Selasa, 17 Mei 2016

#MatahariAkar [My Shalat, My Adventure]

I will use the word "saya" instead of "gue" in several posts because I want to be more serious with some other posts on my blog in future.
Enjoy it :D

Dari awal bulan Oktober 2015 hingga September 2016 nanti, saya berkesempatan untuk menjadi pelajar yang tertukar mengikuti program pertukaran pelajar di sebuah kampus di Negara yang menjadi tanah air bagi Naruto dan Doraemon. Menjadi muslim di Negara minoritas ternyata memang benar-benar membutuhkan perjuangan seperti kata Hanum Rais di dalam bukunya “99 Cahaya di Langit Eropa”. Salah satu quote yang diulang berkali-kali di dalam buku tersebut adalah mengenai “..menjadi agen muslim yang baik”.

Bagi saya sendiri, “menjadi agen muslim yang baik” memiliki dua arti. Yang pertama adalah “menjadi agen muslim – yang baik” dan yang kedua adalah “menjadi – agen muslim yang baik”. Keduanya sama-sama menjadi agen muslim dan keduanya sama-sama menjadi baik. Tetapi jika ingin digabungkan maka keduanya akan bermuara pada menjadi seorang muslim yang menjalankan agamanya dengan baik serta berkehidupan dengan baik yang sesuai dengan tata-krama setempat.

Kalau kata Sudjiwo Tedjo,
“Cinta itu ga butuh pengorbanan. Ketika kamu merasa berkorban, maka ketika itu pula cintamu dipertanyakan”.
Tsaaaaah~. 

Maka dari itu, hidup setahun menjadi minoritas muslim bagi saya bukan merupakan pengorbanan, melainkan tantangan. Tantangan mengenai mana yang lebih kamu cintai apakah Tuhanmu atau image-mu, sedangkan image sekalipun adalah titipan-Nya. Lagipula, tantangan selalu menawarkan petualangan yang menarik, bukan?

Kita semua tahu bahwa shalat adalah tiang agama. Ada 5 waktu shalat dalam sehari yang wajib kita laksanakan, belum jika ditambah dengan waktu-waktu sunnah. Tak perlu ditanya lagi jika urusan mendirikan shalat ini menuai sangat banyak cerita.

Saya bersyukur bahwa kampus tempat saya exchange ini merupakan kampus dengan peringkat ke-15 se-Jepang[1] sehingga banyak mahasiswa asing yang juga berkuliah di sini. Di samping itu, sudah sekitar 20 tahun program exchange saya ini berlangsung sehingga banyak Sensei dan pegawai di International Office sudah berpengalaman menghadapi mahasiswa asing, termasuk asing dalam berbudaya dan ‘asing’ dalam beragama.

Pihak International Office bahkan sudah banyak yang tahu bahwa muslim harus shalat sebanyak 5 kali sehari, yang mana waktu Dzuhur dan Ashar seringkali harus dihabiskan di lingkungan kampus. Oleh International Office, kami (saya dan teman-teman muslim lainnya) ditunjukkan beberapa tempat untuk shalat. Di gedung yang biasa saya gunakan untuk kuliah, terdapat dua lokasi shalat di dua lantai berbeda yang ukurannya cukup untuk berjamaah sebanyak 3 orang. Pembatas ruangan kecil inipun hanya partisi beroda setinggi sekitar dua meter yang dapat digeser-geser. Di gedung lain, ada tempat shalat yang cukup luas karena sebenarnya tempat itu adalah lantai teratas gedung dan ada sepojokan area yang tidak berfungsi. 

Sejauh ini, Alhamdulillah, untuk urusan tempat shalat, saya di kampus tidak bermasalah.

Tantangan dari shalat di kampus adalah urusan wudhu. Berhubung bukan Negara mayoritas muslim, hal ini mengakibatkan tidak adanya tempat wudhu seperti di masjid/mushala Indonesia pada umumnya. Satu-satunya lokasi paling memungkinkan untuk wudhu adalah washtafel toilet. Terkadang Saya dan teman-teman muslim berwudhu di samping gadis Jepang yang sedang berdandan cantik. Malu? Ga usah ditanya *ketawa sedih di pojokan*. Paling banter kami hanya akan nyengir-nyengir polos ketika diamati dari kepala sampai kaki oleh mereka.

Tantangan dalam wudhu ini juga banyak, salah satu yang terberat adalah urusan membasuh kaki. Di sinilah perkara untuk “menjadi agen muslim yang baik” berperan. Di Jepang, semua air keran dapat langsung diminum sehingga bukan tidak mungkin apabila di toilet menyaksikan seseorang menampung air keran dengan tangan lalu meminumnya. Sehingga jika mau dipikir secara logika serta secara urusan pantas-tak pantas, sangat tidak sopan rasanya jika kami menaikkan kaki ke washtafel untuk mencuci kaki (apalagi jika dilihat orang Jepang).

