada semua yang pernah jadi korban gue, maaf dari hati yang terdalam karena pelakunya baru sadar akhir-akhir ini. Semoga ke depannya tidak perlu bermunculan korban lain, aamiin.

Sejujurnya, gue belajar sangat banyak mengenai berinteraksi dan of course cara mengontrol mulut dari si A dan teman yang mengadiahi gue buku itu. Semoga ke depannya masih selalu dikelilingi orang-orang luar biasa yang bisa memberikan banyak pembelajaran. Semoga selalu diberikan kemampuan untuk mencari pembelajaran sebanyak-banyaknya dari seluruh orang yang pernah dipertemukan dan pembelajaran dari seluruh momen yang pernah dilalui.
Aamiin.
:)

Umur ternyata tidak dapat menjamin kebijaksanaan seseorang. Kalau orangnya memang ga mau belajar ya ga akan berubah. Mengacu pada ucapan selamat ulang tahun dari teman gue 3 tahun yang lalu, ternyata menjadi bijaksana bisa jadi sesimpel itu,
"..tahu kapan harus bicara dan kapan harus diam.."

Akhir kata,
Selamat 23 tahun, Dil :)
Selamat naik kelas :)

Selasa, 21 Juni 2016

Pemahaman Hidup dari Teknik Optimasi

Beberapa hari lalu ada salah seorang praktikan gue mengepost di linimasa sebuah chat messenger miliknya,
10x10
Gue cukup yakin 10x10 itu adalah ukuran matriks yang harus dibuat untuk menyelesaikan soal UAS mata kuliah Teknik Optimasi karena dua tahun lalu gue menghadapi matriks 10x10 juga.

Cemangat eeaa qaqa!!

[Sumber gambar]

Berbicara mengenai Teknik Optimasi, ada sebuah pemahaman yang gue pelajari dari mata kuliah ini. Pemahaman ini juga sesuai untuk digunakan di dalam kehidupan nyata.

Secara umum, mata kuliah Teknik Optimasi ini -sesuai dengan judulnya- membicarakan mengenai bagaimana caranya kita mengoptimasi suatu proses produksi dengan segala constrain (hambatan) yang ada. Misal, bagaimana caranya memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari ketersediaan sumber daya (modal) yang terbatas, atau bagaimana caranya memperoleh suatu target keuntungan tertentu dari sumber daya yang seminimal mungkin. Selalu ada target dan hambatan ketika melakukan sesuatu. Hidup memang seperti itu, kan?

Mungkin selama ini, kita pernah beberapa kali mendengar teori mengenai mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dengan modal (sumber daya) sesedikit-sedikitnya. Sayangnya, menurut gue, teori itu nyaris tidak mungkin.

Di dalam Teknik Optimasi, gue belajar bahwa fungsi tujuan optimasi itu di mana-mana cuma ada satu, di dalam kehidupan nyata sekalipun seperti itu. Mungkin masih ada yang ga paham. Di sini akan sedikit gue uraikan beberapa contoh yang sempat gue tulis tadi.

Kasus 1
Memperoleh keuntungan sebanyak mungkin dari ketersediaan sumber daya yang terbatas
Di dalam kasus ini, kita memiliki constrain berupa sumber daya (modal) yang terbatas dan kita ingin mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin. Katakanlah kita punya industri kue yang memproduksi kue A dan kue B. Kue A harga jualnya lebih mahal daripada kue B. Kue A pakai telur 3 kali lebih banyak daripada kue B. Kue A pakai tepung 2 kali lebih banyak daripada kue B. Jika harga telur adalah sekian dan tepung adalah sekian, silakan tentukan jumlah produksi kue A dan kue B untuk mencapai keuntungan optimum.

Perhatian, soal di atas itu dibikin secara ngasal, ga usah coba-coba dikerjain.

Di sinilah peran dari ilmu optimasi dibutuhkan. Bagaimana caranya kita mengatur jumlah produksi kue A dan kue B, biar sumber daya (modal) ga kurang, tapi untungnya bisa sebanyak mungkin.

Kasus 2
Memperoleh suatu keuntungan tertentu dari sumber daya seminimal mungkin
Di dalam kasus ini, kita ingin memiliki tujuan berupa target keuntungan tertentu dan kita berupaya meminimumkan constrain sumber daya (modal) hingga seminimal mungkin agar target kita tercapai. Misal kasusnya masih industri kue A dan B. Untuk kasus ini agak sedikit berkebalikan. Kali ini kita sudah menentukan mau punya untung sekian untuk tiap kali produksi, tugas kita adalah menentukan jumlah produksi minimum (yang berimplikasi pada modal minimum) untuk mencapai keuntungan tersebut.

Di sini peran dari ilmu optimasi juga dipakai. Bagaimana caranya kita mengatur jumlah produksi kue A dan kue B, biar bisa mendapatkan keuntungan sejumlah sekian, tapi ongkos produksinya bisa sesedikit mungkin.

Kasus imajiner
Mencari keuntungan sebanyak mungkin dengan modal (sumber daya) sesedikit mungkin
Mengapa gue berkata bahwa kasus tersebut adalah imajiner? Karena di kasus itu fungsi tujuannya ada dua (untung banyak dan modal sedikit), pelakunya ga berkorban apa-apa, dan juga ga ada constrain apa-apa. Pada kenyataannya, hidup ga semudah gitu.

----------

Teknik Optimasi mengajarkan gue untuk mencapai sebuah fungsi tujuan dengan adanya constrain tertentu yang harus dihadapi. Adanya 'masalah' memang merupakan suatu indikator kehidupan, kalau ga mau punya masalah mah ya ga usah hidup.

Sesungguhnya, inti besar dari mata kuliah Teknik Optimasi ini adalah kita harus punya fungsi tujuan dalam hidup. Apa sih tujuan kita? Lalu yang selanjutnya harus kita lakukan adalah mengerahkan segala daya dan upaya secara optimal serta efisien, berkorban sana-sini secara optimal serta efisien, mengupayakan segala constrain, dan lain sebagainya secara optimal serta efisien agar fungsi tujuan itu tercapai.

Mengapa harus secara optimal serta efisien? Karena itu adalah tujuan dari Teknik Optimasi. Kalau ga mau optimal dan efisien mah kerjain aja segala sesuatunya tanpa perlu ada strategi dan perhitungan.

Bagaimana kalau kita punya beberapa keinginan dalam satu waktu. Percayalah, itu akan nyaris mustahil dilakukan semuanya. Ingat, fungsi tujuan hanya boleh ada satu.

Hidup sehari-hari di Jepang selama beberapa bulan ini membuat gue belajar Teknik Optimasi dalam bentuk yang lebih nyata dan aplikatif. Teknik Optimasi ini hampir selalu gue dapatkan ketika berniat pergi ke suatu tempat lalu browsing rute menggunakan gmaps *maaf bukan promosi*. Untuk negara yang perihal transportasi massal-nya sudah terkelola dengan baik, gmaps dapat memprediksi dengan luar biasa tepat mengenai waktu tempuh dan ongkos untuk pergi ke suatu lokasi, lengkap dengan berapa kali jumlah pindah kendaraan.

Tiap kali gue mau pergi, gue tinggal menentukan aspek apa yang ingin dioptimasi pada perjalanan kali ini?
Misal hari ini dompet sedang tipis karena uang beasiswa belum turun, ya carilah rute dengan ongkos termurah tapi jangan heran kalau harus pindah kereta/bis beberapa kali, sesekali harus berjalan kaki, serta waktu tempuh yang lebih lama (karena jalan atau pindah-pindah kereta/bis tersebut). Atau misal hari ini berangkat janjian hampir telat, ya carilah rute tercepat tapi jangan heran kalau harganya lebih mahal.

Mau mencari rute tercepat dan termurah?
Bikin aja perusahaan transportasi sendiri~
Itu juga kalau bisa lebih cepat dan murah, haha *ketawa jahat*.

Contoh kasus lain, teman sejurusan gue ada yang punya bisnis konveksi. Bisnisnya berkembang pesat 2-3 tahun terakhir. Suatu hari pas sedang mengerjakan mata kuliah Perancangan Pabrik, gue sempat bertanya secara personal tentang kabar bisnis dan akademis dia. Jawaban dia saat itulah yang seketika membuat gue sadar bahwa Teknik Optimasi ini dapat menyelesaikan lebih banyak pertanyaan dalam hidup, bukan terbatas pertanyaan ujian di atas kertas saja.
"Kan fungsi tujuan optimasi cuma ada satu ya, Dil? Nah, gue pilih kembangin konveksi gue. Nilai gue pada akhirnya ada yang berantakan, sempet juga ga bisa ngambil SKS full di suatu semester karena IP gue kurang. Tapi gue puas, soalnya fungsi optimasi gue terpenuhi. Nanti akademis yang kurang-kurangbisa gue cicil pelan-pelan. Toh batas lulus maksimal 12 semester kan?"
Di situ gue terdiam sambil bengong.
Takjub.

Bagi sebagian orang, mungkin lulus 12 semester bukan pilihan hidup yang ingin diambil. Tapi bagi teman gue ini, lulus 12 semester adalah constrain yang harus dihadapi demi pemenuhan fungsi optimasi agar usaha konveksinya berkembang dengan luar biasa.

Pilihan dalam hidup kadang bisa dihadapi dengan sesimpel itu. Sesimpel mata kuliah Teknik Optimasi. Ga usah berharap biar ga ada hambatan ketika kita melakukan sesuatu karena itu ga mungkin.
Cukup tentukan fungsi tujuannya,
dan upayakan seluruh hambatannya.
:)

Senin, 13 Juni 2016

#MatahariAkar [Persiapan Besar Sebelum Merantau di Luar Negeri]

Setelah delapan setengah bulan tinggal di negara orang lain, akhirnya gue menyimpulkan bahwa ada sebuah hal besar yang perlu dipersiapkan sebelum mencoba untuk merantau ke negara lain dalam jangka waktu yang cukup lama. Hal itu adalah kesiapan mental.

Setelah gue kerucutkan, salah satu mental dasar dalam urusan rantau-merantau ini adalah aplikasi dari beberapa jenis pepatah,
"Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya"
"Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung"
Intinya sama, hormati dan patuhilah adat-istiadat serta kebiasaan setempat.

Judulnya juga merantau, ga perlu ditanya lagi bahwa tanah yang menjadi tujuan kita memiliki adat-istiadat dan kebiasaan yang berbeda dengan tanah yang biasa kita pijak. Jangankan jauh-jauh ke luar negeri, beberapa kota yang tetanggaan aja adat istiadatnya bisa beda, misal di Bogor mungkin ga akan ada yang menyebut bahwa liburan ke pantai itu mudah-murah-meriah secara Bogor ga punya pantai, beda dengan Sukabumi yang punya Pelabuhan Ratu.

Sebenarnya, ada kesimpulan yang lebih inti, yaitu..
Belajar bertanggung jawab.
Jalanilah segala konsekuensi dari pilihan yang diambil, dalam kasus ini adalah pilihan untuk hidup di luar negeri. Jangan cuma mau enaknya saja punya judul gelar akademis lulusan luar negeri, mencantumkan di CV bahwa pernah kuliah/kerja di luar negeri, tapi ga mau (mencoba) patuh dengan cara hidup di negeri yang bersangkutan. Itu namanya egois.

Selama hidup sehari-hari di Jepang dalam delapan setengah bulan ini, ada beberapa kasus yang benar-benar membuat gue gerah. Kasus-kasus nyata yang gue alami sendiri di sini. Kasus-kasus yang -di mata gue- pelakunya itu egois. 

Kasus 1
Sampah
Mungkin sudah pada paham teori mengenai urusan buang sampah di Jepang ini termasuk ribet. Sampah harus dipisah-pisah menjadi sampah burnable, unburnable, dan sampah berwujud agak besar seperti misal pecahan gelas atau payung. Di samping itu ada pula ketentuan untuk membuang karton tetrapack, kaleng, beling, dan botol minum kemasan PET. Ditambah jadwal buang sampah juga ada harinya dan tiap katagori sampah ada plastik khusus untuk membuang dengan warnanya tersendiri, jadi di hari tersebut kita diminta menaruh sampah yang bersangkutan (tentunya dengan plastik yang sesuai) di depan rumah sebelum jam  8 pagi agar dapat diambil oleh mobil sampah. Plastiknya sendiri harus beli, tapi harganya manusiawi kok.

Jadwal buang sampah, lengkap dengan warna plastik sampah yang semestinya

Di international house tempat gue tinggal ini ada bak sampah tertutup cukup besar di halaman depan sehingga banyak yang membuang sampah tidak pada waktunya karena toh dapat tertampung di bak sampah dan baunya ga ke mana-mana. But that's not the right one.

Hal yang mau gue kritisi sebenarnya bukan masalah jam buang sampah, melainkan apa yang sering gue temui ketika membuka bak sampah untuk buang sampah. Sangat sering gue menemui sampah yang dibuang bukan dalam plastik yang semestinya. Banyak yang buang sampah di dalam plastik-plastik  berbelanja di supermarket. Salah satu yang berkali-kali gue pergoki adalah dua orang dari negara yang sama di benua yang berawalan huruf A (nahloh bingung kan, hampir benua berawalan huruf A).

Di bawah ini bahkan keadaan di depan pintu kamar salah satu dari mereka, gue cukup yakin plastik itu berisi sampah, tapi itu bukan plastik sampah yang seharusnya.
Sampah dengan plastik yang tidak semestinya

Kalau di mata gue, itu namanya egois.

Kasus 2
Attitude
Jadi ceritanya tahun fiskal di Jepang itu dimulai dari bulan April. Itu awal musim semi, ada sakura mekar *terooooos?*. Tahun ajaran sekolah juga dimulai sejak April. Khusus untuk universitas, untuk menyesuaikan dengan banyak kampus di luar Jepang (dengan maraknya kesempatan berkuliah di luar negeri), akhirnya ada juga tahun ajaran yang start di bulan Oktober.

Gue tinggal di asrama dekat kampus. Dekat banget. Di Jepang ini juga ada keluarga besar Indonesia yang kuliah di wilayah sekitar tempat gue tinggal (bukan hanya di kampus gue ini saja) dan kami punya grup line yang tiap tahun dibikin baru (isinya adalah orang-orang yang ada di kampus pada tahun itu, jadinya gue ga se-grup bareng Si Teteh karena kita exchange di tahun yang berbeda, jadinya pula para veteran ga terganggu dengan obrolan kekinian tentang Jepang).

Pada akhir Maret lalu, banyak apato (apartment) atau -sebut saja- kostan yang sudah habis masa berlakunya karena penghuni yang bersangkutan sudah pindah atau lulus. Ada seorang mbak yang mengiklankan kostannya di grup. Salah satu hal yang gue garis bawahi dari pesan Si Mbak di grup adalah ibu kost-nya bilang bahwa berita ini boleh disebar ke mahasiswa asing tapi tolong jangan ke orang B*******sh dan P******n (dua buah negara di Asia Selatan).

Di situ gue langsung melongo, masih dengan posisi terakhir sambil liat grup dan pegang hape.
Gileh..
Kalau kelakuan kita aneh-aneh di negara orang bukan cuma nama kita aja yang jelek, tapi nama bangsa juga bisa rusak.

Mengapa gerangan sang ibu kos sampai melarang?
Jadi ceritanya penghuni sebelumnya yang dari negara tersebut itu kalau bayar air dan listrik suka nunggak, suka berisik dan pernah sampai diprotes tetangga, juga buang sampah seenaknya (plastik ga sesuai, sampah ga dipisah, waktu buang ga sesuai). Pantas aja ibu kosnya juga emosi.

Kalau di mata gue, itu namanya egois.

Kasus 3
Living cost
Urusan living cost juga kasus yang sering membuat gue nyengir sinis (yang kenal dan pernah liat muka jutek gue pasti kebayang lah ya bentuknya senyolot apa). Ini sebenarnya kasus yang lucu, sekaligus banget-banget egois.

Untuk kasus gue yang hidup di Tokyo, living cost di sini mahal. Banget. Tapi sebenarnya itu bukan masalah besar karena beasiswa yang gue dapatkan juga besar. Kalau kebetulan ga dapat beasiswa dan mencari kerja, Insya Allah juga mencukupi untuk hidup (asal ambil shift kerjanya yang rajin aja). Beasiswa gue sebulan di sini, gue yakini lebih besar daripada sebulan gaji freshgrad di perusahaan multinasional di Indonesia.

Lembaga pemberi beasiswa tentunya ga ngasal ketika menentukan nominal beasiswa. Jumlah beasiswa sebesar itu (berapapun itu yang didapat oleh para beaswan) pasti telah dikalkulasi dan disesuaikan dengan living cost di negara atau kota yang dituju (untuk kasus gue, Tokyo), apalagi di Jepang belum nemu tuh hal yang dikerjain secara ngasal sehingga gue percaya bahwa kalkulasi jumlah beasiswa segitu memang cukup untuk dipakai hidup di Tokyo.

Di program exchange ini, ada juga teman-teman yang berasal dari negara-negara yang living cost-nya ga sesadis Tokyo (termasuk Indonesia), dan di sini hal yang menyebalkan terjadi.

Hal yang sangat sering teman-teman gue lakukan adalah membandingkan harga antara di Tokyo dan di kampung halaman mereka. Entah pola pikir gue yang ngaco atau gimana, tapi gue nyaris tidak pernah melakukan hal itu. Alhamdulillah, uang beasiswa guepun aman-aman saja, ga pernah tuh sampai ngutang karena uang bulanan abis (palingan minjem karena lupa bawa dompet atau beli sesuatu berdua dan ditalangin dulu untuk sekalian mecahin uang), ga pernah juga tuh gue setiap hari sampai harus puasa atau makan telor doang di akhir bulan karena lupa diri dan boros di awal bulan.

Apa hasilnya ketika mereka membandingkan harga antara di Tokyo dengan harga di kampung halaman? Teman-teman gue itu banyak yang pada akhirnya udah melampaui fase hemat dan irit, itu bahkan beberapa kali sudah sampai pada fase menjadi cenderung pelit dan dzalim terhadap diri sendiri. Pada akhirnya malah mengabaikan kebutuhan-kebutuhan pokok diri sendiri karena ya itu tadi, harga di sini lebih mahal dibanding harga di kampung halaman.

Studi kasus nyata,
Selama winter kemarin, jangan tanya dinginnya kayak apa. Bagi gue yang makhluk tropis, pengalaman dingin saat itu benar-benar "..for the first time in forever.." *sambil nyanyi*. Tentunya mulai dijual juga segala perlengkapan winter mulai dari coat, sepatu/boots winter, sarung tangan tebal, dan lain sebagainya.

Sebutlah teman gue namanya Lili (bosen Mawar terus, haha) dia sudah dari jauh-jauh hari merasa kedinginan tapi tak kunjung beli sepatu winter. Mahal, katanya. Memang sih kalau diubah jadi kurs rupiah (berhubung kurs yang gue pahami cuma rupiah doang) jadi cukup mahal, sekitar 200-350 ribuan, dan sepatu itu akan cuma dipakai kurang dari 4 bulan. Alhasil doi tidak kunjung membeli sepatu winter.

Di mata gue, itu namanya egois.

