Minggu, 31 Desember 2017

Sesuatu Mengenai Pekerjaan dan Tempat Di Mana Kamu Bekerja

"Jangan meludah di sumur yang airnya kamu minum."
Kusumah ASW, 2017.

Kisah 1
Pekan terakhir di 2017 ini gue habiskan dengan agenda audit eksternal kantor pada tanggal 26-28 Desember. Sejak akhir November gue sering banget lembur demi mengurus kelengkapan berkas audit. Audit ini diminta oleh salah satu customer sebagai pertimbangan untuk kelangsungan order tahun depan. Jika hasil auditnya bagus, maka besar kemungkinan order akan bertambah. And maybe, vice versa.

Sedihnnya, ternyata hasil audit kemarin tidak sesuai ekspektasi. Ada banyak temuan selama audit, sampai-sampai gue aja bingung tamu yang datang itu sebenarnya auditor atau penemu *ga lucu, Dil, sumpeh*. Secara kelengkapan berkas sih overall baik-baik aja, tetapi auditornya melakukan random sampling dan memanggil beberapa puluh karyawan untuk diwawancara . And here the story goes..

Perusahaan tempat gue bekerja itu duluuuuuu banget peraturannya shantay kayak di pantay. Karyawan bisa lembur kapan aja, which bekerja pada jam lembur itu dibayar lebih banyak daripada bekerja pada jam kerja biasa. Setelah berganti GM jadi yang sebelum sekarang, mulailah hal-hal macam itu diperbaiki. Perusahaan jadi lebih sehat secara bisnis, tapi ga sehat bagi pendapatan sebagian karyawan yang sebelumnya sangat mengandalkan kondisi bisa lembur kapan aja.

Singkat cerita, dari beberapa puluh karyawan yang kena random sampling oleh auditor itu (entah berapa banyak) ada yang malah jadi curhat kebablasan-tapi-salah-tempat-dan-malah-ngomong-ke-sana-ke-mari tentang betapa perusahaan sekarang begini dan begitu. Mereka membandingkan dengan kondisi di masa-masa lampau di mana mereka bisa dapat hak-hak dengan terlalu bebas dan kesimpulan besar auditor adalah peraturan perusahaan jaman now itu mempersulit karyawan untuk mendapatkan haknya. Sesungguhnya pada kondisi sekarangpun hak-hak yang katanya sulit didapat itu sebenarnya bisa didapat, cuma tentu saja dengan menyertakan beberapa kewajiban berupa syarat-syarat berkas yang harus dipenuhi, agar bisa diverifikasi dan divalidasi. Walhasil ya gitu deh. Bahkan sempat terlontar kata-kata yang setara dengan "dzalim" selama closing meeting audit.

Selama closing meeting audit kemarin, gue yang udah hampir setahun kerja, baru pertama kali melihat Ibu GM gue kayak gitu. Paduan antara kesel, sedih, bete, dan mau marah. Fyi, gue sangat respek dengan Ibu GM gue. Gue menganggap beliau sebagai paduan antara nyokap dan kakak perempuan. Paragraf ini hanya untuk menggambarkan bawa betapa hasil audit kemarin itu super huft banget lah.

Pada daily standing meeting keesokan harinya, Bu GM memaparkan secara singkat hasil audit sambil cerita juga bahwa beliau kesel, sedih, dan mau marah tapi ga bisa. Sampai-sampai beliau melontarkan kalimat kurang-lebih seperti ini,
"Kalau kalian udah di-training oleh perusahaan, terus merasa jago, merasa bisa, boleh kok kalau mau pindah ke I**o***e*, saya ga larang."

Men..
Denger GM sendiri yang ngomong kayak gitu tuh sedih rasanya. Mekipun gue tau bahwa kalimat itu bukan buat gue, tapi tetep sedih aja dengernya.

Karena gue anaknya gampang tersentuh hatinya (tapi default mukanya jutek, jadi kadang suka ga match gitu), seusai standing meeting itu gue menceritakan kisah selama standing meeting tersebut kepada bapak-(atau lebih tepatnya mas)-sedivisi-yang-duduk-persis-di-samping-gue. Lalu, beliau mengeluarkan suatu kalimat super keren untuk kasus kemarin ini. Kalimatnya sudah gue kutip di bagian teratas tulisan ini.


Kisah 2
Tidak berbeda jauh dengan Kisah 1. Kali ini yang banyak menjadi pelakunya adalah generasi millenials yang paling-paling hanya terpaut 5 angkatan (ke atas dan ke bawah) dari gue.

Sudah bukan sekali-dua-kali gue scrolling timeline dan menemukan keluhan-keluhan mengenai kantor tempat seseorang bekerja. Ya gajinya lah, ya jam kerjanya lah, ya bosnya semena-mena lah, ya teman kantornya cari muka atau nyinyir lah, dan berbagai kondisi lain.

Ada pula momen tidak mengeluh, tapi mengasosiasikan dirinya sendiri menjadi sesuatu yang "Kok itu terdengar seperti ga bersyukur amat sih, Ya Allah". Ya budak korporat lah, ya TKI/TKW dalam negeri lah, dan frase-frase sejenis yang mengindikasikan bahwa yang bersangkutan kok sebegitu ga sukanya dengan pekerjaannya sekarang.


Pembahasan
Maaf kalau gue kurang mumpuni untuk menasihati, tapi salah satu tugas manusia adalah untuk "Saling menasihati dalam kebenaran dan kesabaran" kan? Untuk manusia-manusia macam itu, nasihat gue biasanya cuma dua:
1. Kalau udah ga tahan, sono keluar dan cari company lain.
2. Tapi kalau karena satu dan lain hal ga mau keluar, ya belajar lah untuk sabar dan bersyukur dengan kerjaan yang ada sekarang.

It sounds basi sih, tapi (hampir) pasti akan ada orang yang mau dengan senang hati menempati posisi kerja lu sekarang dengan gaji yang segitu, dengan jam kerja yang begitu, dengan bos kayak gitu. Ga percaya? Coba aja tanyain kepada para job hunter yang aktivitas sehari-harinya keluar-masuk jobfair.

Ada kita yang capek, kesel, dan sebel dengan kerjaan kita sekarang. Tapi percayalah bahwa ada orang yang capek, kesel, dan sebel karena udah ngelamar kerja ke sana ke mari tapi belum tembus-tembus juga.

Jangan meludah di sumur yang airnya kamu minum.
Jangan menjelek-jelekkan perusahaan yang jadi sumber nafkah kita. Apalagi kalau menjelek-jelekannya ke orang lain di luar perusahaan, atau di sosmed, atau malah ke auditor.

Dengan menulis ini bukan berarti gue ga pernah mengeluhkan sesuatu tentang kantor tempat gue bekerja. Gue mengeluh, tapi gue pilih-pilih orang buat cerita. Gue ga cerita ke semua orang. Gue juga ga cerita di sosmed (sori nih, gue selalu menganggap blog bukan sebagai sosmed, hehe).

Lalu kalau sudah begitu ya seperti ketika gue menasihati orang lain, gue juga menasihati diri sendiri. "Sono gih buka-buka web lowongan kerja kalau udah ga betah sama kerjaan sekarang. Kalau belum nemu kerjaan yang pas, yaudah diem, kerja aja yang bener, jangan ngeluh melulu."

Sebagai muslim, kadang kita (gue) suka lupa bahwa ada sesuatu yang (insya Allah) bernilai abadi di dunia ini. Ikhlasnya kita, ikhtiarnya kita, tawakkalnya kita, syukurnya kita, sabarnya kita, itu nilainya (insya Allah) abadi dan akan dibalas dengan hal baik pula. Sebaliknya juga gitu, kufurnya kita, mengeluhnya kita, males-malesannya kita sehingga makan gaji buta, itu juga nanti akan dimintai pertanggungjawaban, naudzubillah.
Iya kan ya?


Simpulan
(Nah, ini nih bagian tersulit bagi gue tiap nulis blog)

Biasanya simpulan tulisan gue sudah bisa didapatkan dari judul atau kalimat-kalimat di awal tulisan. Simpulan tulisan kali ini adalah kutipan dari teman kantor gue di atas. Sila scroll lagi ke atas untuk menemukannya.


Epilog
Anyway, tulisan terakhir gue di tahun 2017 ini ada kemajuan ya. Topiknya (alhamdulillah) 'bener'.
Hehehe.

Cheers!!
:)

Sabtu, 18 November 2017

Lebih Baik Sakit Hati

Mungkin Meggy Z ketika dahulu menggubah lagu "Lebih Baik Sakit Gigi" belum pernah merasakan tumbuh gigi bungsu sebelah kiri, atas dan bawah sekaligus. Lalu pipi bagian dalam beberapa kali tergigit tak sengaja selama proses tumbuhnya kedua gigi itu dan sekarang malah sariawan dua buah.

Kalau bagi gue,
"...
Daripada sakit gigi,
Lebih baik sakit hati ini,
Biar tak mengapa
..."

Setelah gue analisa, ada hal menarik di balik mengapa gue memilih untuk lebih baik sakit hati.

(Anyway, sebagaimana pernah gue paparkan sebelumnya, semenjak tinggal di Jepang gue jadi memiliki hobi untuk memikirkan hal-hal yang "Plis deh, Dil, lu mikirin hal begituan?". Beberapa hal ini biasanya remeh dan berujung pada hal bermutu. Akan tetapi, sangat banyak sisanya merupakan hal remeh yang menjadi tetap remeh, hahaha. Luckily, topik ini agak berbobot lah buat dibahas. Ga remeh-remeh amat.)

Jadi gini, satu hal besar yang gue pelajari selama setahun tinggal di perantauan adalah bahagia itu datangnya dari hati dan pikiran, vice versa. Dua hal paling memungkinkan yang bisa dikontrol oleh manusia adalah hati dan pikirannya. Seriusan deh. Sehingga, apa-apa yang ada di hati dan pikiran itu supposed to be bisa dikondisikan.

Contoh mudahnya, kita bisa memilih untuk #bahagiaitusederhana dengan siapa, kita bisa memilih untuk melapangkan hati kepada siapa, kita bisa memilih untuk memaafkan siapa, kita bisa memilih untuk tetap optimis atau enggak, and so on. Berlaku sebaliknya, kita bisa juga kesal kabina-bina dengan seseorang padahal kesalahannya sepele banget.

Akar masalah dari sakit hati itu biasanya ga banyak. Salah satu alasan besarnya adalah kecewa. Nah kenapa seseorang bisa kecewa? Secara sotoy, gue mendefiniskan kecewa sebagai gap antara ekspektasi dengan realita. Biasanya ekspektasinya lebih tinggi daripada realita, makanya kecewa.

Kalau kita sakit hati karena ada orang ngomongnya nyelekit, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa si orang itu ngomongnya ga nyelekit. Kalau kita sakit hati karena diomongin di belakang, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa kita ga diomongin di belakang. Kalau kita sakit hati karena dibaikin eh taunya dia ga naksir kita, berarti awalnya kita berekspektasi bahwa dia baik karena dia naksir sama kita.

Jadi sebenarnya, salah satu obat untuk sakit hati yaitu jangan ngarep.
Atau lebih spesifiknya, jangan ngarep sama makhluk. Kalau mau ngarep, sekalian aja lah kepada Sang Tempat Berharap.

Sehingga pada akhirnya, sakit hati itu bisa perlahan menghilang kalau kita belajar untuk tidak ngarep, belajar untuk mencoba menerima keadaan, belajar mencoba melapangkan hati, dan belajar mencoba bersyukur. Semua hal-hal itu bisa kita kondisikan. Semua hal-hal itu bisa selesai hanya dengan 'bermodalkan diri sendiri'.

For short, luka nonfisik semacam sakit hati ini adalah luka yang tak perlu ada. Luka nonfisik adalah luka yang bisa kita kondisikan. Luka nonfisik ini adalah luka yang tak perlu ada jika hati dan pikiran kita dapat terkondisikan dengan baik.

Nah, bagaimanakah kasus untuk luka fisik (dalam kasus gue adalah sakit gigi dan sariawan selama hampir seminggu)?
Biar mudahnya, bagi gue, luka fisik ini adalah luka yang memang perlu ada. Luka fisik ini adalah luka yang ga bisa kita kondisikan apakah mau sakit atau enggak, apakah mau berdarah atau enggak, apakah mau cepat sembuhnya atau enggak.

Karena luka fisik ini punya banyak variabel, maka akan ada variabel yang bisa kita kontrol dan ada yang enggak. Contoh gampangnya gini, adakah hubungan antara pemberian obat merah dengan kecepatan sembuh luka? Apakah semakin banyak kita memberikan obat merah maka luka juga semakin cepat sembuh? Kan enggak juga. Yaaaa, mungkin ada sih, tapi sepertinya ga berlaku secara matematis. Misal kita teteskan obat merah 4 tetes tiap hari, maka luka sembuh dalam 4 hari. Nah, jika kita teteskan 8 tetes per hari, apakah akan sembuh dalam 2 hari? Atau ketika kita siramkan sebotol maka langsung sembuh? Kan belum tentu. Maka dari itu gue bilang bahwa luka fisik ini adalah luka yang memang perlu ada dan hal menyebalkannya adalah kita ga bisa kontrol. Luka fisik ini adalah luka yang kita tidak punya power atas hal itu. (Atau sebenarnya kita punya power, yaitu sebatas memperkecil kemungkinan terjadinya luka itu).

Pada dasarnya, manusia itu senang ketika punya power. Bahkan, dari sebuah buku yang pernah gue baca, tombol untuk menutup pintu di lift itu sebenarnya ga ada gunanya. Tombol untuk membuka pintu lift lebih lama itu ada gunanya, of course. Manusia senang ketika menekan tombol itu dan merasa punya power untuk menahan agar pintu lift terbuka lebih lama. Tapi tombol untuk menutup pintu lift itu semata-mata didesain untuk kesenangan manusia. Manusia merasa senang ketika merasa punya power dan berhasil membuat pintu lift menutup saat menekan tombol itu, padahal si pintu lift itu hanya mengerjakan tugas alaminya untuk menutup, dengan atau tanpa tombol itu ditekan.
Yeah, you've being fooled, human. Lol.

Sehingga,
Gue sadar bahwa gue ga punya power untuk mengendalikan syaraf reseptor rasa sakit di gusi gue untuk ga bekerja dulu selama beberapa saat agar gue tidak sakit.
Tapi gue merasa punya power atas hati dan pikiran gue, maka dari itu gue memilih untuk lebih baik sakit hati.
:)

Selasa, 03 Oktober 2017

Cari Aman

Cari aman adalah frasa yang sangat sering gue temukan semasa SMP dan SMA dahulu. Frasa ini lazim muncul pada kegiatan ekskul atau kegiatan MOS yang ber-tensi cukup tinggi (anyhow, ekskul gue sejak SMP entah kenapa memang sering ada adegan ber-tensi tinggi, gue juga suka ga paham kok ya mau-maunya ikut ekskul yang tipe-tipenya kayak gini) dan bermakna kurang lebih seperti diam ketika ditanya, karena mostly orang-orang yang menjawab suatu pertanyaan justru malah akan ditanya-tanya dan dicecar lebih lanjut oleh pemegang komando pada saat itu.

Kalau diletakkan dalam adegan-adegan ber-tensi tinggi, bisa jadi kayak gini..
Senior : "Heh, kamu. Jawab! Jangan cari aman!!"
Atau..
Senior : "Eh, ini yang lain ga ada yang mau ngomong, bukan?! Pada cari aman?!"

Tapi di dunia kerja ini gue menemukan bentuk definisi baru dari cari aman, yaitu ngomong panjang tapi ga bermutu, asal ngomong, nambahin komentar yang ga penting/ga relevan dengan topik, untuk cari perhatian ke atasan. Atau yang lebih parah, melakukan itu semua agar kelihatan ada kerjanya.

Dan sesungguhnya, ketemu dengan manusia yang cari aman versi dunia kerja, lebih bikin gue pengen nabok pelakunya.

Minggu, 01 Oktober 2017

These Days

Fa idzaa faraghta fanshab.
Wa ilaa rabbika farghab.
It's just like something that you've dreamed about for three years dan lu sudah bekerja keras untuk hal itu tapi di saat eksekusi ada yang namanya "kuasa Illahi" dan hati lu sangat kacau, mood lu berubah, lalu pada akhirnya lu ga berhasil mendapatkan itu. Honestly, gue cukup jarang memperjuangkan sesuatu sampai sebegininya tapi hasil akhirnya bukan berhasil.

But it's okay.
Life must go on.

Mungkin ini anugerah, gue-nya aja yang masih belum paham.

Next,
Bekerja keras untuk urusan yang lain,
Dan berharap pada Tuhanku.

Salam meletus balon hijau :"

Rabu, 20 September 2017

Rahasia Kecil

Ada satu rahasia kecil (yang dengan dituliskannya post ini maka dia sudah bukan rahasia lagi, hehe) bahwa saya sangat ingin punya pendamping hidup yang bisa memainkan alat musik.

Bismillaahirrahmaanirrahiim.
Semoga dipertemukan dengan yang baik, dengan cara yang baik, aamiin.

Selasa, 15 Agustus 2017

Dekiru

Dekiru ini kata dari bahasa Jepang yang artinya adalah "able to..".Intermezzo sedikit, nama temannya Nobita dan Doraemon, Dekisugi, juga "Deki"-nya berasal dari "dekiru" dan akhiran "sugi" itu untuk kurang lebih artinya "too", atau kalau kata Bang Rhoma mah, ter-la-lu~. Jadi sebenarnya Dekisugi itu kurang-lebih artinya adalah "terlalu bisa apa-apa". Iya kan? Doi jago pelajaran, seni, olah raga, dan lain-lain. Hahah..

Oke
Sekian intermezzo-nya
Let's start with serious part

Ketika masih kecil, ada saatnya gue merasa bahwa ada kemampuan-kemampuan tertentu yang dapat kita kuasai secara otomatis ketika kita sudah dewasa. Ketika seluruh tetangga gue yang lebih besar bisa main sepeda keliling kompleks, gue kira kita semua akan bisa bersepeda ketika mencapai umur tertentu. Ketika gue lihat anak-anak yang lebih besar bisa membaca, gue kira kita semua akan bisa membaca suatu hari nanti ketika mencapai umur tertentu. Ketika melihat seluruh om gue dapat mengendarai mobil dan motor, gue kira semua laki-laki akan bisa mengendarai mobil dan motor pada usia tertentu. Contoh lainnya adalah termasuk ketika teman-teman laki-laki gue dikhitan. Satu-satunya contoh yang agak relevan dengan teori awal gue adalah perihal tanggalnya gigi susu, just it.

Semakin besar, gue jadi sadar bahwa sesungguhnya tidak sesederhana itu. Ada yang namanya proses. Kita ga akan tiba-tiba bisa tengkurap, berguling, jalan, merangkak tanpa ada kemauan dan dorongan untuk belajar. Kita ga akan tiba-tiba bisa baca, menulis, berhitung di umur 4, 5, atau 6 tahun kalau sebelumnya ga pernah belajar untuk itu. Kita ga akan bisa tiba-tiba naik sepeda kalau kita ga pernah belajar untuk itu. Ga akan bisa naik motor. And so on..

Di situ gue jadi sadar, kita belajar banyak banget ya waktu masih kecil :)
Trus jadi mikir, kok kita ga belajar sebanyak itu ya sekarang?
Seharusnya umur bukan alasan untuk tidak belajar, 'kan?

Makanya ada momen-momen tertentu ketika kita merasa bahwa kok hari-hari kita berjalan dengan cepat ya?
Kok kayaknya baru kemarin keterima kuliah, masuk asrama, jadi peserta MPKMB, jadi panitia MPKMB, Techno-F, Hagatri, PDRP dapat C, PL seru 2 bulan, jadi asprak, PP sampai tipes, presma kampr*t mundur dari jabatan, seru-seruan bareng Pimpinan BEM KM, penelitian di sungai, exchange setahun ke Jepang, nulis skrispi, sekarang udah lulus?

Sesungguhnya dari salah satu buku yang pernah gue baca tentang suplemen otak, otak itu punya persepsi waktu sendiri sesuai dengan banyaknya hal baru yang dia pelajari. Semakin banyak hal baru yang kita pelajari maka waktu terasa lebih lama, semakin sedikit hal baru yang kita pelajari maka waktu terasa semakin cepat. Itu juga salah satu alasan relativitas waktu kenapa hang out sama teman kok rasanya cepat tapi belajar bab sulit matematika kok rasanya ga kelar-kelar. Itu juga alasan mengapa perjalanan pergi ke suatu tempat baru terasa lebih lama daripada perjalanan pulang dari tempat tersebut.

Lalu, gue jadi ingin punya hidup yang lebih lama. Bukan harus secara harfiah hidup sampai seratus tahun or something related.
Tapi dengan belajar hal-hal baru, biar "dekiru"-nya lebih banyak, biar ga hidup cuma dengan rutinitas saja, biar otaknya tidak mati sebelum waktunya.

Yuk?

Jumat, 30 Juni 2017

Tidurnya Orang Berpuasa

Mungkin kita sudah tidak asing dengan penggalan hadist yang berbunyi,
"Tidurnya orang puasa adalah ibadah.."
Terlepas dari sanad-nya yang ternyata lemah, sejujurnya saya sering geregetan dengan hadist itu. Atau lebih tepatnya dengan orang-orang yang menerjemahkan hadist itu sesuka hatinya.

Ga dipungkiri, banyak orang Indonesia (karena muslim di Jepang yang gue amati tahun lalu rasanya ga se-malas-malas muslim di Indonesia deh) yang selama Ramadhan memilih untuk malas-malasan dan tidur seharian, dengan dalih bahwa tidurnya orang berpuasa itu berpahala.

But for me, could you please find another point of view?
Kalau kegiatan yang 'sesepele' tidur aja berpahala, apalagi kegiatan yang lebih-tidak-sepele? Misal menuntut ilmu, mencari nafkah, berlelah-lelah menyiapkan materi sanlat untuk masjid kompleks, bebersih rumah karena Si Mbak mudik, and so on. Wallahu'alam, mungkin pahalanya lebih besar karena effort yang dikeluarkannya lebih besar.

Ramadhan 2 Hijriyah, kaum muslimin Perang Badar, men.
Pantes aja zaman Rasul dulu itu jadi generasi terbaik kaum muslimin.

Saya sih Insya Allah ga tidur seharian gitu selama Ramadhan, tapi ya kadang ga seproduktif yang diharapkan. Semata-mata nulis ini untuk me-release keresahan aja, sekaligus mengingatkan diri sendiri. Yuk ah, nabung bekal semangat buat Ramadhan tahun depan, berusaha jadi generasi terbaik juga.

Kamis, 27 April 2017

Just An Introvert Who Being Introvert

Kalau ada yang bertanya (itu juga kalau ada yang bertanya ya) ke mana sajakah gue selama beberapa bulan ini, jawabannya adalah gue sempat mendua dari blog. Gue mendua ke Instagram.

Salah satu alasan gue membuat IG adalah membenarkan kata-kata Teh Tuti tentang mengapa beliau udah lama ga ngeblog. Alasannya adalah waktu itu Teh Tuti merasa bahwa kalau mau menulis sesuatu itu harus banyak, terdiri dari beberapa paragraf, dan duduk 'plek' di depan laptop. Ya seperti orang ngeblog pada umumnya lah. Until finally she found IG and realized that picture 'speaks', juga Teh Tuti menyadari bahwa menulis itu bukan tentang seberapa banyak tulisannya tapi tentang 'menulisnya'.

Ditambah juga dengan banyaknya desakan dari berbagai pihak agar gue segera membuat IG, akhirnya gue membuat IG setelah mendapatkan SKL. Saat itu gue fikir, toh ga ada salahnya juga punya IG. Dan benar aja, scroll IG orang itu rasanya lebih 'visual' dibanding blogwalking *yaiyalah diiil*.

Bagi yang penasaran dengan IG gue, cek aja @dilahoy (username ditemukan setelah sekitar setengah jam mencoba berbagai nama yang diinginkan tapi tak kunjung ada yang available). Haha..
*di-follow yaaaaak, pakbapak, buibuuu*.
#ajimumpung

Beberapa teman yang tau bagaimana kehidupan gue di blog ini bilang bahwa post IG gue pencitraan karena isinya 'bener'. Ya ga salah sih, tapi ga sepenuhnya benar. Gue merasakan punya teman di sosmed yang timeline-nya isinya curhatan ga penting, keluhan, umpatan, berita-berita hoax, share hal-hal sensitif kayak isu agama, dan gue tau ada saatnya hal-hal itu menyebalkan. Gue hanya ga mau menjadi bagian dari orang-orang menyebalkan itu bagi teman-teman gue di sosmed.

I mean, sosmed semacam FB atau IG itu bisa dibaca semua orang yang terhubung dengan kita. Tapi blog kan enggak. You could choose whether to read it or not, kalau ga mau dibaca ya ga usah diklik link-nya. Sehingga akhirnya gue cukup yakin bahwa orang-orang (khususnya teman-teman gue) yang bisa tiba di sini adalah mereka-mereka yang memang pengen tau gue sedang ngapain, pengen tau gue sedang merasakan apa, pengen tau apa yang sedang berseliweran di pikiran gue.

Selain itu, gue adalah salah satu orang yang menganut paham bahwa sebaik-baiknya kamera adalah mata dan sebaik-baiknya perekam adalah hati. Satu lagi, sebaik-baiknya terima kasih adalah doa. Dampaknya adalah gue sangat sering ga inget untuk foto momen-momen tertentu jadinya kadang bingung juga mau cerita apa di IG kalau ga ada fotonya, hehe.

Bagi gue, blog (apalagi blog yang ga dikunci macam blog ini) adalah sejenis wadah untuk bercerita bebas tentang apa saja kepada dunia. Walaupun ujung-ujungnya ya hanya kalangan terbatas (mostly teman-teman gue yang itu-itu lagi [but don't worry, I'm happy to have you all]) yang baca. Hal ini jadi semacam wadah yang sangat ideal untuk bercerita bagi seorang introvert yang kadang bisa jadi ambivert kayak gue.

Actually, I'm not typical who like to mengagung-agungkan semacam kepribadian berdasarkan hal tertentu. Tapi sesungguhnya buat orang introvert (lebih tepatnya INFJ, yang sering disangka extrovert) macam gue, berlama-lama di keramaian itu membuat lu merasa terkuras energinya, sekalipun itu di keramaian sosmed semacam IG. Rasanya itu, pikiran dan hati gue jadi bisa capeeeeeeeek banget tiap abis scroll timeline IG.

Pada akhirnya, alasan besar mengapa gue kembali mengeblog setelah vakum beberapa bulan ini adalah dorongan jiwa introvert gue yang ingin memiliki kanal penyaluran emosi ala jiwa introvert.

Yuk, nulis lagi.
:)

Minggu, 15 Januari 2017

STEP@TUAT; A How To (Part 1)

Sehubungan dengan post sebelumnya, pada post kali ini gue mau bercerita mengenai bagaimana proses persiapan gue untuk mendaftar program STEP. Gue mendaftar STEP dua tahun lalu, berangkat pada Oktober 2015, dan sudah kembali ke Bogor pada September 2016.

First of all, I want to tell you that having a whole year not in your hometown itu harus dikompensasi dengan hal yang tidak sedikit. Gue pribadi kehilangan banyak momen bersejarah dari teman-teman gue. Gue melewatkan setahun periode wisuda, beberapa belas nikahan, dan entah berapa lahiran. Gue ga bisa mendampingi pas ibu harus tengah malam ke rumah sakit (untungnya ga kenapa-kenapa, cuma sempet ngedrop doang), gue ga bisa hadir ketika ibu pelantikan naik jabatan, ga ikutan acara liburan keluarga ke Bukittinggi, and so on.

Dengan sebegitu banyak hal yang gue lewatkan di Bogor dan sekitarnya, yang bisa gue lakukan selama di Jepang adalah bersenang-bersenang. Hahaha. Jangan sampai gue menyesal karena ga bisa merasakan momen di Bogor dan sekitarnya, lalu ditambah di Jepang juga cuma diem-diem aja.

Oke, stop ngelantur dan curhatnya, let's start.

