Minggu, 07 November 2021

Testimoni

 Dear all..

Jarang-jarang ya gue bikin post kayak gini. Tapi gue rasa untuk case ini sudah kelewat batas sehingga gue merasa perlu menuliskan ini daripada spaneng yekan. Ini adalah testimoni gue dan Ari setelah bekerja sama dengan salah satu developer untuk membangun rumah.

Disclaimer : Kami sudah bayar sesuai ketentuan. Sehingga ini adalah testimoni kami untuk hasil kerjanya (ya kayak orang-orang yg review produk aja lah.. cuma kali ini produknya adalah jasa).

(Insya Allah abis ini akan ada testimoni untuk arsiteknya karena bageur pisan mau bantuin kami ngejar-ngejar si developernya)

Singkat cerita, gue dan suami membangun rumah dengan jasa arsitek dan developer (2 entitas berbeda, tapi developernya adalah kenalan dari arsiteknya). Kontrak di atas materai bersama developer tertulis pengerjaan selama 4 bulan, tapi at the end pembangunannya ngaret for almost 4 other months.

This is not about money. Prinsip gue dan Ari, uang bisa dicari tapi trust ga bisa dibalikin dan waktu ga bisa berputar mundur.

Lalu kalau nanti kalian ada yang berhadaptan dengan bunyi perjanjian yang bilang untuk penyelesaian masalah secara kekeluargaan. Better said "No!!". Business is business. Yah namanya juga kami newlywed couple, belom paham bahwa bisa-bisanya ada orang yang heseyemeleh kebangetan macem begitu. In several ocasions gue sempet ngomong ke developernya ketika dia mau menyelesaikan masalah ini secara kekeluargaan, something like "duh di keluarga saya ga ada yg suka ingkar janji dan tukang tipu sih jadi ga kebayang penyelesaian kekeluargaannya kayak apa".

Tanda tangan kontrak per akhir Februari 2021, tapi si direktur developernya verbally said bahwa ini perhitungannya per material pertama kali tiba di lokasi. Upaya bersih-bersih lahan ga termasuk dari definisi pengerjaan. Material tiba di lokasi per akhir Maret 2021. Tapi hingga saat ini (awal November 2021) rumah gue belum kunjung jadi. Alesan dari developernya? Banyaaaaaaaakk..

Banyak penyebabnya, tapi kami (gue, Ari dan bapak arsitek baik hati) rasa sih karena si direkturnya ampas. Se-ampas apa?

  • Kerjanya ga dipikir
  • Ga bisa me-manage tim dan waktu dengan baik
  • Tidak mendengar keluhan/rekues customer dan tidak merespon kedua hal tersebut dengan baik
  • Punya kesibukan lain di luar sana (jadi rumah gue itu terlihat bukan sebagai aktivitas yang diprioritaskan, padahal gue kalau urusan duit mah nyetor mulu da sesuai kesepakatan, malu keles ngutang-ngutang)
  • Serta kalau ngomong itu asbun, yang dijawab hampir selalu ga nyambung sama yang ditanya (jadi baru mau nanya konfirmasi aja udah keburu kesel, wkwkwkwk).

To be fair : material yang dipilih itu oke punya dan ga tipikal ngoplos-ngoplos gitu.

Tapi ya kebayang kan.. Meski materialnya oke tapi kalau eksekusinya ampas ya ampas aja.

Arsiteknya sampai merasa bersalah ke gue karena ternyata developer kenalannya kok ya seampas itu..

-------------------------------------------

Sependek yang gue tau, developer ini sedang ada project bikin perumahan di Ciherang (Kab. Bogor), Tangerang Selatan, dan Bandung.

In case you find out that rumah yang lu incer adalah dari developer yang gue maksud, better find another place. (Or maybe your future business partner, siapa tau mau bangun apa gitu kan.. Better find another partner). Or maybe orang-orangnya udah tobat bekerja secara ngasal? wkwkwk, (who knows..) titip sampaikan aja dia masih punya hutang berupa kerugian non-material dengan gue.


Spill nama developernya?

Of course.

PT Bumi Sangkuriang Siliwangi


Hint :

Direkturnya bentukannya kayak orang soleh rajin solat karena di jidatnya ada tanda bekas sujud (INGAT!! Rajin solat ga menjamin seseorang itu soleh dan berakhlak baik yes) jadi bukan ga mungkin lu akan merasa everything will be okay (ya kayak gue pas awalnya aja). Padahal aslinya mah hesyemeleh.

Kalau versi pengalaman gue dan Ari selama otw 8 bulan ini, direkturnya bahkan sudah mengantongi 3 ciri munafik yang ada di hadist rasul (berkata bohong, berjanji tapi ingkar, jika dipercaya dia berkhianat) hanya dalam waktu 3-4 bulan.

Spill nama direkturnya? In case dia punya bisnis lain.

Oh tentu saja..

Tapi gue perlu disclaimer (lagi)..

Terakhir kali gue googling sih ada artikel tentang si direktur ini, gelarnya adalah pengamat budaya Banten. Ya mungkin memang aktivitasnya sebagai pengamat budaya lebih capable dan layak 'dipajang', who knows (and who cares?!), yang jelas kemampuannya sebagai developer sih ga sebagus isi di artikel tersebut.

Nama direkturnya adalah :

TB Saptani Suria

or in longer and more complete academic degree way, Tubagus Saptani Suria, SE., ME.


Saat post ini diturunkan, masih rame berita VA yang meninggal bersama suaminya karena kecelakaan di jalan tol Jombang. Nama supirnya yang dijadikan tersangka juga ada Tubagus-nya. Ada apa ini dengan nama Tubagus?

-_________-"

Dahmudahan Tubagus-Tubagus lain sisanya di dunia pada bener deh ya..


Mau tau detail ke-zonk-an rumah yang gue bikin pakai developer tersebut? Atau keampasan direkturnya? Please put your email in the comment below or ask me through dm ig @dilahoy

Semoga kalau ada pembaca yang mau bangun rumah, prosesnya dilancarkan serta dijauhkan dari kekampretan-kekampretan duniawi seperti developer yang ga ikutan antre otak pas masih di alam ruh atau tukang-tukang yang nilep/ga bisaeun ngitung kebutuhan material (ini pengalaman temen gue soalnya). Aamiin.

Thank you :)

Minggu, 23 Mei 2021

Pre-Marriage Journey [Part 2 = Prerequisite]

Prerequisite : Prasyarat; Syarat yang harus dipenuhi ketika mau melakukan sesuatu.

Ada satu pertanyaan yang gue jadikan prerequisite sebelum menikah, Yakni:

"Aku boleh tetap kerja ga setelah nikah dan punya anak? Dan apa pendapat kamu tentang perempuan yang kerja setelah nikah dan punya anak?"

Ketika sebelum diskusi, yang ada di pikiran gue cuma satu :

"Kalau gue ga boleh kerja abis nikah, bhay. Gue cari yang lain."

Studi kasus 1 :

Ada kenalan gue. Keluarga dengan 3 anak. Suami bekerja. Istri sebagai ibu rumah tangga. Lalu suami meninggal, dan istri belum pernah bekerja sebelumnya. Akhirnya istri dan anak-anak pulang ke rumah orang tua istri, keluarga suami tidak membiayai apa-apa (ingat, dalam Islam, anak yatim itu jadi tanggungan keluarga bapak lho), istri dan anak-anak dihidupi oleh orang tua istri. Seluruh anak masih sekolah, dan istrinya have no idea gimana cara cari uang untuk hidup karena belum pernah bekerja sebelumnya.


Studi kasus 2 :

Ari adalah anak tunggal. Bapak meninggal ketika Ari SMA. Ibu Ari adalah PNS. Setelah Bapak meninggal, Ibu tetap dapat menghidupi Ari dan dirinya sendiri hingga Ari bisa lulus kuliah.


Poin diskusi :

Tiap mengenang topik bahasan ini, gue selalu percaya bahwa pemahaman itu dapat berubah, asal orang yang bersangkutan memiliki sikap yang open minded.

Percaya ga percaya, dulu bangeeeet tadinya Ari ga mau punya istri yang kerja di luar rumah. Lucu ya, padahal dia dibesarkan oleh ibu yang jadi single parent dan mungkin dia saat itu belum kepikiran bahwa hal tersebut bisa terjadi kepada siapa aja dan kapan saja. Makanya suka gue ledekin kalau minta traktir, ("Katanya istri ga boleh kerja, tapi diminta traktir..").

Tadinya, gue juga sengotot itu HARUS dibolehkan kerja. Tapi setelah menggali lebih dalam berdua, kenapa gue merasa harus banget dibolehkan kerja, adalah karena gue ga dibiasakan meminta apa-apa sejak kecil. Gue merasa harus berdaya dan mandiri, termasuk secara ekonomi. Apalagi gaji gue sebelum nikah itu nyaris 2x UMR Kota Bogor, sultan banget lah pokoknya, dan ga mau aja abis nikah cuma minta uang doang ke suami ketika ga boleh kerja.

Tapi setelah diskusi panjang berhari-hari (ini serius, sampai berhari-hari), terdapat beberapa poin yang akhirnya disepakati :

  • Nafkah keluarga adalah kewajiban suami, terutama untuk kebutuhan primer dan sekunder (ingat, kulineran cantik bukan kebutuhan sekunder, apalagi primer)
  • Khadijah binti Khuwailid adalah wanita terhormat dan pedagang sukses di Mekkah. Hartanya habis tak bersisa untuk mendukung Rasulullah dan memperjuangkan Islam di awal-awal masa kenabian.
  • Istri-istri dan puteri-puteri Rasulullah juga banyak diriwayatkan bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya serta untuk bersedekah dan membantu yang membutuhkan
  • Gue (ketika nanti jadi istri) tetap boleh kerja untuk aktualisasi diri; dan juga Ari kenal gue banget, Ari tau gue bisa spaneng kalau monoton mengerjakan kegiatan domestik setiap hari
  • Karena mencari nafkah bukan kewajiban gue, maka apapun kerjaan gue nanti jangan yang sampai sore banget baru selesai/pulang ke rumah, serta waktu dan tenaga udah habis dipakai untuk bekerja
  • Mendidik anak dan melayani suami tetap merupakan kewajiban istri (mendidik anak tugas berdua sih, nanti dibahas di poin tentang anak dan pendidikan anak ya)
  • Cari pekerjaan/aktivitas yang bikin surga rasanya lebih dekat
  • Ga boleh kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa
  • Menghasilkan uang bukan cuma dengan cara kerja kantoran. Maka dari itu bagi warga yang suka mantengin story IG/wassap gue dan beberapa kali sering menemukan gue sedang jualan, itu merupakan penerapan dari poin diskusi yang ini.

FYI kantor gue yang lama itu (yang gaji gue hampir 2x UMR itu) toxic banget, udah gitu lokasi kerjanya juga jauh, ilmu kuliah gue ga banyak yang kepake di sana, serta posisi gue terlalu strategis dan terlalu jago segala-gala sehingga dimintain kerja macam-macam, pindah-pindah bidang dan jam kerja gue juga agak gila. Gue sampai di rumah ga jarang cuma numpang tidur, mandi, sarapan. Saking toxicnya, gue bisa 3 hari dalam seminggu ngobrol sama Ari isinya ngemaki-maki suasana kantor doang, ya entah itu orang-orangnya ngaco lah, ya sistemnya ngaco lah, dan sederet keluhan lainnya.

Bagi gue dan Ari, ini masuk dalam katagori "kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa". NO DEBAT.

Untuk poin kerja di tempat yang malah nambah-nambahin dosa ini ga ada opsi lain selain OUT DARI KANTOR LAMA.

Tiap bahas prerequisite kerja ini gue ga pernah ga terharu sama rencana Allah. Memang ya mungkin kalau sudah sampai waktunya harus menikah, tiba-tiba yang kayak begini gampang aja solusinya.

Di tengah gue galau nyari kerjaan lain, tiba-tiba lamaran yang gue kirim sejak 2017 mulai kelihatan hilalnya (itu kondisinya lamaran udah setaun ga ada kabar). Tiba-tiba lolos ke tahapan seleksi berikutnya. Dan lolos lagi ke tahapan berikutnya. Sampai akhirnya gue diemail bahwa keterima kerja di kantor yang sekarang, bahkan sejak 2 bulan sebelum kontrak kerja di kantor lama gue habis.

Detail waktunya juga bener-bener hanya Allah yang bisa merencanakan. Ga mungkin ini konspirasi manusia.

Tanggal 28 Februari 2019 adalah hari terakhir kontrak kerja di kantor lama. Tanggal 1 Maret 2019 diminta ke kantor baru untuk tanda tangan kontrak kerja.

See?

Kadang kalau udah jalannya buat nikah mah suka ada aja yang kayak gitu.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Baru-baru ini, gue menghadiri (via zoom) kajian tentang fiqh wanita yang bekerja (dan Ari ikut nguping). Terdapat beberapa poin yang bisa dijadikan tambahan sudut pandang, di antaranya :

  • Ketika "Tetap bekerja" dijadikan syarat untuk menikah, maka bisa dipastikan ketika ga boleh bekerja maka nikahnya ga jadi, sehingga suami tidak boleh melarang istri bekerja (case gue adalah ini ya btw)
  • Ketika istri bekerja, maka ada waktu yang seharusnya digunakan untuk melayani suami tapi malah dipakai untuk bekerja, sehingga ada hak suami yang harus ditunaikan dari penghasilan kerjaan tersebut (dan Ari langsung minta gofud dong, wkwkwkwkwk)
  • Jika pekerjaan kita butuh keahlian khusus yang tidak mudah dipelajari, maka pekerjaan tersebut menjadi sangat bermanfaat untuk umat (misal dokter spesialis, ilmuwan/peneliti)
  • Jika pekerjaan kita akan memudahkan muslimah-muslimah lain dalam menjaga diri, maka pekerjaan tersebut juga bermanfaat (misal dokter kandungan, bidan, salon muslimah)
  • Jangan bekerja di tempat-tempat/aktivitas yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya (misal riba, prostitusi, menipu/mencuri)
  • Bekerjalah di tempat yang membuat kita tetap dapat berhijab dengan baik
  • Bekerjalah di tempat yang memungkinkan tidak terjadinya khalwat

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Untuk menjawab pertanyaan yang mungkin akan terlintas dalam topik-topik yang akan datang, seperti..

"Kenapa acuannya ujung-ujungnya ke Allah/kisah Rasulullah/para sahabat/fiqh?"

Jawabannya adalah : Karena salah satu tujuan gue dan Ari dalam menikah adalah masuk surga sekeluarga, sehingga kami merasa perlu untuk menyesuaikan langkah-langkah di kehidupan ini dengan guidance dari sang pemilik surga. Juga kami merasa perlu untuk mencari reference dari aktivitas-aktivitas para manusia mulia yang sudah terjamin punya kavling di surga.

Mau sidang skripsi aja penelitiannya butuh reference, ya masa mau masuk surga ga se-effort sidang skripsi.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kurang lebihnya seperti itu.

Insya Allah akan disambung di lain waktu :)

Minggu, 04 April 2021

Pre-Marriage Journey [Part 1 : Introduction, Disclaimer, Newbie Tips, Bonus Tips]

Introduction :

Di tengah adanya aturan tak tertulis mengenai usia menikah sebaiknya ketika umur masih kepala 2. Di tengah teman-teman perempuan gue yang mulai worry karena disuruh nikah terus sama keluarga. Di tengah teman-teman laki-laki gue (dan teman-teman Ari, karena basically teman kita ya itu-itu lagi) masih banyak yang clueless tentang menikah..

Gue dan Ari menikah di atas usia 25 tahun. Usia gue saat menikah adalah 26 tahun lebih banyak, sedangkan Ari adalah 27 tahun kurang dikit.

Dengan background kami yang berteman sejak kuliah (pas SMA cuma tau-tauan doang) serta tanpa pacaran uwu-uwu ala remaja, cukup banyak yang bertanya ke gue yang intinya, "Dil, gimana caranya lu bisa yakin sama Ari?".

