Rabu, 21 November 2018

What People Talk About When They Talk About Business

Ketika kuliah dulu gue sempat mendapat materi mengenai bisnis, marketing, dan sahabat-sahabatnya. Salah satu dosen berkata bahwa,
"When we talk talk about industry/business/company, then we talk about about profit and money."

Awalnya gue berpikir,
"Ebuset, kapitalis amat."

Tapi dosen tersebut menjelaskan lebih lanjut. Bahwa (semisal) sebuah industri mengajukan sertifikasi FSC (misal nih ya.. misal..), yaaaa berarti ujung-ujungnya industri tersebut dapat mempromosikan produknya sebagai produk yang sudah tersertifikasi sumber kayunya sehingga meng-klaim diri sebagai industri yang lebih 'perhatian' terhadap lingkungan, dan lain-lainnya. Kalau suatu brand mengklaim fair trade, ya berarti produk yang dijual tersebut dipromosikan sebagai produk yang tidak menzalimi produsen, tidak mengeksploitasi tenaga kerja, bahan baku dibeli dengan harga wajar, dan sejenisnya. Serta sertifikasi serta standar-standar lainnya, ujung-ujungnya sih memang ternyata membuat citra baik perusahaan, sehingga customer menjadi loyal.

Hingga pada akhirnya these days kok ya rasanya gue mulai perlu ilmu buat ber-make-up. Kalau ibarat kuliah, gue cuma butuh mata kuliah "Dandan 101, Dasar-dasar Make Up" doang (101 maksudnya adalah mata kuliah di perkuliahan tingkat dasar gitu). Make up ala kadarnya aja, asalkan pantes untuk dibawa marathon kondangan hampir tiap pekan.

Lalu gue mulai mencari-cari kelas make up murah-meriah. Ada beberapa list yang masuk ke dalam pertimbangan gue, salah satunya adalah brand kosmetik muslimah dengan tagline "Halal" dan "Inspiring Beauty", sebut saja brand Mawar.
Hint: Terjemahkan kata 'Mawar' ke dalam bahasa Arab, maka anda akan menemukan artinya bahwa gue bukan asal comot nama kembang.

Brand Mawar ini punya akun IG untuk beauty house-nya yang di Bogor, lalu dengan budimannya gue follow untuk mengetahui jadwal-jadwal dan detail kelas make up-nya seperti apa. Meskipun muka gue selalu jerawatan tiap abis pakai Mawar ini, yaaa setidaknya gue akan dapat ilmu make up-nya lah. Ilmu make up-an yang proper ga apa-apa lah ditukar dengan jerawatan seminggu.

Btw, ada cerita sampingan tentang gue dan brand Mawar ini.
Suatu hari gue mencari bedak favorit gue di sebuah drugstore di mall paling hitz se-Cibinong Raya. Eh etalase brand bedak favorit gue ini sebelahan dengan brand Mawar. Begitu gue mulai mendekat, mulai lah sang SPG Mawar mempromosikan produknya. Merasa ga butuh (lha wong gue ngincer bedak di etalase sebelahnya), gue tolak dong. Eh, si mbaknya pantang menyerah, men, masih terus menerus mempromosikan bedaknya. Lalu karena males, gue bilang lah apa adanya, "Saya selalu jerawatan kalau pakai brand Mawar buat di muka. Saya cuma cocok sama minyak wanginya doang."

Daaaaaaaaan..
Tebak apa yang dikatakan si mbak SPG-nya..
"Mbaknya cuci muka ga bersih, kali.."
Amsyong.
Ingin ku berkata kasar.
Makin-makin lah gue ogah beli brand itu.

Kembali ke "Dandan 101, Dasar-dasar Make Up"
Dengan tagline "Halal" yang diusung, wajar dong kalau gue berpikir brand ini sangat Islami. Mulai lah gue mantengin IG beauty house-nya. Hingga pada akhirnya, ada story mengenai kelas make up yang dilaksanakan pada hari itu. Ketika gue cek..
Jeng.. jeng.. jeng..
Ada foto orang-orang yang sedang berdandan.

Mau lebih dramatis?
Mana ada sih orang berdandan pakai jilbab lengkap?

Itu lah horor story versi gue.

Lalu gue berusaha mengamalkan surat Al-Ashr dong, menasihati dalam kebenaran dan kesabaran. Gue reply lah story tersebut, gue mengatakan bahwa ada aurat saudari kita yang terbuka di story itu dan harapannya admin dapat lebih bijak dalam mengepos sesuatu di sosmed. Message gue sih dibaca, tapi story itu tetap tidak dihapus oleh adminnya. Meskipun hilang dalam 24 jam, but it does matter kalau bagi gue mah.

Finally, what DO people talk when they talk about business is : Profit.
No doubt.
They don't really care whether aurat saudarinya terbuka atau tidak.
Lalu gue mendadak hilang minat dengan beauty class, biarlah dandanan gue tiap kondangan gini-gini aja. Gue lebih memilih menjaga apa yang harus gue jaga.

