Selasa, 10 Maret 2015

Ketika Agroindustrialis Masuk Dapur

Sejak kecil gue jarang masuk dapur. Bukan karena dimanja atau gue malas, tapi gue itu petakilan, bawel, dan tidak bisa diam sejak kecil maka dari itu gue jarang diminta bergabung di dapur. Kalau perfeksionisnya sedang kumat, gue bahkan bisa ngedumel semisal ada buncis yang keseragaman potongannya tidak sama.

Meribetkan kan punya anak perempuan seperti gue?
Ya maka dari itu gue jarang diminta bergabung di dapur.

Sebelum booming capcin dua tahun terakhir ini, di keluarga besar gue sudah ada minuman yang mirip capcin. Komposisinya adalah serutan cincau hitam, sirup vanila, es batu, dan santan.

Pada suatu pagi, ketika sedang sibuk beberes untuk arisan keluarga di siang harinya, Ibu komplain mengenai ukuran bengkoang yang terlalu kecil. Serba tidak ergonomis. Ketika tidak dibelah dua menjadi terlalu besar untuk masuk mulut dan tidak cukup untuk satu gigitan, sedangkan ketika dibelah dua menjadi terlalu kecil untuk satu gigitan. Haha.

Ibu akhirnya meminta gue untuk membuat capcin-tapi-bukan-capcin itu. Sebelum meperkeruh mood Ibu, gue memutuskan untuk tak perlu menanyakan takaran bahan-bahannya. Bermodal kepercayaan diri yang mendekati sok tahu, gue akan membuat capcin-tapi-bukan-capcin itu dengan ilmu TIN yang gue miliki.

Almarhum Profesor Endang Gumbira Said pernah berkata bahwa beliau sangat suka mencuci piring. Kenapa? Karena di situ ilmu-ilmu selama di TIN akan digunakan. Reaksi penyabunan lah, sisa makanan serta bayangan mengenai cara pembuatannya lah, dan lain sebagainya. Sebenarnya bukan hanya mencuci piring sih, tapi nyaris seluruh kegiatan di dapur itu hubungannya erat dengan ilmu-ilmu yang dipelajari di TIN.

Terkait es capcin-tapi-bukan-capcin ini, apa yang gue lakukan selanjutnya?
Gue menyiapkan kertas untuk coret-coretan. Lalu gue menulis hal-hal yang gue ketahui untuk keberlangsungan proses pembuatan capcin-tapi-bukan-capcin ini.
- Sirup harus memiliki kandungan gula sekitar 65% menurut SNI
- Santan instan yang digunakan tertulis mengandung lemak nabati sebesar 25%
- Es batu memiliki massa jenis sekitar 0,9 gram/cm kubik

Suatu bahan akan dapat terasa manis ketika memiliki kandungan gula sekitar 12 bricks. Bricks ini adalah kadar kemanisan, yakni jumlah gula dalam 100% campuran bahan. Selanjutnya, karena efek PL di pabrik susu bayi, gue jadi hapal bahwa susu memiliki kandungan lemak sekitar 3-3,5% dan padatan non-lemak sebesar 8% sehingga total padatannya menjadi 11%. Kali itu gue mau membuat capcin-tapi-bukan-capcin ini menjadi seencer susu (agar aftertaste-nya tidak terlalu terasa berlemak di mulut). Di samping itu, karena tahu bahwa akan ada arisan keluarga pula, beberapa hari sebelumnya asisten Ibu di rumah telah membekukan A*ua gelas agar dapat dijadikan bahan es.

Selanjutnya adalah gue mencorat-coret kertas, ditemani dengan kalkulator scientific kesayangan yang sudah gue miliki sejak olimpiade astronomi 2010 lalu. Didapatilah bahwa gue harus mengencerkan sirup menjadi lima kali lebih encer dan santan menjadi tujuh kali lebih encer lalu dicampurkan. Di sini gue tidak menggunakan air, melainkan hanya bermodalkan es batu, dengan harapan supaya capcin-tapi-bukan-capcin ini akan tetap dingin sekaligus tidak menjadi hambar karena terlalu encer setelah es batu mencair.

Sepintas Ibu melihat lalu menegur,
Ibu : Ngapain, Kak?
Gue : Ngitung takaran bahan, Bu..
Ibu : *geleng-geleng gagal paham* Dasar anak TIN..

Sebelumnya, gue telah mencuci mangkuk besar tempat meracik capcin-tapi-bukan-capcin itu. Gue sempatkan memenuhinya dengan air lalu mengeluarkan airnya dengan cangkir. Tadaaaaa. I've got the volume.

Proses perhitungan selanjutnya adalah matematika sederhana mengenai perbandingan senilai. Lalu, dapat ditebak. Es capcin-tapi-bukan-capcin itu akhirnya selesai dengan gemilang. Selama tidak ada yang komplain, gue mengasumsikan itu enak.

Semoga untuk ke depannya jadi sering-sering praktikum ya, Dil,
Praktikum terpadu,
Di dapur :)

Tidak ada komentar: