Sabtu, 03 Desember 2022

Cara pikir orang yang belum punya anak, tentu akan berbeda dengan cara pikir orang yang sudah punya anak, apalagi kalau anaknya banyak. Apalagi kalau malah ternyata orang tersebut belum menikah. Pasti ga nyambung.

Cara pikir orang yang ga pernah hidup kesulitan dari segi harta, tentu akan beda dengan cara pikir orang-orang yang kesulitan harta sejauh mereka bisa mengingat asal-usul nenek moyangnya. Pasti ga nyambung.

Jika kita berperan sebagai pengambil keputusan yang memengaruhi hajat hidup orang banyak -mulai dari HRD sampai DPRD- hendaknya kita ingat-ingat untuk mencoba menempatkan kaki kita di 'sepatu' orang-orang yang kita wakilkan pembuatan keputusannya.

Cerita dari salah seorang teman baik, terdapat manajer HRD di kantornya sudah terkenal sering 'menyepelekan' udzur/perizinan seseorang yang berkaitan dengan izin dari suami atau sulitnya pengasuhan anak.

Manajer tersebut jangankan punya anak, menikahpun belum.

Hingga suatu hari,

Terdengar cerita bahwa seseorang yang tengah meminta keringanan -tapi ditolak- mendoakan manajer tersebut,

"Semoga dirimu ga perlu merasakan sulitnya izin suami dan susah-payahnya pengasuhan anak"

Sungguh, dalam hatinya seseorang yang dimaksud bukan mendoakan agar manajer tersebut punya suami yang mudah izinnya serta anak yang sesuai tumbuh-kembangnya.

Seandainya sang manajer ingat, bahwa orang yang terdzolimi itu tidak ada sekat antara dirinya dan penciptanya.

Tidak ada komentar: