Minggu, 31 Desember 2017

Sesuatu Mengenai Pekerjaan dan Tempat Di Mana Kamu Bekerja

"Jangan meludah di sumur yang airnya kamu minum."
Kusumah ASW, 2017.

Kisah 1
Pekan terakhir di 2017 ini gue habiskan dengan agenda audit eksternal kantor pada tanggal 26-28 Desember. Sejak akhir November gue sering banget lembur demi mengurus kelengkapan berkas audit. Audit ini diminta oleh salah satu customer sebagai pertimbangan untuk kelangsungan order tahun depan. Jika hasil auditnya bagus, maka besar kemungkinan order akan bertambah. And maybe, vice versa.

Sedihnnya, ternyata hasil audit kemarin tidak sesuai ekspektasi. Ada banyak temuan selama audit, sampai-sampai gue aja bingung tamu yang datang itu sebenarnya auditor atau penemu *ga lucu, Dil, sumpeh*. Secara kelengkapan berkas sih overall baik-baik aja, tetapi auditornya melakukan random sampling dan memanggil beberapa puluh karyawan untuk diwawancara . And here the story goes..

Perusahaan tempat gue bekerja itu duluuuuuu banget peraturannya shantay kayak di pantay. Karyawan bisa lembur kapan aja, which bekerja pada jam lembur itu dibayar lebih banyak daripada bekerja pada jam kerja biasa. Setelah berganti GM jadi yang sebelum sekarang, mulailah hal-hal macam itu diperbaiki. Perusahaan jadi lebih sehat secara bisnis, tapi ga sehat bagi pendapatan sebagian karyawan yang sebelumnya sangat mengandalkan kondisi bisa lembur kapan aja.

Singkat cerita, dari beberapa puluh karyawan yang kena random sampling oleh auditor itu (entah berapa banyak) ada yang malah jadi curhat kebablasan-tapi-salah-tempat-dan-malah-ngomong-ke-sana-ke-mari tentang betapa perusahaan sekarang begini dan begitu. Mereka membandingkan dengan kondisi di masa-masa lampau di mana mereka bisa dapat hak-hak dengan terlalu bebas dan kesimpulan besar auditor adalah peraturan perusahaan jaman now itu mempersulit karyawan untuk mendapatkan haknya. Sesungguhnya pada kondisi sekarangpun hak-hak yang katanya sulit didapat itu sebenarnya bisa didapat, cuma tentu saja dengan menyertakan beberapa kewajiban berupa syarat-syarat berkas yang harus dipenuhi, agar bisa diverifikasi dan divalidasi. Walhasil ya gitu deh. Bahkan sempat terlontar kata-kata yang setara dengan "dzalim" selama closing meeting audit.

Selama closing meeting audit kemarin, gue yang udah hampir setahun kerja, baru pertama kali melihat Ibu GM gue kayak gitu. Paduan antara kesel, sedih, bete, dan mau marah. Fyi, gue sangat respek dengan Ibu GM gue. Gue menganggap beliau sebagai paduan antara nyokap dan kakak perempuan. Paragraf ini hanya untuk menggambarkan bawa betapa hasil audit kemarin itu super huft banget lah.

Pada daily standing meeting keesokan harinya, Bu GM memaparkan secara singkat hasil audit sambil cerita juga bahwa beliau kesel, sedih, dan mau marah tapi ga bisa. Sampai-sampai beliau melontarkan kalimat kurang-lebih seperti ini,
"Kalau kalian udah di-training oleh perusahaan, terus merasa jago, merasa bisa, boleh kok kalau mau pindah ke I**o***e*, saya ga larang."

Men..
Denger GM sendiri yang ngomong kayak gitu tuh sedih rasanya. Mekipun gue tau bahwa kalimat itu bukan buat gue, tapi tetep sedih aja dengernya.

Karena gue anaknya gampang tersentuh hatinya (tapi default mukanya jutek, jadi kadang suka ga match gitu), seusai standing meeting itu gue menceritakan kisah selama standing meeting tersebut kepada bapak-(atau lebih tepatnya mas)-sedivisi-yang-duduk-persis-di-samping-gue. Lalu, beliau mengeluarkan suatu kalimat super keren untuk kasus kemarin ini. Kalimatnya sudah gue kutip di bagian teratas tulisan ini.