Pada tulisan kali ini (dan yang akan datang) gue mau menceritakan mengenai beberapa syarat kelengkapan berkas yang proses mendapatkannya agak lumayan. Definisi 'lumayan' di sini artinya tidak melulu sulit, bisa jadi tricky, malesin *misal, urusan ke DIT.AP IPB*, ngabisin duit tabungan, and so on.

Surat rekomendasi
Dari sekian banyak syarat pendaftaran, salah satu yang bikin deg-deg-ser adalah surat rekomendasi dari dosen. Diminta 2 pula.

Usul gue sih yang pertama adalah jelas dosen pembimbing. Ibaratnya selama di kampus, beliau lah orang tua kita. Kunci lulus atau enggaknya kita (kuasa Allah sih pasti ya) juga ada di tangan beliau. Dengan minta rekomendasi dari beliau, semisal nanti lolos juga enak ketika ngadep untuk laporan. That's what I did 2 years ago. "Pak, terkait surat rekomendasi exchange yang waktu itu, Alhamdulillah saya lolos..". Ga mungkin kan kita ngilang setahun ke negara orang dan Si Bapak ga tau. Ga sopan juga lagian kalau ga bilang.

Secara ga langsung, ketika beliau bikin surat rekomendasi untuk kita itu beliau merestui bahwa anak bimbingnya punya probabilitas ngilang setahun ke negara orang, haha.

Meminta rekomendasi ke beliau juga nanti bisa bikin enak ngobrol untuk ke depannya, variabel penelitian bisa dikurangi atau enggak (karena takut keburu berangkat), apakah setahun ini mau dijadiin cuti atau enggak, sks dari sana mau diakui di Indonesia atau enggak, mau penelitian di Jepang atau di Indonesia, dan lain sebagainya.

Usul untuk dosen kedua, cari dosen yang kita dekat dengan beliau. Entah karena kita jadi asisten mata kuliah beliau lah, entah karena kita aktif ketika beliau ngajar lah, entah beliau temen orang tua kita lah, entah beliau orang tuanya temen deket kita lah, entah apapun lah. Pastikan juga beliau "ngeuh" sama kita. Kalau kita ngerasa dekat tapi beliaunya kagak ngerasa sih itu namanya kebanyakan ngarep.

Kenapa nyari yang dekat? Karena kalau sama yang dekat, insya Allah rekomendasinya bagus. Lagian gunanya nyari surat rekomendasi kan untuk 'menjual diri'. Kalau minta rekomendasi ke dosen yang kita sering telat datang kuliahnya mah berabe.
"..mahasiswa ini kurang bertanggung jawab karena sering terlambat datang ke kuliah saya.."
END
Bhay

Alternatif lain, cari dosen yang sering stand by di kampus. In case ada perintilan yang kelewatan, gampang untuk nyarinya lagi. Dua tahun lalu gue memilih dosen kedua untuk rekomendasi dengan cara seperti ini. Entah sial atau hoki, ternyata ada hal yang masih harus ditambahkan setelah gue mengumpulkan berkas. Lucky me, Si Ibu mudah ditemui, Alhamdulillah.

Berkas rekomendasi dosen ini ada formatnya di form pendaftaran dan gue hanya meminta beliau-beliau untuk mengisi saja (dengan kata-kata yang sudah gue tulis terlebih dahulu, hehe). Ternyata eh ternyata, agar lebih resmi dan rahasia. Ditmawa meminta agar kertas selembar tersebut dimasukkan ke dalam amplop putih, di-seal, lalu dosen yang bersangkutan mendatangani seal-nya sebagai tanda bahwa bener lho surat ini dibikin beliau dan ga gue otak-atik.

Actually ga rahasia-rahasia amat sih, gue udah kepalang baca tulisan Bapak tentang gue (ketika mau ngerapihin berkas sesuai halaman) dan gue jadi terlihat keren di surat rekomendasi dari Bapak. I love you full lah, Pak.

Alternatif lain (lagi), cari dosen yang gelarnya profesor. Berhubung tujuan exchange ini adalah untuk pendidikan, berhubung profesor adalah gelar tertinggi dalam dunia akademisi, ya pikir deh ya hubungannya apa, hahaha.

Keterangan kemampuan bahasa Inggris
Ini mah ga ada cara lain, ya tes atuhlah.

Kalau kita ngerasa skill English kita ga cupu-cupu amat, sekalian aja tes beneran. Dua tahun lalu itu gue ikutan TOEFL PBT di UPT Bahasa IPB di Kampus Gunung Gede, harganya 400 ribu (untuk 2017 ini pekan lalu gue cek, harganya udah jadi 500 ribu). Tes beneran ini umumnya berlaku selama dua tahun, or at least ada semacam rahasia umum dan kesepakatan bersama bahwa itu bisa digunakan selama dua tahun. Lumayan bisa dipake untuk syarat SKL dan ngelamar kerja kalau udah lulus *itu sih gue*.

TOEFL ini menurut gue agak risky, tricky, dan ngabisin uang tabungan gue. Dua tahun lalu TOEFL di IPB diadakan tiap minggu, minggu ini di Dramaga, minggu depannya di Gunung Gede, gitu terus berulang. Sistem TOEFL di IPB itu pakai kuota, jadi kalau kuotanya udah penuh ya ikutan sesi setelahnya. Nah berhubung gue ngincer yang di Gunung Gede biar ga terlalu jauh dari rumah dan ternyata kuotanya udah penuh, alhasil gue baru tes pada Sabtu ketiga setelah pendaftaran dan hasilnya baru bisa diambil sekitar 8-12 hari kerja setelah tes. Tricky abis kan? Hahaha. Syarat ini sepertinya harus dikerjain duluan.

Kalau ikutan yang TOEFL prediction gitu di tempat-tempat les di Bogor, harganya skitar 150-200 ribu dan cuma berlaku 3-6 bulan. Trus ga resmi pula, power-nya ga sesakti hasil tes beneran.

Selain TOEFL, mau IELTS atau apa juga boleh. Intinya bukti yang menyatakan bahwa kita bisa bahasa Inggris karena selama perkuliahan (kecuali mata kuliah Bahasa Jepang) menggunakan bahasa Inggris sebagai pengantar.

Karena pendaftar dari IPB yang cukup banyak di tahun gue mendaftar (ada 7 orang), maka dilangsungkan sesi wawancara untuk semacam 'seleksi tambahan' dari IPB. Gue yakin bahwa hasil TOEFL gue yang ketika itu belum menyentuh angka 500 bakal dijadikan topik hangat ketika wawancara..
..dan bener aja.

Akhirnya gue ngeles ketika wawancara (pakai bahasa Inggris pula) bahwa poin utama dari komunikasi bukanlah tentang kesamaan bahasa, tetapi saling mengerti antara kedua pihak yang berkomunikasi.
Tsaaaaaaah
Gaya banget kan gue
*ditimpuk

Thanks to modul daskom yang pernah iseng dibaca.
:D

----------

Inilah dua dari beberapa hal yang bagi gue paling dagdigdug pas mengusahakannya. Hal lain yang ga-se-dagdigdug dua hal ini akan disambung secepatnya.

いじょうです
ありがとうございます
*bowing

(Dibaca: Ijou desu, arigatougozaimasu; Artinya: that's all, thank you)

Jumat, 13 Januari 2017

Aksi Mahasiswa

Preface
Gue terlalu geregetan untuk ga nulis apapun terkait aksi mahasiswa 12 Januari 2016 kemarin. Sesungguhnya ide menulis ini sudah ada sejak pertama kali dengar mau ada aksi, tapi apa daya baru berhasil diselesaikan sekarang.

Let's begin.
Kalau kata Bung Karno mah,
Berikan aku sepuluh pemuda, maka akan kuguncangkan dunia
Ini artinya apa? Artinya adalah pemuda itu aset. Masa muda itu merupakan aset. Maka jangan heran kalau dunia mengharapkan para pemuda banyak melakukan hal besar.

Pertama-tama, bagi gue aksi itu sesuai dengan arti harfiahnya; bergerak, melakukan sesuatu, tidak berpangku tangan. Kemudian sebagai mahasiswa, gue menghormati dua tipe mahasiswa berdasarkan jenis aksi yang biasa mereka kerjakan.

Tipe 1
Mahasiswa tipe 1 ini adalah teman-teman yang demen bergerak di bidang akademik. Teman-teman kita ini percaya bahwa amanah utama mereka dikirim orang tuanya ke perantauan adalah untuk belajar. Ini yang bener. Bener banget malah. Alhasil mereka belajar dengan rajin, pada jago bahasa Inggris, rajin bikin paper, ikut conference atau lomba yang bukan tidak mungkin skalanya mencapai skala internasional *intergalaksi juga dijabanin mungkin kalau ada*. Teman-teman ini berharap bahwa ilmu yang mereka peroleh sampai intergalaksi itu di masa depan dapat bermanfaat untuk membangun Indonesia ke arah yang lebih baik.
Ayo bilang aamiin rame-rame.

Tipe 2
Mahasiswa tipe 2 ini biasanya adalah teman-teman yang ikutan organisasi. Biasanya gerakannya spesifik ke arah kemasyarakatan/kemanusiaan, sosial, dan politik. Tidak sedikit aksi nyata teman-teman tipe 2 ini yang hasilnya dapat terlihat dalam waktu relatif singkat misal kegiatan turun ke desa, pengabdian masyarakat, pendampingan UMKM, sampai aksi mahasiswa mengajar ke daerah-daerah sekitar kampusnya. Banyak dari teman-teman kita ini (khususnya yang kuliah di PTN) berpendapat bahwa mereka bisa berkuliah karena salah-satunya ada peran pajak untuk menyubsidi biaya sehingga dapat dijangkau. Which is pajak itu dibayarkan oleh seluruh rakyat Indonesia, termasuk warga yang berada dalam katagori kurang mampu. Maka ketika ada rakyat yang merasa tertindas (misal karena harga bahan-bahan pada naik [ya kurang-lebih penyebab aksi kali ini lah]) mereka merasa harus melakukan sesuatu.

Dua tipe mahasiswa di atas adalah dua tipe yang gue hormati.
They know what to do. They have their own way/vision to create a better Indonesia.

Gue sangat mengapresiasi jika kedua tipe ini ga saling menjatuhkan satu sama lain, toh niatnya sama-sama untuk Indonesia kan?

Tipe 3
Nah, ini adalah tipe yang gue kadang suka ga abis pikir. Ini adalah tipe yang kerjanya nyinyir dengan teman-temannya yang termasuk tipe 2, bilang aksi ngerusuh lah, ga ada gunanya lah, ga jelas asal-mula kajiannya kayak apa lah, kuliah aja masih minta uang ortu trus sok-sokan mau aksi lah, aksinya ga ngasih solusi lah, sebagai mahasiswa harusnya lebih cerdas lah, apa lah segala rupa dikata-katain.

Padahal orang tipe 3 ini kalau diajak hadir kajian pendalaman materi aksi, beeeeeuh, pasti adaaaaaa aja alasannya untuk nolak.

Tipe ini juga adalah tipe yang sering mencari sejuta alasan ketika 'ditodong' untuk menjadi mahasiswa tipe 1. Ya ngeles ga jago bahasa Inggris lah, ga jago nulis lah, IPK ngepas lah, apa lah ada aja alesannya.

Hellooooow
Kalau kebanyakan nyinyir, entar keburu tua, entar keburu 'ga berpotensi' apa-apa. Alasan untuk ga ngapa-ngapain mah memang pasti ketemu kalau dicari. Mending coba mulai melakukan sesuatu dari sekarang.