Dan jawaban gue selalu sama, "Ya dibikin yakin lah". Caranya gimana? Kalau gue adalah menginterogasi (karena topiknya lebih berat daripada sekedar 'wawancara') Ari tentang banyak hal.

Ketika kemodusan Ari bertambah busuk dan terlalu obvious, gue nekat nanya "Ini maksudnya apa?". Ya daripada chatting-nya berdua tapi ngarepnya sendiri kaaaan. Wkwkwkwkw. Long story short, intinya dia berencana ke hubungan yang lebih serius dengan gue.


Disclaimer :

Gue bukan expert di bidang ini. Usia menikah gue dan Ari juga baru setara kuliah 3 semester. Di tulisan ini gue memposisikan diri sebagai teman yang kebetulan-udah-nikah-duluan dan alhamdulillah selama usia pernikahan yang 3 semester ini kami berdua ga pernah mengalami ribut panjang yang berlarut-larut karena perbedaan prinsip yang mendasar (karena hal-hal tersebut sudah disepakati dan disamakan cara pandangnya di tahap interogasi).

Lah emang usia pernikahan yang baru 3 semester bisa berantem hebat? Bukannya sedang sayang-sayangnya karena baru nikah? Faktanya, dari list pertemanan gue aja, sudah ada 3 orang kenalan gue yang bercerai di umur pernikahan yang yaaaa setara 3 semester ini.

Cerita Pre-Marriage Journey ini niatnya membantu memberi bayangan bagi teman-teman yang mau menikah tentang kira-kira apa aja ya yang sebaiknya dipastikan sebelum menikah. Pertanyaan dan diskusi ini juga semoga bisa menambah sudut pandang bagi teman-teman. Kalau ada yang baik, datangnya dari Allah (kalau ada yang ngaco ya namanya juga manusia tempatnya salah dan dosa).

Pertanyaan-pertanyaan interogasi serta brainstorming ini bukan berarti harus plek ditiru. Enggak. Ga gitu konsepnya. Pertanyaan-pertanyaan ini adalah hal yang gue merasa harus dipastikan karena berkaitan dengan prinsip serta ngaruh banget untuk teknis hidup berumah tangga (dan kewarasan gue) ke depannya, dan ini bisa berbeda-beda untuk tiap orang.

Hal yang sama untuk jawabannya.

Kalau case gue, gue mau lihat bagaimana pandangan Ari terhadap sesuatu. Bukan semata-mata jawaban benar-salah, tapi lebih kepada apa sih pedoman Ari dalam memandang sesuatu? Apa sih reference dia dalam mengambil keputusan?

Teori dasarnya jelas, bahwa kita ga bisa memberikan hal yang kita ga punya. Teko berisi kopi, ya saat dituang nanti akan keluar kopi. Sehingga dari jawaban-jawaban yang diberikan Ari akan terlihat mengenai apa sih yang ada di kepalanya tentang sesuatu.

"Susah beneeeeer, mau nikah doang aja sampai kayak gitu"

LAH YA IYA DONG

Kalau menikah diibaratkan dengan setengah agama, disebut-sebut sebagai ibadah terlama, ya masa proses menuju ke sana-nya asal-asalan? Beli pepaya di pasar aja milih dulu, masa calon pasangan ga dipilih?


Newbie (karena umur pernikahan gue baru setara kuliah 3 semester) tips :

1. Pertanyaan-pertanyaan ini sebaiknya ditanyakan sebelum baper dan rasa ngarep itu muncul. Kenapa? Agar mudah untuk meng-cut semisal ada poin-poin yang tidak bisa dikompromikan.

Di kasus interogasi-no-baper ini bagi orang yang sebelumnya ga pacaran maka akan lebih mudah hidupnya, karena ga ada tuh istilah "Tanggung ih udah 5 taun pacaran" atau "Duh ortu  kita udah kepalang kenal" atau "Duh, gue udah deket sama nyokap/kakak/adiknya". Jadi ga bias penilaiannya.


