Sabtu, 02 Mei 2015

Refleksi Hardiknas 2015, Hanya Celotehan Saya Saja


Seringkali gue mendengar celetukan dari mentee dan murid-murid privat gue,
Sekolah tuh untuk nyari nilai, Teh. Kalo nyari ilmu mah di bimbel.

Astaghfirullahaladziim
Miris gue
Mau nangis rasanya
Sialnya, itulah keadaan pendidikan Indonesia yang gue ketahui saat ini

Di mana peran sekolah formal sebagai tempat pendidikan, pembelajaran, dan pembangunan karakter?
Kalau begitu, apa gunanya sekolah formal?
Apa added value yang ditawarkan oleh sekolah formal?
Apa value proposition dan siapa customer segment dari sekolah formal?
Lalu, boleh kah gue berkata *meski tak sampai hati* bahwa guru-guru yang seperti itu adalah guru yang makan gaji buta?
Kalau masih tetap seperti ini, apakah anak gue kelak lebih baik homeschooling saja dan ikut ujian kejar paket?
Atau masuk pesantren modern kali ya?
Ada yang bisa bantu menjawab?

Ada salah seorang murid privat gue, ketika itu dia sudah kelas 9 SMP, yang bahkan tidak lancar mengerjakan persoalan matematika mengenai perpindahan ruas.
Lalu pertanyaan gue dalam hati,
Gurunya dahulu ngapain di kelas?
Terlepas dari kurikulum Indonesia yang katanya berantakan dan terlalu memforsir anak, tapi tetap saja gue penasaran apa yang dilakukan gurunya di kelas. Bagaimana cara beliau menjelaskan prinsip sederhana mengenai dasar perpindahan ruas? Hingga bahkan murid gue itu tak kunjung bisa melakukannya. Bukankah kalau kata Einstein,
Kamu tidak benar-benar memahami sesuatu jika tak bisa menjelaskannya dengan cara sederhana.

Astaghfirullahaladziim
Miris gue

Tidak munafik, gue juga pernah les bimbel. Tapi les gue hanya di tingkat-tingkat terakhir dari tiap jenjang pendidikan saja. Kelas 6 SD, kelas 9 SMP, dan kelas 12 SMA. Just it. Itupun tujuan utamanya adalah demi mengenali 'medan pertarungan' gue untuk ujian masuk ke jenjang sekolah formal yang lebih tinggi.

Apakah seluruh guru sekolah formal gue dari SD hingga SMA adalah guru-guru yang mengajar dan juga mendidik?
Apakah seluruh guru sekolah formal gue dari SD hingga SMA memang benar-benar mentransfer ilmu, tidak semata-mata memberi nilai?
Not so..
Tidak semuanya sesempurna itu.
Bahkan hanya sedikit yang seideal itu.

Lalu, dari mana gue mendapatkan ilmu dan pendidikan di tahun-tahun ketika gue tidak bimbel?
Siapa yang mentransfer ilmu dan menanamkan nilai-nilai kehidupan untuk gue selama ini?
Siapa yang menumbuhkan keingintahuan dan daya kritis seorang Dila kecil sehingga bahkan ketika SD pernah disuruh berhenti bertanya oleh gurunya?

Luckily,
Dari sejak lahir, gue dididik oleh dosen.
:"

Itulah mengapa gue ingin jadi dosen *tapi sekarang galau lagi* dan juga bertekad akan membesarkan anak gue, sebisa mungkin tanpa campur tangan 'orang lain'. Gileee, keren abis kalo anak gue sejak lahir diasuhnya sama Sarjana Teknik (Pertanian).
*Jadi inget bahasan seru di grup WhatsApp Forkom beberapa hari lalu tentang parenting*

Jika institusi semisal sekolah pendidikan guru saja peminatnya sedikit dan bahkan dijadikan pilihan akhir 'daripada tidak kuliah di mana-mana', lalu dari mana para calon guru itu akan berkuliah dengan menyertakan hati mereka? Setahu gue, apa-apa yang disampaikan dari hati, akan sampainya ke hati juga.

Jika para calon guru itu saja kuliahnya ogah-ogahan, jika bahkan tempat kuliahnya saja merupakan pilihan terakhir atau yang telah dinomorsekiankan, apakah mereka sadar kehancuran apa yang dapat terjadi karena hal itu?

Tidak sadarkah para guru?
Bahwa mereka sesungguhnya memiliki peluang untuk mendapatkan pahala tak terputus. Bahwa ilmu yang bermanfaat adalah pahala anak Adam yang tak akan usai perkaranya meski dihadapkan dengan maut. Bahwa kesempatan itu tidak dimiliki semua orang.

Tak sadarkah para guru?
Bahwa jika hal itu tidak diupayakan dengan baik, disia-siakan, hanya dijadikan urusan transaksional duniawi 'gue ngajar, gue dibayar, selesai', malah berpeluang untuk timbulnya dosa jariyah semisal bocornya kunci jawaban UN yang sudah bukan merupakan berita baru.
Apakah dosanya juga tak terputus?
Naudzubillahi min dzalik, wallahu'alam.

Nah tuh..

Gue pernah cerita hal ini ke Ibu dengan suara hampa saking kesalnya dengan sistem yang ada saat ini. Reaksi Ibu hanyalah,
"Iya. Kakak bener. Itu memang kesempatan yang ga semua orang punya. Tapi, cara pikir Kakak yang kayak gini juga bukan cara pikir yang semua orang punya."
*menghela nafas*

Memang sepertinya harus ada yang namanya revolusi mental itu..

Kalau menurut salah seorang guru gue mah,
"Di Jepang itu, jadwal pelajaran SD bisa tiap pekan ganti. Nanti akan ada saatnya anak-anak SD di Jepang itu belajarnya sambil nonton TV. Ada saluran TV khusus pendidikan di Jepang yang memang menayangkan tentang pendidikan. Coba kita lihat, Televisi Pendidikan Indonesia isinya apa? Dangdutan. Untung aja sekarang udah ganti nama."

Overall, selamat Hari Pendidikan Nasional :)
Ayo bersama-sama mengamalkan alinea keempat Pembukaan UUD 1945,
Mencerdaskan kehidupan bangsa
Karena sejatinya, kalau kata Pak Menteri Pendidikan RI, pendidikan merupakan proses memanusiakan manusia.
:)

Sumber gambar :
http://sdislamwali9.blogspot.com/
https://www.pinterest.com/eandico/education/

Tidak ada komentar: