Sabtu, 23 Mei 2015

Every 'First' is Always Special [Kabur]

Senin dan Selasa kemarin gue tidak menyentuh kampus sama sekali. Senin gue sakit, ga enak badan parah, hanya bangun tidur tiap setelah adzan lalu shalat dan minum teh manis hangat kemudian dilanjut dengan tidur lagi. Selasa gue kabur. Iya, kabur. For the first time of my life, gue kabur dari kampus. Lebih tepatnya mungkin menyengajakan menghilang. Yaaaa, kalau mau pembelaan mah, tiap orang memang akan punya titik di mana rasanya mau menghilang sesaat. So do I.

Sudah dua hari tak menyentuh kampus, maka di penghujung hari Selasa didapatilah message dari 6 orang pimpinan BEM KM yang menanyakan gue ke mana saja, kok tidak terlihat dalam beberapa hari terakhir. Ada yang masih perhatian itu.. rasanya..
:)
#BahagiaItuSederhana
Love you, Pims :*
Kalian luar biasa

Agak gila. Memang gila. Orang lain biasanya kabur kuliah. Sementok-mentoknya kabur responsi dan minta TA. Kali ini gue kabur penelitiaan project dosen yang pengerjaannya berempat. Juga kabur dari BEM KM pada momen re-opening olimpiade mahasiswa yang sebelumnya kepanitiaannya sempat dibekukan selama seminggu karena satu dan lain hal.

Selasa kemarin gue mengikuti lomba debat di UMN (Universitas Multimedia Nusantara), Serpong. Gue diberitahu perihal lomba ini oleh Cawapresmalay kesayangan, Triana Winni Astuty. Ada dua tim dari IPB yang ikutan lomba ini, yang pertama adalah tim Titik Temu, yang kedua adalah tim Jejak Sepatu. Gagal move on, memang. Tim Titik Temu awalnya terdiri dari Winni, Eman (FPIK 48 *jurusan apa teh ya Eman? Heeeu*), dan Joshua Ginting (MSL 48). Adapun tim Jejak Sepatu ada gue, Abdulloh (THH 48), dan Remy Sosiawan Wijaya (ESL 49).

Disadari oleh kenyataan bahwa di tim gue ini orang-orangnya sedang pada rempong semua (gue dan Abdul di BEM KM, adapun Remy adalah ketua himpro Reesa). Ditambah dengan kericuhan bahwa ternyata Abdul sudah pernah mengambil jatah bolos 3 kali di hari Selasa sampai gue hujat-hujat *dan dia pasrah doang ketika gue hujat-hujat via WhatsApp. Maaf ya, Dul* akhirnya tim digantikan dengan Dinar (KSHE 48). Kumpul jam 5 pagi di Al Amin Bara yang pada ngaret. Alhasil gue adalah orang yang pertama luntang-lantung di Stasiun Bogor karena menunggu rombongan yang tak kunjung komplit.

Di tengah luntang-lantung menunggu rombongan yang tak kunjung komplit di Stasiun Bogor, gue melihat dia. Dia sepertinya sedang terburu-buru mengejar kereta ke  Ibukota. Dia, seseorang yang hampir 10 tahun lalu pernah gue beri nama samaran Giraffe. Dia, kakak kelas gue ketika SMP, setahun di atas gue. Dia, yang masuk Smansa dan mampu membuat gue setengah mampus belajar rajin ketika kelas IX agar bisa juga masuk Smansa. Dia, yang rumah orang tuanya di Yasmin, Sektor 2, Jalan Mawar. Dia, yang bahkan tanggal lahirnya saja gue masih ingat hingga saat ini. Dia, yang sesekali namanya masih tersebut dalam doa gue dengan penuh nada terima kasih karena tanpanya gue ga akan merasakan manisnya Smansa beserta isi-isinya. Mungkin kealayan gue hampir 10 tahun lalu itu belum bisa dibilang cinta.

Kalau kata seorang adik gue di PSDM BEM KM mah,
"Berterimakasihlah pada ia yang pernah kamu kagumi, karenanya kamu pernah berusaha memantaskan diri menjadi pribadi yang lebih baik."
.Silmi Nurul 'Adilah.

Setelah gue pikir-pikir *masih sambil menunggu rombongan yang tak kunjung komplit*, iya juga sih. Kalau hampir 10 tahun lalu itu gue ga pernah terjebak kekaguman dengan beliau, mungkin gue belajarnya juga asal-asalan aja. Mungkin gue ga akan masuk Smansa. Mungkin kelanjutan sekolah gue akan tetap sesuai dengan prediksi gue pada awalnya, Smanli. Bahkan gue sudah punya ekskul pilihan ketika semisal gue masuk Smanli, Pasopati *teteeeeup* *hehe*.
*FYI, Pasopati itu nama ekskul paskibra di SMAN 5 Bogor

Yaa Allah,
Hamba-Mu yang satu ini, hampir 10 tahun yang lalu belum mengerti sama-sekali mengenai
Innamal a'malu bi niyyat
:'(

Setelah kejadian enggak-gagal-move-on tadi, ditambah tim yang tak kunjung komplit karena adaaaa aja penyebabnya, akhirnya gue, Winni, Remy, dan Eman berangkat duluan ke UMN. Perjalanannya biasa saja, seperti simulasi 'Jika Anda Menjadi Sarden'. Hufffft, begitulah sulitnya perjuangan ayah-ibu-kakak kita mencari nafkah untuk keluarga.

Singkat cerita, karena tim yang masih tak kunjung komplit, akhirnya terjadi merger. Winni masuk tim Jejak Sepatu, sedangkan Eman akan menunggu Joshua dan Dinar untuk bergabung di tim Titik Temu. Setelah usai berdebat, dengan agak desperate Winni berkata,
"Tiap nama tim kita dipanggi, Jejak Sepatu, gue rasanya deg-degan. KPR mana lagi itu, hah?"
Itu gagal move on-nya memang agak kebangetan sepertinya.
Joshua (tim sebelah), gue, Cawapresmalay 2014, Cawapresma 2015 #eh

Makan-makan di Warung Nagih, sepulang dari UMN

Terlepas dari gedung UMN yang 12 lantai dan menggunakan lift. Terlepas dari gedung di IPB yang ber-lift hanya Rektorat dan Fapet. Terlepas juga ada foundation dari Filipina yang jualan sus kering dengan harga 50 ribu (padahal kalo di IPB 35 ribu). Overall, kabur hari ini seru, mungkin ya karena itu tadi, every 'first' is always special.

Ada satu hal yang membuat sedih ketika lomba debat kemarin. Bukan perihal dibantai-bantai tim lawan. Bukan. Itu mah kami pasrah-pasrah aja. Haha.

Setiap mendapat posisi 'Pro', kami selalu mebatasi mosi untuk di bidang pertanian dan added value. Semisal kami berada di posisi kontra pun sebisa mungkin akan menyasar ke bagian pertanian. Dan di situ kami merasa sedih.

Mindset pemuda masa kini (majas pars pro toto, karena hanya menggunakan peserta debat kemarin sebagai sampel yang ditarik secara random) masih beranggapan bahwa petani itu berpendidikan rendah lah, sawah lah, becek lah, sulit akses informasi lah, bukan profesi yang fundamental lah, tidak membanggakan lah, dan lain sebagainya.

Hellooooow
Situ kalo lapar makan dari hasil apa?
Haha

Bahkan pada mosi debat terkait 8 profesi yang dapat diisi secara bebas oleh kewarganegaraan ASEAN apapun setelah berlakunya MEA itu heboh banget debatnya. Tim lawan berkata bahwa,
"Ini lhoo, MEA udah di depan mata dan 8 profesi ini.. *blablabla*"

Padahal kalau kata Winni, hal yang lebih di depan mata adalah perihal dia akan lapar sepulangnya dari debat ini. Dan itu solusinya hanya satu, pertanian. Haha.

Di tiap debat juga kami bertiga doyan mengutip buku wajib para mahasiswa IPB, Pengantar Ilmu Pertanian karya Pak Andi Hakim Nasution.
"Pertanian adalah proses memanen energi matahari menjadi pangan dan serat."

Juga dengan gaya orasi yang meyakinkan, kami beberapa kali mengutip pidato Presiden Soekarno ketika peletakan batu pertama pendirian kampus IPB,
"Perihal pertanian adalah hidup dan mati suatu bangsa"

Seusai debat, gue dan Winni diskusi *agak sedikit kurang tepat juga sih jika disebut diskusi* terkait pertanian yang masih dianggap sebelah mata. Satu hal yang kami sepaham adalah kami sedih. Kami tau akan melakukan apa. Tapi sekarang belum bisa. Satu hal yang kami hiasi dengan hembusan napas panjang adalah perihal kami yang terlalu asik main-main dengan politik kampus, haha.

Di samping kabur untuk pertama kalinya, gue juga bisa dibilang ikutan the real lomba debat untuk pertama kalinya. Sebenarnya sebelum ini gue pernah ikut lomba debat, lomba debat mengenai agroindustri di Agroindustrial Fair 2014 lalu. Pesertanya ga sampai 10 tim dan tim gue juara 3. Mengapa debat kali ini menjadi sangat berkesan? Karena cakupan temanya yang sangat luas. Berbeda dengan lomba debat TIN lalu yang cakupannya hanya di bidang agroindustri.

At the end, kami kalah. Haha. Sehingga pada akhirnya gue hari Rabu sudah kembali beraktivitas di kampus. Padahal kalau lolos ke babak 8 besar, sepertinya gue masih belum akan ngampus di hari Rabu. Dari 20 tim yang bertanding, kami tidak masuk 10 besar. Tapi menurut Eman, kami juga tidak ada di urutan 15 ke bawah *kayaknya Eman berhasil ngintip deh*.

Kalau ada hal besar yang gue pelajari selama debat ini, yaitu pe-er kita masih sangat panjang hei kalian para mahasiswa pertanian..
:)

Sabtu, 02 Mei 2015

Refleksi Hardiknas 2015, Hanya Celotehan Saya Saja


Seringkali gue mendengar celetukan dari mentee dan murid-murid privat gue,
Sekolah tuh untuk nyari nilai, Teh. Kalo nyari ilmu mah di bimbel.

Astaghfirullahaladziim
Miris gue
Mau nangis rasanya
Sialnya, itulah keadaan pendidikan Indonesia yang gue ketahui saat ini

Di mana peran sekolah formal sebagai tempat pendidikan, pembelajaran, dan pembangunan karakter?
Kalau begitu, apa gunanya sekolah formal?
Apa added value yang ditawarkan oleh sekolah formal?
Apa value proposition dan siapa customer segment dari sekolah formal?
Lalu, boleh kah gue berkata *meski tak sampai hati* bahwa guru-guru yang seperti itu adalah guru yang makan gaji buta?
Kalau masih tetap seperti ini, apakah anak gue kelak lebih baik homeschooling saja dan ikut ujian kejar paket?
Atau masuk pesantren modern kali ya?
Ada yang bisa bantu menjawab?

Ada salah seorang murid privat gue, ketika itu dia sudah kelas 9 SMP, yang bahkan tidak lancar mengerjakan persoalan matematika mengenai perpindahan ruas.
Lalu pertanyaan gue dalam hati,
Gurunya dahulu ngapain di kelas?
Terlepas dari kurikulum Indonesia yang katanya berantakan dan terlalu memforsir anak, tapi tetap saja gue penasaran apa yang dilakukan gurunya di kelas. Bagaimana cara beliau menjelaskan prinsip sederhana mengenai dasar perpindahan ruas? Hingga bahkan murid gue itu tak kunjung bisa melakukannya. Bukankah kalau kata Einstein,
Kamu tidak benar-benar memahami sesuatu jika tak bisa menjelaskannya dengan cara sederhana.

Astaghfirullahaladziim
Miris gue

Tidak munafik, gue juga pernah les bimbel. Tapi les gue hanya di tingkat-tingkat terakhir dari tiap jenjang pendidikan saja. Kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan kelas 12 SMA. Just it. Itupun tujuan utamanya adalah demi mengenali 'medan pertarungan' gue untuk ujian masuk ke jenjang sekolah formal yang lebih tinggi.

Apakah seluruh guru sekolah formal gue dari SD hingga SMA adalah guru-guru yang mengajar dan juga mendidik?
Apakah seluruh guru sekolah formal gue dari SD hingga SMA memang benar-benar mentransfer ilmu, tidak semata-mata memberi nilai?
Not so..
Tidak semuanya sesempurna itu.
Bahkan hanya sedikit yang seideal itu.

Lalu, dari mana gue mendapatkan ilmu dan pendidikan di tahun-tahun ketika gue tidak bimbel?
Siapa yang mentransfer ilmu dan menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk gue selama ini?
Siapa yang menumbuhkan keingintahuan dan daya kritis seorang Dila kecil sehingga bahkan ketika SD pernah disuruh berhenti bertanya oleh gurunya?

Luckily,
Dari sejak lahir, gue dididik oleh dosen.
:"

Itulah mengapa gue ingin jadi dosen *tapi sekarang galau lagi* dan juga bertekad akan membesarkan anak gue, sebisa mungkin tanpa campur tangan 'orang lain'. Gileee, keren abis kalo anak gue sejak lahir diasuhnya sama Sarjana Teknik (Pertanian).
*Jadi inget bahasan seru di grup WhatsApp Forkom beberapa hari lalu tentang parenting*

Jika institusi semisal sekolah pendidikan guru saja peminatnya sedikit dan bahkan dijadikan pilihan akhir 'daripada tidak kuliah di mana-mana', lalu dari mana para calon guru itu akan berkuliah dengan menyertakan hati mereka? Setahu gue, apa-apa yang disampaikan dari hati, akan sampainya ke hati juga.

Jika para calon guru itu saja kuliahnya ogah-ogahan, jika bahkan tempat kuliahnya saja merupakan pilihan terakhir atau yang telah dinomorsekiankan, apakah mereka sadar kehancuran apa yang dapat terjadi karena hal itu?

Tidak sadarkah para guru?
Bahwa mereka sesungguhnya memiliki peluang untuk mendapatkan pahala tak terputus. Bahwa ilmu yang bermanfaat adalah pahala anak Adam yang tak akan usai perkaranya meski dihadapkan dengan maut. Bahwa kesempatan itu tidak dimiliki semua orang.

Tak sadarkah para guru?
Bahwa jika hal itu tidak diupayakan dengan baik, disia-siakan, hanya dijadikan urusan transaksional duniawi 'gue ngajar, gue dibayar, selesai', malah berpeluang untuk timbulnya dosa jariyah semisal bocornya kunci jawaban UN yang sudah bukan merupakan berita baru.
Apakah dosanya juga tak terputus?
Naudzubillahi min dzalik, wallahu'alam.

Nah tuh..

Gue pernah cerita hal ini ke Ibu dengan suara hampa saking kesalnya dengan sistem yang ada saat ini. Reaksi Ibu hanyalah,
"Iya. Kakak bener. Itu memang kesempatan yang ga semua orang punya. Tapi, cara pikir Kakak yang kayak gini juga bukan cara pikir yang semua orang punya."
*menghela nafas*

Memang sepertinya harus ada yang namanya revolusi mental itu..

Kalau menurut salah seorang guru gue mah,
"Di Jepang itu, jadwal pelajaran SD bisa tiap pekan ganti. Nanti akan ada saatnya anak-anak SD di Jepang itu belajarnya sambil nonton TV. Ada saluran TV khusus pendidikan di Jepang yang memang menayangkan tentang pendidikan. Coba kita lihat, Televisi Pendidikan Indonesia isinya apa? Dangdutan. Untung aja sekarang udah ganti nama."

Overall, selamat Hari Pendidikan Nasional :)
Ayo bersama-sama mengamalkan alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Karena sejatinya, kalau kata Pak Menteri Pendidikan RI, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.
:)

Sumber gambar :
http://sdislamwali9.blogspot.com/
https://www.pinterest.com/eandico/education/