----------

Gue alhamdulillah selama jadi mahasiswa pernah berusaha untuk menjadi tipe 1 dan tipe 2. Gue pernah coba-coba ikut lomba tentang pertanian, meskipun nyaris ga juara. Gue juga pernah ikutan jadi tim koordinator aksi, meskipun cuma ngurusin carter angkot dan P3K. Overall, gue juga ada bayangan kok ke depannya mau melakukan apa untuk Indonesia. At least, gue mencoba melakukan sesuatu.

Akhir kata, kalau mengutip kata-kata Bang Faldo Maldini mah,
"Ya gapapa mahasiswa cuma bisa nuntut. Kalau mahasiswa bisa ngasih solusi mah dipertanyakan itu gunanya para staff ahli di kepresidenan."
NAH INI!!

Untuk teman-teman yang aksi (terlepas dari apapun jenis pergerakan yang dilakukan),
Selamat luruskan niat, komentator mah ya udah lah ya biarin jadi komentator aja. Kalau ada pertandingan bola juga kan pada akhirnya yang dilihat adalah pemainnya, bukan komentatornya. Kalau gagal, coba lagi. Kalau salah, perbaiki, mumpung masih jadi mahasiswa, mumpung masih 'boleh' salah.

Cheers!!

Kamis, 05 Januari 2017

STEP@TUAT; Kesempatan Exchange untuk Mahasiswa IPB

Tersebutlah sebuah departemen tetangga di fakultas. Departemen ini termasuk departemen perintis yang terakreditasi internasional di IPB, bahkan ketika SMA gue sempat mau masuk departemen ini, haha. Departemen ini termasuk dalam departemen yang mahasiswanya bisa ikutan program exchange AIMS (ASEAN International Mobility for Students). Selain dari departemen tetangga ini, gue hanya tau Faperta (seluruh departemen di Faperta) yang bisa ikutan program tersebut, mohon dikoreksi kalau salah but the point of my post is not about AIMS.

Ketika tingkat 2 dan gabung BEM fakultas, di akhir kepengurusan ada kakak kelas dari departemen tetangga tersebut yang ikutan AIMS. Trus ga lama mulai iseng cari tau dan kesel sendiri karena departemen gue ga bisa, haha.

Gue lupa bahwa setahun sebelumnya pernah dikasih tau oleh Si Teteh tentang program exchange lain, namanya STEP@TUAT, Short Term Exchange Program at Tokyo University of Agriculture and Technology.

TUAT dan IPB ini mereka bersaudara. Sister school istilah gaulnya mah. TUAT membuka kesempatan exchange bagi mahasiswa sister school yang tersebar di seluruh dunia melalui program STEP ini. Pada tahun gue terdapat 20 orang yang mengikuti program STEP dan berasal dari seluruh dunia. Mulai tahun 2017 ini kata webnya ditambah jadi 25 orang.

Bukan mahasiswa IPB?
Jangan khawatir..
Setahu saya *elah tumben pake 'saya'* ada kampus-kampus lain di Indonesia yang juga sister school dengan TUAT yaitu ITB, Unila, dan UGM.

Hal yang agak membuat gue sedih, tahun 2016-2017 ga ada perwakilan STEP dari IPB, kayaknya karena pada ga tau deh..

STEP@TUAT terbuka untuk program undergraduate, master student, dan juga doctoral student. Program berlangsung selama setahun, yaitu mulai Oktober hingga September tahun depannya. Kehidupan selama di sana di-cover oleh JASSO scholarship.

More info:
Kindly open this link and read carefully
(carilah ada berapa banyak foto gue di sana, hahaha)

Unduh berkas pendaftarannya

Jangan lupa tanya-tanya juga ke International Office di masing-masing kampus yaaa!!

Yang mahasiswa IPB, tau ga International Office IPB ada di mana? Haha
International Office IPB lebih dikenal dengan nama ICO, International dan Collaboration Office. Terletak di Gedung Andi Hakim Nasution. Kalau berdiri dari ATM Mandiri, nanti kelihatan.

Untuk mahasiswa IPB, selain main ke ICO, main juga ke Ditmawa ya untuk nanya-nanya. Sila datang ke Sub Direktorat Pengembangan Karakter dan Mobilitas karena ada beberapa berkas yang bisa disediakan oleh ICO/Ditmawa.

Terlepas dari apapun niat kalian untuk ikutan program pertukaran pelajar, entah mau jalan-jalan, entah nyari link buat lanjut sekolah, entah untuk mempercantik tampilan instagram, entah apapun itu, saya *ciye pake 'saya' lagi* sepenuh hati merekomendasikan karena akan banyak sekali pelajaran yang didapat ketika berada jauh dari zona aman.

Kalau kata Imam Syafi'i mah,
Merantaulah, maka akan kau temukan pengganti kerabat dan kawan.
I strongly agree.
Uuuuuu, kangen Tokyo kan jadinyaaaa :'

Sesungguhnya, banyak program sejenis dari kampus lain di Jepang tapi gue ga hapal namanya. Ada HUSTEP, URSTEP, dan entah apa lagi deh. For further info, kindly check ICO or Ditmawa or your own campus' International Office.

Kisah gue selama di Jepang dapat dilihat pada tautan #MatahariAkar di blog ini (atau klik di sini). Belum banyak sih karena keasikan main selama di Jepang sampai lupa nulis. Hahaha..
#AlesanAjaKamuDiiil

Tips and trick untuk mengisi berkas, insya Allah, akan gue sambung di post berikutnya.
Cheers!!

Sumber gambar (klik di sini)

Dua puluh tahun lagi ga mau dihantui kan? Makanya dicoba aja sekarang.
Hehehe

Footnote
For earlier tips and trick, kindly contact me on:
Line id : .fadila. (ada . sebelum dan sesudah nama)
Instagram : @dilahoy