Akhir-akhir ini, khususnya sekitar 6 bulan terakhir, entah mengapa kok rasanya gue banyak dapat pelajaran tentang urusan separuh agama. Mulai dari cerita teman sekelas selama dua tahun di SMA yang dibawa suaminya ke Jepang setelah nikah lah, blogwalking (padahal ke tumblr dan wordpress juga, bukan blog doang, hehe) lah, sampai kisah kakak kelas pas SMP juga ada.
Bagi gue yang levelnya masih jauh di bawah beginner, rasa-rasanya saat ini baru bisa menuliskan doang. Ilmu diikat dengan menulis kan? Semoga suatu saat nanti bisa kembali dibuka dan bermanfaat khususnya untuk diri sendiri, syukur-syukur bisa bermanfaat untuk orang lain.
Sejauh ini ada beberapa hal yang gue pelajari:
1. Gelas
"Kata ibu saya, perempuan itu kayak gelas. Kalau kami (laki-laki) ga rajin-rajin ngisi, nanti akan ada orang lain yang ngisi."
Fima Firdaus Firman, 2016
Teori gelas ibunya Kak Fima ga beda jauh dengan teori intensitas gue bahwa intensitas dapat menggalahkan sangat banyak hal.
Terus ini hubungannya apa?
Hubungannya adalah hati-hati dengan intensitas. Kalau status udah taken, jangan main api bikin sumber intensitas dengan orang lain lagi. Kalau belum siap dengan langkah jangka panjang, jangan main api juga menciptakan intensitas ke orang lain. Apalagi perempuan gampang berharap, jadi hati-hati aja dengan urusan intensitas.
2. Rezeki akan datang dari Allah
"Memang rezeki itu dari Allah, Dil. Ketika laki-laki memang niatnya baik mau ngelamar mah Allah bakal mencukupi rezekinya. Beberapa saat sebelum gue nikah, entah gimana ada lowongan beasiswa yang nominalnya lebih besar, Kak Anjar daftar dan keterima. Ya berarti selisih antara beasiswa baru dan beasiswa lamanya kan bisa dibilang sebagai rezeki gue.
Trus juga penghuni apato (yang ditempatin sekarang) sebelum ini mau pindah, trus minta diinfoin ke mahasiswa Indonesia karena ibu kosnya percaya sama orang Indonesia. Apatonya murah, buat couple (bukan apato single), walaupun tempatnya agak jauh. Kak Anjar daftar dan dapet. Emang rezekinya mah akan ada aja, Dil."
Afina Nur Fauziyyah, 2016
"Saya juga salah, sih. Waktu itu niatnya nabung dulu, nikahnya nanti. Trus ya gitu deh.. Akhirnya setelah deket dengan istri saya yang ini, saya niat cuma mau pacaran setahun. Kalau cocok, lanjut. Kalau ga cocok, ya udah. Eh ternyata cocok, ya udah saya niat mau nikah sama dia. Udah sempet bilang ke calon mertua, minta maaf, bisa jadi nikahnya ga di gedung karena tabungan saya belum cukup. Tapi rezeki mah dari Allah. Ga lama abis saya niat mau nikah, saya dipindahin kerjanya ke China. Dengan nominal gaji yang baru, itu alhamdulillah bisa ditabung banyak buat nikah."
Fima Firdaus Firman, 2016
Terus apa hubungannya?
Hubungannya adalah, ketika kita memang memiliki niat baik untuk menyempurnakan setengah agama, untuk menjalankan sunnah rasul, untuk berusaha tidak mendekati zina, untuk membangun keluarga rabbani, maka maju teroooooos. Pantang mundur. Insya Allah, pertolongan Allah akan datang dengan cara yang tidak disangka-sangka. Terkadang ada banyak skenario langit yang susah digapai dengan nalar penduduk bumi.
3. Bukan karena merasa siap
Somehow, kalau mau nunggu siap, sepertinya pada dasarnya manusia akan sangat sulit sekali merasa siap. Ketika kuliah, bilangnya mau nikah abis kerja. Ketika sudah kerja, bilangnya mau nikah kalau sudah mapan. Definisi mapan itu luas coy~
Ketika masih ngekos atau ngontrak, bilangnya mau nikah kalau udah punya rumah sendiri, minimal sedang ngusahain cicilan rumah lah. Kalau udah punya cicilan rumah, bilangnya mau nikah kalau udah punya cicilan mobil. Gitu aja terus sampai calonnya ditikung oleh orang lain.
Ada saatnya gue berpikir bahwa kita ditempatkan dalam suatu keadaan oleh Allah bukan karena kita merasa siap berada di dalam keadaan itu. Bukan juga karena Allah tau kita sudah siap untuk berada di fase hidup tertentu. Tapi bisa jadi karena Allah ingin kita ada di fase tersebut dan menjalaninya, Allah ingin kita jadi siap dengan fase tersebut.
Contoh kasus nyata adalah diri gue sendiri. Gue haqqul yaqin sebelum berangkat ke Jepang ga bisa masak. Allah juga tau bahwa gue sebelum berangkat ke Jepang ga bisa masak.
Lalu kenapa gue bisa-bisanya lolos exchange ke negara yang mayoritas penduduknya non muslim dan makanan ga halal betebaran di mana-mana?
Bisa jadi, karena Allah ingin gue naik kelas, Allah ingin gue jadi bisa masak. Selanjutnya, yang bisa gue lakukan adalah belajar masak soalnya pilihannya cuma dua, masak lalu bisa makan, atau selalu beli makanan di luar dan dalam sebulan uang beasiswanya abis untuk makan doang.
Simpulan
Bersegera itu beda dengan terburu.
Bersiap itu tanda bahwa kita belum siap.
Kalau belum siap trus gimana? Ya harus belajar.
Jangan melewatkan kesempatan, kalau ada orang baik dengan niat baik ya kenapa enggak? deuh, kayak yang udah ada aja deh dil.
Jangan lupa libatkan Allah,
Bismillaahirrahmaanirrahiim
:)