Sampai pada titik ini, satu hal lagi yang perlu dikuasai untuk menjadi agen muslim yang baik yaitu ilmu. Bukankah Allah telah berjanji bahwa orang berilmu akan ditinggikan beberapa derajat? Hal ini didukung pula dengan kata-kata bijak mengenai anjuran menuntut ilmu dari sejak buaian ibu hingga ke liang lahat. Di samping itu, tidakkah kita tergiur dengan iming-iming mengenai pahala yang tak terputus dari ilmu kita yang bermanfaat?

“Allahumma yassir, walaa tu’assir”, Ya Allah, permudahlah dan jangan Engkau persulit. Bukankah jika tidak ada air bahkan Allah telah mengizinkan untuk tayamum? Sehingga sebenarnya ada air tapi kondisinya agak ribet bukanlah suatu masalah besar. Hal yang paling mungkin dilakukan adalah membasuh kaki (di luar washtafel) sebanyak tiga kali dengan tangan yang sudah dibasahi.

Selesai? Not that easy, guys.
Efek domino berikutnya adalah lantainya becek sehingga mau-tak mau harus dilap dengan tissue. Kadang jika airnya bercipratan ke mana-mana, ya dilap lah, mau bagaimana lagi.

Mungkin salah satu solusi yang paling solutif adalah menjaga wudhu. Di Jepang, kontak fisik sangat jarang terjadi. Bahasa tubuh ketika menyapa seseorang biasanya dilakukan dengan cara membungkuk sehingga batal wudhu karena bersentuhan dengan lawan jenis dapat diminimalisir.

Selesai? Not that easy, guys.
Saya orangnya mudah kebelet *ketawa sedih di pojokan*.

Tantangan shalat yang sebenarnya adalah ketika sedang berjalan-jalan demi mencoba menjadi anak gaul Ibukota. Jika ingin menghitung jumlah masjid se-Tokyo menggunakan jari tangan ditambah jari kaki, mungkin masih akan ada beberapa jari yang menganggur. Sedangkan tiap waktu shalat ada periodenya tersendiri dan waktu dalam sepanjang siang akan dapat habis dengan mudahnya hanya untuk menemukan masjid saja.

Di sini perkara untuk “menjadi agen muslim yang baik” kembali berperan. Bagaimana caranya “menjadi – agen muslim yang baik” sekaligus “menjadi agen muslim – yang baik”. Bagaimana caranya kita shalat di tempat selain masjid (re: tempat umum) tanpa mengganggu kepentingan umum.

Di sini pula terdapat urgensi untuk menuntut ilmu. Pada awalnya sempat terlintas pertanyaan, bagaimana jika kita shalat di pinggiran taman yang (bukan tidak mungkin) pernah dilewati anjing yang dibawa pemiliknya untuk jalan-jalan sore, bukankah liurnya najis?

“Allahumma yassir, walaa tu’assir”, Ya Allah, permudahlah dan jangan Engkau persulit. Bukankah bahkan najis di liur anjing akan hilang setelah dicuci sebanyak tujuh kali dan salah satunya dengan tanah? Sehingga sebenarnya perkara mengenai misteri adanya liur anjing yang mengenai tanah untuk shalat dapat terselesaikan.

Selain pinggiran taman, lokasi lain yang pernah saya jadikan tempat shalat ada banyak. Lokasi tersebut di antaranya adalah di pinggiran landmark suatu wilayah, di pelataran mall, di pinggir laut, di tempat parkiran sepeda, di dekat tangga darurat, di pojokan museum, di peron kereta bawah tanah, di dalam fitting room di department store, sampai di bawah pohon sakura.

Taktik shalat saya dan teman-teman muslim lain di tempat umum juga ada banyak. Salah satu yang menjadi favorit adalah tidak shalat semuanya dalam satu waktu, melainkan ada yang menunggu dan berjaga, untuk antisipasi jika ditegur satpam atau pihak berwenang lainnya. Sejauh ini pernah beberapa kali ditegur orang, Alhamdulillah berhasil menejelaskan dengan singkat dan mudah dimengerti. Beberapa orang yang telah diberikan penjelasan terlihat antusias, meskipun sebenarnya saya ragu apakah mereka benar-benar antusias atau memang tata krama di sini yang selalu curious jika menemukan hal baru.

Di tanah airnya Naruto dan Doraemon ini saya merasa bahagia dengan diri saya sendiri karena dapat istiqamah untuk shalat di waktu yang tepat meskipun tempatnya terkadang ditepat-tepati agar terasa tepat. Sepulangnya ke tanah air, sepertinya saya akan memperkecil excuse untuk diri sendiri dalam urusan ketepatan waktu shalat. Kokohnya tiang bangunan Islam ini masih jauh lebih indah untuk ditawar dengan image duniawi.

This is my story. My shalat, my adventure.
How about you?