Alkisah, hari ini gue sempet main ke tempat temen gue di TIN yang bernama Ian. Pada mulanya ada sejenis OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah; organisasi kedaerahan yang ada di IPB) TIN-Jawa Timur tak resmi yang hobi kumpul dalam periode tertentu trus
doing something. Entah gimana caranya, tetiba peserta yang hadir bukan cuma anak Jatim doang dan bingungnya adalah kemarin gue diajak untuk ikutan. Agendanya adalah masak-masak dan makan-makan. Siapa juga yang bakal nolak? :p
Ketika di kontrakan Ian,
gue di-bully abis-abisan sama Nizam *salah fokus* *skip* Camel berkata bahwa ada wacana beberapa temen TIN untuk nonton. Gue sih kalem-kalem aja. Sudah menjadi rahasia umum bahwa kalo ngajak gue jalan itu banyak syaratnya. Makanya gue diem-diem aja, nunggu ada yang ngajak.
Setelah gue pulang ke rumah ba'da Ashar, gue udah sempet lupa ada wacana mau nonton. Tetiba datang sms dari Ari yang mengajak gue untuk ikutan nonton juga biar makin rame.
Aha!!
Girang banget gue..
Kalo ada yang ngajak gue jalan, seharusnya yang bersangkutan sudah tau konsekuensinya. Mulai dari susah diajak nyari tempat makan karena menghindari makanan ber-MSG, pesanan minuman gue yang kadang ngerepotin kalo di restoran
fastfood karena gue ga suka soda, sampai jam malam tersirat yang mengharuskan gue paling telat jam 10 malam udah ada di rumah.
Dan hari ini gue sedang iseng. Berhubung gue tau Ari berangkat dari rumahnya, berhubung kalo mau nonton itu tempat yang paling memungkinkan dari segi harga adalah BTM atau Ekalos, maka gue minta dijemput di rumah. Ihiiiiiy. Lumayan lah itu dia cuma menyimpang 1,2 km doang dari rute awal untuk ngejemput gue, hehe..
Akhirnya fiks lah bakan nonton di Ekalos dan alhasil gue dijemput Ari meskipun sambil manyun. Adapun yang nonton ternyata cuma gue, Ari, Salman, Dedi, Camel, dan Reza. Yasudahlahya..
Perjalanan dari rumah gue sampai Ekalos mengalami kemacetan yang normal. Begitu tiba di parkiran Ekalos, hal tak normal mulai terjadi. Gue dan Ari sama-sama baru tau bahwa parkir motor di Ekalos ternyata sebegitu meribetkan. Jika motor dianalogikan sebagai bahan, maka menurut makul TTCK (Teknik dan Tata Cara Kerja) dan TLPB (Tata Letak dan Penangan Bahan) dapat dikatakan bahwa aliran bahannya masih semrawut dan ga efisien.
Karena gue dan Ari tiba terlebih dahulu di Ekalos, akhirnya kita beli tiket duluan. Karena gue harus balik sebelum jam 10, maka jam mulai film harus sebelum jam 8 sehingga lokasi duduk yang masih
available tergolong di garda depan. Dan film yang akan ditonton adalah..
Jeng.. Jeng..
|
47 Ronin |
sumber gambar:
http://www.flickeringmyth.com/2013/10/two-new-posters-and-another.html
Hal yang gue tau dari dulu-dulu adalah bahwa Ronin merupakan sebutan bagi samurai tak bertuan. Jadi kalo ada seorang penguasa yang dicabut kekuasaannya oleh pihak berwanang Jepang, maka samurai-samurai yang mengabdi kepadanya otomatis ga punya tuan lagi. Trus jadi ga punya tempat untuk berkontribusi
*ceileh bahasanya jadi gini karena sedang jaman-jamannya wawancara LK*. Ronin-ronin tersebut nantinya ada yang mengembara ataupun beralih profesi, misal jadi petani.
Makanya gue cuma senyum-senyum pas tau ada program Ronin di NF. Yang ada di bayangan gue, orang-orang Ronin NF itu pada masanya telah berjuang habis-habisan dengan segenap pengorbanan tapi tetep belum rezeki keterima di univ.
Okesip, skip. Abaikan paragraf di atas.
Iya, cara kerja otak gue memang se-random ini.
Setelah shalat Maghrib di mushala yang pergerakan aliran bahannya juga semrawut dan kurang efisien, serta lokasinya susah dijangkau (Dedi cuma bisa ngomel-ngomel,
"Haduuh, ini kalo ibarat lokasi usaha, fator kritisnya tidak terpenuhi nih" dan kita sisanya cuma sanggup menatap dengan tatapan yang seolah berkata
"Plis Ded, ujian masih 2 minggu lagi. Urusan faktor kritisnya nanti dulu deh ya") ahirnya kita masuk studio bioskop.
Scene awal udah ada sekelompok samurai yang berantem melawan monster pake pedang dan ada orang jatoh keseret-seret kuda.
Feeling gue kagak enak. Ajigile,
track record gue sejauh ini adalah gue ketika pertama (dan terakhir) kali nonton
live peristiwa penyembelihan qurban bertahun-tahun yang lalu berakhir menyedihkan dengan gue muntah-muntah. Yang lebih
up to date, gue lebih memilih untuk membaca buku catatan kuliah ketika dua orang teman gue nonton film horor
'Sinister' menggunakan laptop di sekret BEM Fateta ketika ujian semester 4 lalu. Adapun yang terkini, gue lebih memilih untuk tilawah ketika seorang dosen memutar video mengenai aliran bahan di tempat penyembelihan ayam.
Prinsip gue, nonton itu untuk
have fun. Kalo ujung-ujungnya jadi serem sendiri ya untuk apa ditonton.
Sepertinya gue rada salah pilih film untuk ditonton. Jika diakumulasi, lebih dari setengah jam gue memilih untuk menutup mata gue dengan jilbab biru yang sedang gue gunakan. Hal tersebut malah memicu komentar Salman,
"Lu mah nonton blue film, Dil. Biru doang itu keliatannya". Atuh lah ya, mau gimana lagi..
Terlepas dari ada tokoh yang mukanya mirip Wike (TIN49), ada yang ukuran lebar badannya mirip Ari, serta ada baju zirah yang bentuknya kayak monster di film Thor 2
*nahloh, bingung kan gue kenapa itu bisa ada monster di Thor masuk ke film 47 Ronin*, film itu sesungguhnya kece. Kece banget malah. Banyak hal yang bisa diambil dari film itu. Tapi ya itu tadi, bunuh-bunuhannya ga nahan --"
Ketika ada adegan
kissing, dengan belernya kita malah berebutan menutup muka Camel dan berkata,
"Mel, lu masih kecil, Mel",
"Mel, lu belom cukup umur",
"Mel, ati-ati mamah di Pekalongan bisa marah kalo lu nonton film kayak gini".
Kembali pada adegan bunuh-bunuhan, gue akan siap sedia memejamkan mata atau minimal menutup mata dengan jilbab ketika ada adegan-adegan yang hawa-hawanya akan ada pertumpahan darah. Setidaknya, kalo ditutup dengan jilbab, maka cuma terlihat sekilas-kilas gitu doang gambarnya. Tapi sekeras apapun usaha gue untuk menutup kuping, itu tidak pernah berhasil dengan sempurna. Dan untuk pertama kalinya dalam hidup, gue menyesali kemampuan bahasa Inggris gue yang ga cupu-cupu amat. Gue jadi tetep bisa tau itu alur filmnya sedang sampai mana karena gue ngerti apa yang diomongin sama tokohnya.
Okesip --"
Begitulah nasib film 47 Ronin yang lebih dari setengah jam dari total pemutarannya hanya terlihat warna biru di mata gue.
