Selasa, 23 Februari 2016

#MatahariAkar [FAQ Hidup di Tokyo]

Sebenarnya gue menulis ini bukan karena gue sebaik hati itu sih. Salah satu niat busuk gue menulis ini adalah karena gue males, biar ketika ada yang bertanya maka dapat langsung gue arahkan ke post ini tanpa perlu gue repot-repot mengetik. Seiring detik demi detik gue mengetik ini, gue teringat dengan sebuah hadist,
Innamal a'malu bi niyyat
Istighfar antum, Diiiiil..
Mari kita luruskan niat. Semoga tulisan ini dapat menjadi suatu ilmu yang bermanfaat bagi siapapun yang membacaya. Aamiin.

PENGANTAR
Jadi ceritanya, selama lebih dari 4 bulan gue di Jepang, di samping sudah ada 10 pasang teman-teman gue yang menikah, juga mungkin sudah ada sekitar 10 orang yang bertanya mengenai bagaimana hidup di Jepang. Berhubung kampus gue di Tokyo, maka tulisan ini menggambarkan apa yang gue rasakan setelah beberapa bulan hidup di Tokyo. Sebelumnya, gue menyampaikan mohon maaf lahir batin apabila tulisan ini tidak relevan jika ingin dijadikan standar hidup di kota lain. Mohon maaf lahir batin juga dan sangat menerima masukan jika ternyata ada info yang kurang valid karena ini hanya berlandaskan dari apa yang gue rasakan selama ini saja. 

Let's Start
Dil, hidup di Tokyo mahal ya?
Dua kata. Iya banget.

Dil, kalau gue ikut program xxx, itu beasiswanya ¥1xx.xxx, cukup ga?
Logika sederhananya adalah gini, sila cari kurs ¥ ke rupiah berapa, dan dikonversi nominalnya ke rupiah. Itu belasan juta lhooo. Cukup lah, insya Allah. It depends on lifestyle. Kalau nurutin keinginan untuk hedon mah mau segimanapun juga ga akan cukup.

Memang sih living cost di sini mahalnya ga kira-kira, tapi ga usah se-paranoid itu juga. Satu hal yang gue yakini, lembaga pemberi beasiswa itu pasti sudah melakukan survei terlebih dulu mengenai living cost di Jepang. Bukan mengajarkan untuk ga kritis sih, tapi biar hati tenang mah percaya aja ya.
:)

Dil, kalau ga dapat beasiswa, bisa ga bertahan hidup di Tokyo?
Bisa sih. Pilihannya ada dua, jadi anak durhaka yang ngabisin uang orang tua atau kerja sambilan ((aru)baito) di Tokyo. Hidup di sini sesungguhnya lumayan makanya gue ga menyarankan kalau hanya mengandalkan uang kiriman orang tua.

Untuk masalah baito, banyak kok cerita yang gue dapatkan mengenai senpai yang baito. Meskipun gue ga pernah nanya honornya berapa sih *kan itu masalah yang sensitif* tapi sepertinya cukup nambah-nambahin untuk hidup. Rentang kerjaan yang dapat dilakukan juga cukup luas mulai dari cuci piring kayak di film-film, jaga toko, sampai bahkan jadi pemandu wisata.

Kalau dapat beasiswa, ada beasiswa tertentu yang di dalam kontraknya itu tidak membolehkan kerja, jadi jangan coba-coba. Ada juga yang membolehkan kerja tapi kerjanya harus berhubungan dengan jurusan kuliah, misal jadi asprak.

Dil, berapa sih kebutuhan dasar untuk hidup di Tokyo?
Nah, ini yang agak rumit. Sepengalaman gue selama ini, untuk urusan makan, jika mau makan layak di luar, sekali makan itu bisa sekitar ¥500-¥1500. Sila dihitung sendiri jika makan tiga kali dalam sehari dan dikalikan dengan jumlah hari dalam sebulan.

Berhubung urusan makan untuk muslim juga agak ribet, gue memilih untuk masak. Lagi-lagi sepengalaman gue dan kalkulasi dengan pembulatan ke atas, sebulan itu kalau masak sendiri dengan modal ¥25.000 sudah akan makmur sentosa bahagia serta dapat makan dengan menu makanan bergizi tinggi. Itu baru urusan makan.