Simpulan:
Pada akhirnya, cantik adalah titipan. Tugas kita adalah menjaga titipan ini dengan cara yang baik dan sesuai dengan tuntunan yang lebih fundamental yaitu Al-Quran dan Al-Hadist.

Epilog:
Lalu gue meng-unfol akun IG beauty house tersebut pada akhir Agustus 2018 karena akun ini memajang begitu saja foto-foto muslimah sedang ber-make up sambil lepas jilbab di acara make up class lainnya (itu dipost di feed btw, bukan di story seperti kasus sebelumnya). Sampai saat ini gue belum mem-follow lagi dan mohon maaf jika ternyata keadaan saat ini sudah tidak seperti di akhir Agustus lalu. Sesungguhnya tulisan ini bukan berniat untuk pencemaran nama baik, melainkan hanya menulis keresahan semata, bahwa ternyata apa yang kita anggap penting belum tentu jadi penting buat orang lain.

Selasa, 02 Oktober 2018

When People Determine about How Should a Bride Look Alike

Kadang gue suka bingung dengan kata-kata orang ketika datang ke suatu acara nikahan dan melihat mempelai wanitanya,
"Ih, pangling. Cantik ya."

Pangling
pang.ling
Verba : tidak mengenali lagi

Cantik
can.tik
Ajektiva : elok, molek (tentang wajah, muka perempuan)

Dengan adanya kata-kata ini, gue jadi punya beberapa pemikiran lebih lanjut.
Kondisi 1 : Si manten tidak dikenali (pangling).
Kondisi 2 : Si manten cantik.
Simpulan : Kalau si manten menjadi apa adanya dia (dikenali), berarti dia ga cantik.

Am I right?

Gue pribadi kadang suka ga abis pikir dengan salon/MUA yang mendadani manten sehingga menjadi oh-men-buset-itu-jauh-amat-sama-orang-aslinya. Orang-orang rasanya punya standar cantik yang sama untuk pengantin wanita:
  • Putih (masa bodoh dengan muka yang putih tapi warnanya belang dengan leher),
  • Alis dengan sudut dan ketebalan tertentu (yang alisnya terlalu tebal jadi banyak yang dicukur, padahal bukannya ga boleh oleh agama?),
  • Pipi dengan ketirusan tertentu,
  • Warna iris yang bukan hitam (meeeen, kita orang Asia Tenggara, warna kulit sawo matang tapi warna mata abu-abu cerah kan agak maksa ya?).

Padahal kan kalau kata Cherrybelle mah,

"..You are beautiful,
Beautiful,
Beautiful,
Kamu cantik, cantik, apa adanya.."

Pertanyaannya, siapa sih perempuan yang ga mau dibilang cantik?
Semua pasti mau kan?

Pertanyaan berikutnya,
Mau ga sih kalau dibilang cantik tapi karena ga mirip kita?
Kalau gue kok lebih bahagia dibilang cantik aja, tanpa mirip siapa-siapa.

Terkait dandan-dandanan nikah, gue juga akhirnya jadi punya kriteria mau yang seperti apa. Hal terbesarnya adalah gue mau kok jadi cantik, asalkan cantik itu tetap terlihat seperti gue.

Pada akhirnya, setelah iseng-iseng buka akun IG banyak MUA dan banyak banget yang hasinya lebay, gue jadi menentukan sendiri beberapa kriteria mengenai "How I Want To Be on My Wedding Day", di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Jilbab menutupi dada
Tanpa tapi.

2. Warna bedak yang tidak terlalu putih
Gue sadar dengan sepenuh hati bawa warna kulit gue adalah sawo yang kelewat matang. Lagipula, koplak ga sih ketika tangan gue warnanya macam tangan-driver-ojol-yang-sering-bawa-motor-di-jalan-dan-lupa-pakai-sarung-tangan, tapi mukanya putih?

3. Bentuk alis yang natural
Ga kayak ulat bulu yang terlalu tebal di depan (karena bagi gue alis model gitu 'palsu' banget dan jadi aneh). Ga dicukur-cukur juga, alis gue udah ngepas jadi ga usah lah dicukur lagi. Alis gue memang agak terlalu tipis di bagian pinggir, but what's wrong with that?

4. Lipstick yang ga kayak orang abis makan gorengan
Dilap dulu ya, ceu, kalau abis makan gorengan.
Apa purpose-nya coba ya pakai lipstick macem orang yang abis makan gorengan gini?

5. Tidak menggunakan heels yang terlalu tinggi
Gue bahkan punya preferensi sendiri yaitu wedges dengan tinggi maksimal 5 cm. Makin teplek, makin baik.
Why?
Karena tinggi gue sudah 165 cm.

Apakah ga aneh kalau ada mempelai perempuan pakai sepatu teplek di hari pernikahannya?
Let's be realistic.
What's the purpose of wearing heels? Untuk terlihat tinggi kan?
Gue sudah cukup tinggi. So, what else?

Besides, I just want to be comfort in my big day.
Gue ga nyaman pakai heels yang terlalu tinggi. Gue hanya ingin menikmati hari pernikahan gue tanpa perlu terlalu banyak memusingkan kaki yang pegal karena sepatu yang tidak nyaman.

Dan hal paling pentingnya adalah..
6. Gue mau pakai kacamata
Jangankan disuruh pakai contact lens, pakai obat tetes mata aja gue hampir selalu berkedip sepersekian detik sebelum cairannya masuk mata. Lagipula, mata gue ada minus dan silindrisnya. Minusnya besar pula. Setahu gue, kedua hal itu bukanlah kombinasi yang baik untuk harga sepasang softlens. Daripada ga bisa melihat dengan nyaman di hari bahagia, lebih baik gue pakai kacamata aja kayaknya.

"Softlens-nya bukan buat minus keleees, tapi buat warna mata yang beda."
Yakali. Terus gue melihat sepanjang hari dengan pandangan kabur-membayang?
Gue sih ogah.
Terima kasih.
Selaput pelangi mata saya warnanya sudah coklat kok dari dulu.
At the end, I just wanna be myself, dan gue rasa kacamata adalah salah satu ciri yang gue banget.

Simpulan barokah:
Ayo cari MUA/salon mana yang mau memfasilitasi customer banyak mau macem gue.
:)

Sabtu, 28 April 2018

The Whole Package

"Dilepehin sama perempuan itu selalu lebih sakit daripada ditolak kerja."
..
"Kalau ditolak kerja, kita mikir bahwa pendidikan kita gak cukup baik untuk perusahaan itu. Atau kualifikasi kita gak cukup untuk perusahaan itu. Hanya satu aspek dari kita yang gak cukup bagus. Pendidikan. Lainnya, kita masih bisa bangga kepada diri kita."
..
"Ketika ditolak seseorang, itu pusing. Soalnya orang cari jodoh kan ngeliat the whole package. Agamanya, kelakuannya, values yang dipegang, pendidikannya, materilnya. Ketika ditolak, yang terasa adalah this whole package.. gak cukup."
.
Cakra, dalam Sabtu Bersama Bapak, karya Adhitya Mulya.

Beberapa hari lalu, gue sempat dibuat kesal dengan seorang teman kantor yang memang terkenal menyebalkan. Beliau sudah berumur dan belum menikah. Dan seringkali kalau beliau sedang menyebalkan itu gue kasihan..


..due to  her whole package (seems) not enough.


Wallahu'alam bisshawab.

Selasa, 06 Februari 2018

#MatahariAkar [Split Bill]

Es krim: Dingin di lidah tapi hangat di hati #CaptionTidakNyambungDenganJudul

Ada suatu budaya di Jepang yang cukup membuat gue terkedjoet saat pertama kali mengetahuinya yaitu budaya untuk split bill (pisah tagihan) ketika makan di tempat makan. Di Indonesia, hal ini sepertinya ga umum, bahkan gue belum pernah menemukannya. Sekalinya sok ide mau makan tapi bayarnya split bill (ketika sepulang dari Jepang) eh malah ga boleh sama si kasirnya. Sedih dah emang.

Tapi di Jepang, misal makan bertiga, ketika selesai makan itu kita bertiga cukup bersama-sama menuju ke arah kasir lalu ngomong,
"Betsu-betsu"
Artinya kurang lebih seperti "(Bayarnya) dipisah". 

Kasus split bill ini adalah hal yang sangat umum dilakukan. Gue pernah makan berama-ramai sekitar 8 orang bersama teman-teman Indonesia di Jepang, dan restorannya tidak keberatan ketika kami minta agar split bill. Jadi ketika sudah kelar makan ya satu-satu antre di depan kasir buat bayar makanan apa yang dipesan. Mungkin budaya split bill ini adalah salah satu dampak dari orang-orang Jepang yang jujur, jadinya ga ada yang ngibul makan makanan mahal tapi menyebutkan menu murah ketika bayar. Mungkin juga ini dampak dari budaya orang Jepang yang cenderung mandiri dan ga mau merepotkan orang lain, makanya ga enakan ketika dibayarin orang lain.

Maafkan gue yang mulai sotoy.

Satu hal yang gue terkaget-kaget dengan split bill ini adalah orang pacaran aja makannya juga split bill. We-O-We. Seru amat ya jadi cowok di Jepang, ga perlu bayarin makanan ceweknya. Hahaha..

Sepulang dari Jepang ini gue jadi punya kata-kata pamungkas untuk menolak dibayari oleh orang lain.
"Orang pacaran di Jepang aja makannya split bill kok. Bayar sendiri-sendiri."

Meskipun akhirnya ada satu orang yang menjawab,
"Ini kan bukan di Jepang."

Dan tak lama, ada senyum yang tak bisa disembunyikan.