Setelah film kelar, Camel-Reza memutuskan untuk jalan-jalan di Matahari (Gue dengan belernya berkata,
"Widiiiih, panas dong di matahari". Dan mereka sisanya hanya sanggup menatap gue dengan tatapan putus asa yang ga abis pikir dan seolah berkata,
"Dil, pliss..") lalu kita sisanya memutuskan untuk makan. Dengan gilanya, tempat yang dipilih adalah
Richeese Factory. Sesungguhnya gue belom pernah ke sono sebelumnya. Sejauh ini gue cuma tau
track record-nya doang dari orang-orang yang pernah dateng ke sono.
Menurut salah satu dosen gue dalam kuliah Pengawasan Mutu, restoran cepat saji kayak KFC dan Mc.Donalds seharusnya ga boleh bilang
'maaf sedang habis' jika ada
customer yang memesan apapun, jam berapapun. Lain halnya dengan
Richeese ini, dari sekian banyak list makanan yang kita pesan, ternyata eh ternyata udah pada abis. Meskipun ujung-ujungnya kita tetep makan di situ kok.
Sebelum Salman mulai ketularan Dedi dan berkomentar tentang sistem pengawasan mutu dan lain-lainnya, Ari dengan muka kalem menenangkan,
"Udaaah, berarti anggep aja ini belom established". Selesai perkara.
Dengan kalemnya, gue memesan level 2. Tanpa mikir, Ari memesan level 5. Dengan sadar diri, Salman memesan level 1. Sedangkan Dedi memesan level 3 dengan alasan absurd,
"Gue ga boleh kalah dari Dila. meskipun biasanya gue pesen level 2, sekarang gue mau pesen level 3.".
Pada akhirnya, terlihat bahwa orang yang paling menderita dengan tingkat kepedasan yang dipilihnya adalah Dedi. Dedi bahkan sempat berkata,
"Ri, besok kumpul TF kalo gue ga dateng berarti tipes gue kambuh yak ini karena kebanyakan makan pedes. Atau enggak, berarti maag gue kambuh.." dan Ari cuma sanggup melirik ke arah Dedi dengan muka prihatin. Okesip. Makanya Ded, tujuan hidup itu jangan cetek dan jangan bergantung ke manusia.
:p
Mengingat jam malam gue, akhirnya kita memutuskan untuk pulang karena saat itu udah lewat dari jam 9 malam. Hal heboh lainnya adalah ketika tiba di parkiran, kita mendapati helm Ari ilang. Nahloh. Bingung gue juga kenapa itu helmnya bisa ilang. Helm gue sih tetep selamet, mungkin yang mau ngembat juga mikir berulang kali untuk ngembat helm yang motifnya bunga-bunga.
Udah nanya ke petugas parkirnya tapi ga jelas pertanggungjawabannya. Ari udah bete aja. Salman-Dedi juga ga tau harus ngapain. Gue mau nawarin Ari untuk pake helm gue yang bunga-bunga juga ga mungkin. Reza-Camel mungkin masih asik di Matahari, entahlah, kita sudah berpisah jalan dari sejak abis nonton tadi.
At the end, Ari bete. Bagi yang pernah tau Ari bete, ya silakan bayangin aja gimana perasaan gue dibonceng pulang dengan keadaan Ari yang sedang bete. Setengah jalan dari Ekalos ke rumah udah cukup membuat gue harus ber-istighfar rada banyak. Untungnya setengah jalan sisanya berhasil ngobrol dan udah ketawa-tawa beler di motor.
Meski mungkin redaksinya sudah tak tepat, tapi gue mau mengutip kata-kata Pak Mas'ul berbulan-bulan lalu,
"Jika kita sudah cukup bersyukur ketika mendapat anugerah dan bersabar ketika mendapat musibah, sudahkah kita cukup bersyukur ketika mendapat musibah dan bersabar ketika mendapat anugerah?"
.H54100002.
Akhir kata, semoga Ari cepet punya helm baru dan apa-apa yang hilang dapat digantikan dengan yang lebih baik :)