Ada lagi untuk air dan listrik. Biaya listrik itu dibayar tiap bulan, sedangkan biaya air dibayar tiap dua bulan sekali. Berhubungun gue hidup sendiri, kebutuhan air dan listrik gue kalau dijumlah itu sekitar ¥6000 per bulan. Actually it depends on how you use them. Kalau mandi tiap hari berendam di bathtub ya itu lain lagi ya, haha.

Yang ga kalah penting sekarang adalah internet. Urusan kebutuhan dasar manusia sudah berkembang jadi sandang, pangan, papan, dan paket data. Untuk internet ini ada sangat banyak opsi dan provider. Gue di sini beli simcard dengan biaya per bulan ¥2000 dan sudah ada 3GB data. Ada juga wifi di kamar dengan biaya per bulan ¥3000an, itu unlimited.

Awalnya gue sudah bahagia dengan wifi kamar yang unlimited hingga gue sadari bahwa akan menjadi agak ribet ketika gue mau jalan-jalan. Di Jepang ini mungkin sudah pada khatam mengenai teori bahwa transportasi umum itu terkelola dengan sangat baik dan rata-rata keterlambatan kereta per hari se-Jepang Raya hanya sekitar 7 detik. Maka dari itu ke mana-mana naik kereta itu convinient banget. Sehingga pada akhirnya setelah dua bulan gue merasa perlu memiliki simcard --yang seminimal-minimalnya dapat digunakan-- untuk internetan. Adanya Gmaps atau aplikasi lainnya mengenai makanan halal/waktu shalat/arah kiblat menjadi mudah diakses di manapun.

Ada opsi lain yaitu beli handphone yang sudah sepaket dengan simcard-nya. Untuk memudahkan, sebut saja dia sebagai hape locked. Akan tetapi beli hape di sini agak ribet. Untuk hape locked itu ada kontrak minimal 2 tahun sehingga bagi gue ini menjadi hal ribet (karena gue di sini cuma setahun). Berdasarkan info yang gue dapatkan, per bulannya dikenakan charge sekitar ¥5000-¥7000 dengan ketentuan mendapat kuota tertentu untuk internet-telepon. Setelah berakhir masa kontrak maka hape akan jadi milik kita. Kalau kasus kayak gini rata-rata pada milih iPhone keluaran terbaru untuk hapenya.

Untuk hape unlocked, ya itu mah kayak beli hape di Indonesia aja. Beli hape dan simcard terpisah.

Selanjutnya, untuk urusan toiletries. Sekali lagi, berhubung gue hidup sendiri, sabun cair gue yang 350 ml aja baru habis setelah 4 bulan sehingga perhitungan ini akan menjadi sedikit lebih ribet, haha. Kalau perhitungan agak ngasal gue ga salah, sebulan kira-kira akan menghabiskan kurang dari ¥1000.

Nah, ini yang harus digarisbawahi dengan agak banyak lalu di-bold dan di-italic. Harga sewa kamar. Jadi setelah kuliah Japanese Culture dan Japanese History gue jadi tau bahwa 70% wilayah Jepang adalah pegunungan sehingga hanya sekitar 30% saja wilayah yang konturnya tidak berbukit-bukit dan enak untuk dijadikan tempat tinggal. Luas tanah yang seuprit itu harus digunakan untuk tinggal oleh manusia yang sebegitu banyaknya, maka dari itu jangan heran kalau harga tanah mahalnya ga ketulungan. Beruntungnya gue, gue tinggal di asrama kampus yang harga sewa per bulannya super murah, ¥10.500. Kalau harga apato (apartment) biasa di sekitar tempat tinggal gue, itu dapat mencapai ¥35.000 hingga ¥50.000. Segini tuh tempat tinggal gue ada di pinggiran Tokyo. Kalau kebetulan kampusnya di pusat kota Tokyo, harga per bulannya dapat mencapai ¥60.000.

Dil, kalau mau makan (especially untuk muslim), susah ga?
Actually ga susah. Di sini bahan makanan seafood tersedia banyak. Kalau ingat cerita teman yang S1 di Perancis, dia sampai jadi vegetarian karena susah makan daging.

Jepang juga udah mulai welcome dengan muslim. Di Tokyo sendiri ada banyak tempat makan halal. Kalau hari libur dan ga ada kerjaan, kerjaan gue ya mencari tempat makan halal itu, haha.

Supermarket yang menjual ayam halal juga ada dan tersebar di banyak tempat. Ada juga Toko Indonesia di daerah Okubo yang melayani delivery order. Paling solutif sih adalah masak sendiri. Itu juga kalau tidak terkendala oleh skill.

Dil, gue ga bisa masak. Gimana ya?
Jawabannya cuma satu. Belajar.
Gue juga ga bisa masak kok awalnya. Pas awal-awal di sini, gue bahkan selalu menghadiahi diri gue sendiri untuk makan di luar tiap weekend saking sedihnya dengan rasa masakan sendiri. Dari yang awalnya masakan gue rasanya berantakan, makin hari makin beres rasanya, yaaah sekarang rasanya jadi agak sedikit ga berantakan. Haha. Lumayan lah naik kelas sedikit.

Dil, orang Jepang katanya banyak yang ga bisa bahasa Inggris ya? Trus gimana dong?
Nah iya benar. Meskipun ga seluruhnya benar sih. Sesungguhnya anak-anak muda Jepang banyak yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Budaya sini yang malu-malu mengakibatkan mereka jadi suka pada ga ngaku. Tapi kalau suatu saat dengan muka memelas bertanya pakai bahasa Inggris, kemungkinan besar akan dijawab dengan bahasa Inggris kok, haha, gue pernah mencobanya *iya, emang alay kadang kelakuan gue*.

Trus gimana? Ya belajar atuhlah. Gue sangat menyarankan bagi yang akan belajar atau bekerja atau ikut suami di Jepang untuk belajar bahasa Jepang. Meskipun kalau kuliah nanti akan ada kelas bahasa Jepang, tapi gue sangat menyarankan untuk belajar bahasa Jepang sejak sebelum ke Jepang.

Kenapa? Karena negara ini kan punya sistem tulisan sendiri (hiragana, katakana, dan kanji) sehingga rasanya akan jauh lebih mudah jika ketika ke sini minimal sudah dapat membaca hiragana. Meskipun di beberapa lokasi seperti stasiun dan kereta ada tulisan alfabet (romaji) yang kita kenal ini, tapi untuk running text atau papan pengumuman digital itu periode tampilan romaji cuma sebentar.

Kalau ada hal yang dapat dijadikan inti besar dari tulisan panjang lebar kali ini adalah,
Jangan batasi diri tapi tau batasan diri

Karena ketika kita berhasil melampaui suatu batas diri, maka sesungguhnya batas diri kita itu memuai menjadi batas-batas baru yang menunggu untuk dilampaui. (Imam Muharram Alitu)

Akhir kata,
Selamat berkembang menjadi lebih baik :)

Senin, 22 Februari 2016

Menjadi Asing

Menjadi asing itu semudah kau pergi selama empat setengah bulan. Lalu, dalam rentang waktu itu banyak teman-teman terbaikmu yang menikah. Adapun teman-teman terbaikmu yang lainnya menjadi panitia.

Pada mulanya ada suatu grup di sebuah chat messenger. Isinya adalah teman-teman terbaikmu. Awalnya grup itu dibentuk untuk berkomunikasi. Tapi kini grup itu sepi. Apa pasal? Karena penghuni grup itu --selain dirimu-- punya grup lain untuk berkomunikasi. Ya salah satunya bisa jadi grup panitia walimahan. Atau mungkin pula grup mengenai aktivitas kebaikan yang sedang dirintis bersama.

Tak ada yang merasa perlu bertanya, "Apa kabar?" karena nyaris semua sudah saling tahu kabar satu sama lain. Mungkin tahu dari grup-grup yang lain itu, yang tanpamu di dalamnya. Mungkin sering bertemu dalam keseharian. Atau mungkin semua selalu terasa dekat sehingga tak terasa bahwa ada yang merasa tidak tahu kabar apa-apa. Dirimu.

Senin, 15 Februari 2016

#MatahariAkar [Mainnya (Kurang) Jauh]

Di samping istilah 'kurang piknik' yang sempat ngetrend di kalangan teman-teman kampus, ada juga istilah 'mainnya kurang jauh' di kalangan teman-teman Smansa. Kurang lebih, kedua kalimat ini artinya sama.

