Sabtu, 18 November 2017

Lebih Baik Sakit Hati

Mungkin Meggy Z ketika dahulu menggubah lagu "Lebih Baik Sakit Gigi" belum pernah merasakan tumbuh gigi bungsu sebelah kiri, atas dan bawah sekaligus. Lalu pipi bagian dalam beberapa kali tergigit tak sengaja selama proses tumbuhnya kedua gigi itu dan sekarang malah sariawan dua buah.

Kalau bagi gue,
"...
Daripada sakit gigi,
Lebih baik sakit hati ini,
Biar tak mengapa
..."

Setelah gue analisa, ada hal menarik di balik mengapa gue memilih untuk lebih baik sakit hati.

(Anyway, sebagaimana pernah gue paparkan sebelumnya, semenjak tinggal di Jepang gue jadi memiliki hobi untuk memikirkan hal-hal yang "Plis deh, Dil, lu mikirin hal begituan?". Beberapa hal ini biasanya remeh dan berujung pada hal bermutu. Akan tetapi, sangat banyak sisanya merupakan hal remeh yang menjadi tetap remeh, hahaha. Luckily, topik ini agak berbobot lah buat dibahas. Ga remeh-remeh amat.)

Jadi gini, satu hal besar yang gue pelajari selama setahun tinggal di perantauan adalah bahagia itu datangnya dari hati dan pikiran, vice versa. Dua hal paling memungkinkan yang bisa dikontrol oleh manusia adalah hati dan pikirannya. Seriusan deh. Sehingga, apa-apa yang ada di hati dan pikiran itu supposed to be bisa dikondisikan.

Contoh mudahnya, kita bisa memilih untuk #bahagiaitusederhana dengan siapa, kita bisa memilih untuk melapangkan hati kepada siapa, kita bisa memilih untuk memaafkan siapa, kita bisa memilih untuk tetap optimis atau enggak, and so on. Berlaku sebaliknya, kita bisa juga kesal kabina-bina dengan seseorang padahal kesalahannya sepele banget.

Akar masalah dari sakit hati itu biasanya ga banyak. Salah satu alasan besarnya adalah kecewa. Nah kenapa seseorang bisa kecewa? Secara sotoy, gue mendefiniskan kecewa sebagai gap antara ekspektasi dengan realita. Biasanya ekspektasinya lebih tinggi daripada realita, makanya kecewa.

Kalau kita sakit hati karena ada orang ngomongnya nyelekit, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa si orang itu ngomongnya ga nyelekit. Kalau kita sakit hati karena diomongin di belakang, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa kita ga diomongin di belakang. Kalau kita sakit hati karena dibaikin eh taunya dia ga naksir kita, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa dia baik karena dia naksir sama kita.

Jadi sebenarnya, salah satu obat untuk sakit hati yaitu jangan ngarep.
Atau lebih spesifiknya, jangan ngarep sama makhluk. Kalau mau ngarep, sekalian aja lah kepada Sang Tempat Berharap.

Sehingga pada akhirnya, sakit hati itu bisa perlahan menghilang kalau kita belajar untuk tidak ngarep, belajar untuk mencoba menerima keadaan, belajar mencoba melapangkan hati, dan belajar mencoba bersyukur. Semua hal-hal itu bisa kita kondisikan. Semua hal-hal itu bisa selesai hanya dengan 'bermodalkan diri sendiri'.

For short, luka nonfisik semacam sakit hati ini adalah luka yang tak perlu ada. Luka nonfisik adalah luka yang bisa kita kondisikan. Luka nonfisik ini adalah luka yang tak perlu ada jika hati dan pikiran kita dapat terkondisikan dengan baik.

Nah, bagaimanakah kasus untuk luka fisik (dalam kasus gue adalah sakit gigi dan sariawan selama hampir seminggu)?
Biar mudahnya, bagi gue, luka fisik ini adalah luka yang memang perlu ada. Luka fisik ini adalah luka yang ga bisa kita kondisikan apakah mau sakit atau enggak, apakah mau berdarah atau enggak, apakah mau cepat sembuhnya atau enggak.

Karena luka fisik ini punya banyak variabel, maka akan ada variabel yang bisa kita kontrol dan ada yang enggak. Contoh gampangnya gini, adakah hubungan antara pemberian obat merah dengan kecepatan sembuh luka? Apakah semakin banyak kita memberikan obat merah maka luka juga semakin cepat sembuh? Kan enggak juga. Yaaaa, mungkin ada sih, tapi sepertinya ga berlaku secara matematis. Misal kita teteskan obat merah 4 tetes tiap hari, maka luka sembuh dalam 4 hari. Nah, jika kita teteskan 8 tetes per hari, apakah akan sembuh dalam 2 hari? Atau ketika kita siramkan sebotol maka langsung sembuh? Kan belum tentu. Maka dari itu gue bilang bahwa luka fisik ini adalah luka yang memang perlu ada dan hal menyebalkannya adalah kita ga bisa kontrol. Luka fisik ini adalah luka yang kita tidak punya power atas hal itu. (Atau sebenarnya kita punya power, yaitu sebatas memperkecil kemungkinan terjadinya luka itu).

Pada dasarnya, manusia itu senang ketika punya power. Bahkan, dari sebuah buku yang pernah gue baca, tombol untuk menutup pintu di lift itu sebenarnya ga ada gunanya. Tombol untuk membuka pintu lift lebih lama itu ada gunanya, of course. Manusia senang ketika menekan tombol itu dan merasa punya power untuk menahan agar pintu lift terbuka lebih lama. Tapi tombol untuk menutup pintu lift itu semata-mata didesain untuk kesenangan manusia. Manusia merasa senang ketika merasa punya power dan berhasil membuat pintu lift menutup saat menekan tombol itu, padahal si pintu lift itu hanya mengerjakan tugas alaminya untuk menutup, dengan atau tanpa tombol itu ditekan.
Yeah, you've being fooled, human. Lol.

Sehingga,
Gue sadar bahwa gue ga punya power untuk mengendalikan syaraf reseptor rasa sakit di gusi gue untuk ga bekerja dulu selama beberapa saat agar gue tidak sakit.
Tapi gue merasa punya power atas hati dan pikiran gue, maka dari itu gue memilih untuk lebih baik sakit hati.
:)