Padahal sepatu winter itu (at least, bagi gue) benar-benar berguna kala winter. Dia memang didesain untuk hal itu, broh. Sol sepatu yang ga licin, cocok untuk dipakai berjalan di atas salju. Bahan di dalam sepatunya hangat, biasanya bulu-bulu atau kulit *maaf gue bukan promosi*. Gue sendiri punya boots winter dua pasang, yang satu bawa dari Indonesia karena pernah dibelikan Ibu ketika beliau berdinas ke negara yang pas-pasan sedang winter, yang satunya lagi warisan dari angkatan terdahulu. Sepatu boots winter yang dari Ibu itu bahannya kulit, sedangkan yang warisan itu di bagian dalamnya ada bulu-bulu.

Hingga pada suatu hari, beberapa hari setelah salju turun dengan sangat lebat, jalanan sempat terasa sangat licin. Pada siang hari salju meleleh karena suhu yang di atas 0 derajat Celcius, tapi pada malam harinya kembali membeku karena suhu yang di bawah 0 derajat Celcius. Begitu terus selama beberapa hari.

Di sinilah kasus Lili terjadi. Doi pakai sepatu biasa, bukan sepatu winter, ketika dunia sedang licin kayak gitu. Hingga pada akhirnya entah bagaimana caranya doi terpeleset ketika sedang berjalan kaki karena sepatunya licin. Lecet-lecet dan memar ringan, untungnya keadaan doi bisa dibilang baik-baik saja. Tapi hal yang mengenaskan adalah hapenya terlempar ketika doi kepeleset. Layar sentuhnya retak. Rusak. Ga bisa dipakai lagi.

Pesan moral yang sangat berharga bagi gue adalah,
Cerdas-cerdaslah menentukan prioritas.
Sama diri sendiri, jangan pelit-pelit amat lah~
Sok-sok ide hemat 2000-3000 yen, akhirnya malah harus keluar uang lebih dari sepuluh kali lipatnya untuk beli hape baru.

Epilog (I)
Sekian kisah gue kali ini, mohon maaf jika ada kesamaan nama tokoh, lokasi, atau kejadian, karena bisa jadi memang itu kisah mengenai anda. Terima kasih telah memberikan banyak pelajaran berharga untuk gue.

Epilog (II)
Sekali lagi,
Jangan cuma mau enaknya aja punya judul gelar akademis lulusan luar negeri atau mencantumkan di CV bahwa pernah kuliah/kerja di luar negeri, tapi ga mau (mencoba) patuh dengan cara hidup di negeri yang bersangkutan. Itu namanya egois.

Selamat hidup di luar negeri.
Selamat belajar bertanggung jawab.
Selamat belajar menganalisa tiap keputusan, lengkap dengan menghadapi segala konsekuensinya.
Selamat belajar untuk tidak egois.
:)

Rabu, 01 Juni 2016

Dandelion

Setiap dandelion menyenangi angin,
Setiap anginpun mungkin senang menghembus di sekitar dandelion.
Tiap kali angin berhembus, dandelion akan menari cantik mengikuti arah angin.

Di pinggir jalan ini ada banyak dandelion bersemi,
Mungkin karena musim semi,
Termasuk aku

Di kota ini pula ada banyak angin,
Mungkin pula karena musim semi,
Termasuk kamu

Tahukah,
Bagiku setiap angin memiliki ciri khas,
Kelembaban, kecepatan, arah datang.
Dengan cara yang sulit digambarkan,
Aku dapat mengidentifikasinya

Tahukah,
Aku tak sepolos yang kau kira,
Aku tahu kau sering berhembus di sekitar pinggir jalan ini
Aku tahu kau termasuk yang sangat sering mampir

Tahukah,
Aku selalu suka perhatianmu,
Hembusanmu,

Tapi,
Hembusanmu yang terlalu kuat dapat merusakku

Ah,
Maaf,
Bukan hanya kamu.
Tapi,
Semua yang berlebihan memang akan merusak.

Dapatkah kau berhembus dengan kadar yang cukup saja?
Dengan kadar yang cukup untuk membuatku tersenyum,
Tersenyum bahagia,
Tanpa perlu terluka

Dandelion