Berhubung feel 'rumah' yang pertama kali gue rasakan adalah di Smansa, maka aktivitas yang terpusat di Smansa, misal mengisi mentoring dan melatih Pandawa, rasanya seperti pulang. Bahkan gue yang kecebur-basah-kuyup di BEM selama 4 tahun aja, kalau mengacu pada redaksi teman-teman Smansa gue, judulnya adalah 'main'.

Jadi ceritanya program exchange gue ini sudah ada sejak 20an tahun. Adapun beberapa tahun terakhir ini (at least dari hasil kepo gue, sampai 5 tahun sebelum angkatan gue) selalu ada delegasi dari Indonesia. Akibatnya, menjadi sangat wajar ketika banyak sekali harta gono-gini dan warisan turun-temurun dari program exchange gue ini. Di awal kedatangan gue, gue dan kedua teman gue mendapat warisan dari angkatan atas sebanyak lima belas kardus.

((LIMA BELAS KARDUS))

Udah mah warisannya dititipkan di tempat senpai yang lokasi tinggalnya di dekat kampus yang jauh dari tempat tinggal kami pula *bingung kan? Haha*. Alhasil kami sampai sewa taksi untuk mengangkut warisan sebegitu banyak. Seorang dari kami (yang paling jago bahasa Jepangnya) kami paksa naik taksi biar barangnya ga nyasar dan kami sisanya jalan kaki dari kampus jauh ke dorm. Sialnya adalah kami salah belok dan perjalanan ini terasa makin menyedihkan karena jauh bener. Dalam keadaan tanpa nyasar aja, jarak kedua kampus ini sekitar 5 km. Ditambah dengan nyasar, yaaaah, begitulah. Dua jam jalan kaki.

Dari warisan sebanyak LIMA BELAS KARDUS yang tadi itu, gue menemukan sesuatu,

Piring Forkom :3

Bacaannya adalah,
Forkom Alim's cabang Jepang
Lengkap dengan enam tetes kincir jus jeruk
:'

Jadi ceritanya di pekan pertama kedatangan kami ke Jepang, program exchange gue ini mengadakan fieldtrip dan salah satu agendanya adalah membuat kerajinan tanah liat. Sepertinya rundown fieldtrip-nya tidak berubah begitu banyak dalam beberapa tahun terakhir. Piring Forkom itu dapat gue pastikan adalah hasil karya Si Teteh yang pernah membuat gue penasaran dengan program exchange ini. Identitas asli Si Teteh adalah Rindang Khairani (Smansa '08, FKH IPB 45) dan gue biasa memanggil beliau dengan sebutan "Teh Ibon".

Setelah main sejauh 5800 km dan ternyata masih menemukan piring Forkom, sepertinya main kali ini masih kurang jauh :)

Atau lingkaran ini yang terlalu lebar?
:'

Home is where the heart is,
Ayo mulai bersiap untuk rencana main lain yang Insya Allah lebih jauh :)

Rabu, 10 Februari 2016

Jatayu Kami

Kemarin sore gue sempat nangis terharu karena hal ini,

Juara 1 penyisihan LKBB Bogor Open 2016

Ini nilai pemimpin pasukan

Nilai PBB dasar

PBB berjalan, haluan-melintang yang luar biasa

Variasi-formasi, nyaris nilai maksimum


Nilai MC yang juga mendekati nilai maksimum

Maaf cuma bisa menyemangati dengan ini,
:'

Wahai utusan, pemuda, senjata andalan Arjuna, kekuatan jiwa, dan semua paskibra lain se-Bogor Raya,
Saksikanlah,
Jatayu kami siap terbang lebih tinggi

..
Kami siswa SMA 1,
Takkan redup berpijar
Demi cita bangsaku
Jayalah SMA 1
..

PANDAWA!!
Pandawa!! Pandawa!!
Sixteen!!

Kalau ada yang penasaran bagaimana penampilan pasukan kesayangan gue kemarin,
:)



Formasi dua-nya cinta banget deh :)
Makasih banyak idenya ya penjuru kesayangan angkatan XXI, Bayu Rizky Putra Adhitama.
:)