Kisah 2
Tidak berbeda jauh dengan Kisah 1. Kali ini yang banyak menjadi pelakunya adalah generasi millenials yang paling-paling hanya terpaut 5 angkatan (ke atas dan ke bawah) dari gue.

Sudah bukan sekali-dua-kali gue scrolling timeline dan menemukan keluhan-keluhan mengenai kantor tempat seseorang bekerja. Ya gajinya lah, ya jam kerjanya lah, ya bosnya semena-mena lah, ya teman kantornya cari muka atau nyinyir lah, dan berbagai kondisi lain.

Ada pula momen tidak mengeluh, tapi mengasosiasikan dirinya sendiri menjadi sesuatu yang "Kok itu terdengar seperti ga bersyukur amat sih, Ya Allah". Ya budak korporat lah, ya TKI/TKW dalam negeri lah, dan frase-frase sejenis yang mengindikasikan bahwa yang bersangkutan kok sebegitu ga sukanya dengan pekerjaannya sekarang.


Pembahasan
Maaf kalau gue kurang mumpuni untuk menasihati, tapi salah satu tugas manusia adalah untuk "Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran" kan? Untuk manusia-manusia macam itu, nasihat gue biasanya cuma dua:
1. Kalau udah ga tahan, sono keluar dan cari company lain.
2. Tapi kalau karena satu dan lain hal ga mau keluar, ya belajar lah untuk sabar dan bersyukur dengan kerjaan yang ada sekarang.

It sounds basi sih, tapi (hampir) pasti akan ada orang yang mau dengan senang hati menempati posisi kerja lu sekarang dengan gaji yang segitu, dengan jam kerja yang begitu, dengan bos kayak gitu. Ga percaya? Coba aja tanyain kepada para job hunter yang aktivitas sehari-harinya keluar-masuk jobfair.

Ada kita yang capek, kesel, dan sebel dengan kerjaan kita sekarang. Tapi percayalah bahwa ada orang yang capek, kesel, dan sebel karena udah ngelamar kerja ke sana ke mari tapi belum tembus-tembus juga.

Jangan meludah di sumur yang airnya kamu minum.
Jangan menjelek-jelekkan perusahaan yang jadi sumber nafkah kita. Apalagi kalau menjelek-jelekannya ke orang lain di luar perusahaan, atau di sosmed, atau malah ke auditor.

Dengan menulis ini bukan berarti gue ga pernah mengeluhkan sesuatu tentang kantor tempat gue bekerja. Gue mengeluh, tapi gue pilih-pilih orang buat cerita. Gue ga cerita ke semua orang. Gue juga ga cerita di sosmed (sori nih, gue selalu menganggap blog bukan sebagai sosmed, hehe).

Lalu kalau sudah begitu ya seperti ketika gue menasihati orang lain, gue juga menasihati diri sendiri. "Sono gih buka-buka web lowongan kerja kalau udah ga betah sama kerjaan sekarang. Kalau belum nemu kerjaan yang pas, yaudah diem, kerja aja yang bener, jangan ngeluh melulu."

Sebagai muslim, kadang kita (gue) suka lupa bahwa ada sesuatu yang (insya Allah) bernilai abadi di dunia ini. Ikhlasnya kita, ikhtiarnya kita, tawakkalnya kita, syukurnya kita, sabarnya kita, itu nilainya (insya Allah) abadi dan akan dibalas dengan hal baik pula. Sebaliknya juga gitu, kufurnya kita, mengeluhnya kita, males-malesannya kita sehingga makan gaji buta, itu juga nanti akan dimintai pertanggungjawaban, naudzubillah.
Iya kan ya?


Simpulan
(Nah, ini nih bagian tersulit bagi gue tiap nulis blog)

Biasanya simpulan tulisan gue sudah bisa didapatkan dari judul atau kalimat-kalimat di awal tulisan. Simpulan tulisan kali ini adalah kutipan dari teman kantor gue di atas. Sila scroll lagi ke atas untuk menemukannya.


Epilog
Anyway, tulisan terakhir gue di tahun 2017 ini ada kemajuan ya. Topiknya (alhamdulillah) 'bener'.
Hehehe.

Cheers!!
:)