2. Buka nurani dan perhatikan red flag

Jangan ragu nge-cut kalau ada satuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuuu aja hal kecil yang mengganjal berhari-hari. Gue pernah menghempas seorang lelaki karena dia ga bayar pajak motor bertahun-tahun plus lampu belakang motornya mati. Buat gue, itu ga sesuai dengan value yang gue pegang (gue anaknya safety first banget lah, namanya juga anak pabrik). And now I'm happy with that. Laki-laki yang dimaksud di atas, sekarang ga jelas sih kerjanya apa dan gimana idupnya.


3. Numbers can't lie

Dalam tahapan interogasi nanti bisa ajukan beberapa poin pertanyaan yg butuh data/angka untuk menyelesaikannya (misal target tabungan nikah, atau rencana keuangan/tabungan jangka pendek-menengah-panjang). Kalau doi sepik doang asal nyebut "Taun depan" or "Dua taun lagi" or "Lima taun lagi" or asal sebut lainnya tanpa ada dukungan data yang jelas, maka bagi gue yang sangat saintifik ini sudah jelas..

HEMPASKAAAAN.


4. Percaya sama pola

Maksudnya gimana? Misal selalu janji mau berenti ngerokok tapi ga berenti-berenti? Atau justru janji mau berenti ngerokok abis nikah? Halah #taiucing. Udah ketahuan itu polanya, janji doang, masa masih ga percaya sama pola yang udah jelas gitu.

Bukan berarti kita anggap kata-katanya semua janji doang ya. Tapi ayo kita lihat polanya. Misal sebelumnya ngerokok 5x sehari abis selesai shalat (gimana sih kok ngerokok abis shalat, wkwkwkwk), trus dia berusaha mengurangi, biasanya jadi 4x sehari, kadang jadi 3x, tapi kadang banget kalo hangout sama temannya kelepasan bisa 5x lagi. Kan dari situ kita bisa lihat bahwa dia sebenarnya niat berubah meski dikit-dikit (dan ingat, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit).

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Ya ujung-ujunganya semua keputusannya kembali diserahkan kepada teman-teman sekalian kok.. ini mah judulnya brainstorming doang.


Bonus tips beberapa alternatif pertanyaan pembuka untuk perempuan yang merasa harus memperjelas suatu kondisi tapi doi kok ga kunjung ngomong apa-apa :

(Disclaimer lagi, gue anaknya agak preman, dan waktu itu menanyakan ini ke teman dekat yang sama premannya. Jadi nanyanya tanpa baper dan sambil tetep ketawa-ketawa bego aja.)

"Eh, lu perhatian gini ke gue doang apa ke semua orang juga?"

"Nih yak, umur udah hampir 25. Umur segini dekat sama lawan jenis udah bukan buat nambah-nambahin list mantan kan?"

"Eh, ini tuh ya kita berdua kayak gini, gue ngarep sendiri atau lu ada niatan ke arah biar gue ga ngarep sendiri?"


Kadang perempuan cuma butuh kejelasan hubungan aja ga sih? Tapi kadang laki-laki juga clueless kalau diminta berkomitmen cepat-cepat.

Waktu itu, pernyataan pamungkas gue adalah..

"Kalau lu niat serius, gue juga ga akan minta dinikahin bulan depan kok. Yang penting gue tau dulu kita ini ada apa."

Akhirnya kami baru nikah setelah hampir 2 tahun dari pertanyaan pamungkas itu dan selama 2 tahun itu pula Ari diinterogasi, wkwkwkwk. Untung Ari sabar ya sama gue.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Kenapa perihal kejelasan hubungan ini harus ditanyakan? Cewek masa nanya-nanya kayak gitu..

Yak betuuull!!

Kalo ternyata doi ga ada rasa sama kita, kita jadi ga buang banyak waktu. Kita bisa memperluas lagi jaringan pertemanan, siapa tau ada orang-orang baik (dan qualified serta available) di luar sana yang kita belum pernah ketemu sebelumnya.

(Aku si anak oportunis, wkwkwk)

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Akhir kata, berikut ada quote dikutip dari @kurniawan_gunadi

"Lebih baik gagal di proses daripada gagal di tujuan"


Lalu dimulai lah proses interogasi gue.

:D

~Bersambung

(Plis doakan aku rajin nulis ya)