Selasa, 07 Juli 2015

Insya Allah

Suatu hari gue pernah berjanji dengan seorang teman. Lalu untuk meyakinkannya, gue mengatakan "Sip, Insya Allah". Tak disangka teman gue itu malah berkata dengan agak sewot, "Serius lah, Dil. Gue butuh banget soalnya". Lah kan gue kesel ya, kenapa juga dia marah. Tak lama, dia melanjutkan keluhannya, "Jangan Insya Allah atuh". Seketika gue paham maksud dari teman gue itu ke arah mana. Gue hanya dapat menjawab, "'Insya Allah' versi gue adalah 'Insya Allah' yang belum mengalami pergeseran makna". Lalu gue pergi meninggalkan teman gue itu. Bete.

----------------------------------

Insya Allah, artinya kurang lebih adalah "jika Allah menghendaki". Adapun makna "Insya Allah" yang umum gue temui kini dapat diartikan seperti menjanjikan sebuah janji yang sekiranya memang tidak ingin-ingin amat ditepati.

Mungkin gue yang salah mengartikan. Mungkin gue yang terlalu idealis. Tapi selama ini gue selalu mengartikan "Insya Allah" dalam janji-janji gue sebagai suatu upaya bersungguh-sungguh untuk menepatinya. Perihal kehendak Allah di proses pemenuhan janji itu ya itu ada di luar kemampuan gue. Ibaratnya 99,99999% adalah gue akan berusaha menepati, sepersekian persen sisanya adalah kuasa Allah.

Gue kadang suka kesel aja dengan berbagai kasus yang pernah gue alami bersama "Insya Allah".
Ya ampun, lu mah kesel mulu, Dil --"

Jika seseorang berjanji, "Iya jam 10 ya, Insya Allah". Tapi jam 9.45 dia masih ileran dan belum mandi. Lalu dia berharap Allah akan menteleportasi dia menuju tempat janjian jam 10? NO WAY. Di Surat Ar-Ra'd ayat 11 juga dituliskan bahwa "Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah suatu kaum sebelum mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri". Kalau dia belum mandi ya Allah ga bakal membuat dia jadi tiba-tiba udah mandi.

Ketika ditanya mengapa telat datang, lalu menjawab, "Ya kan gue bilangnya 'Insya Allah'". Apakah itu maksudnya adalah pembenaran bahwa Allah tidak berkenan dia datang on time? Pret lah. Kalau menurut bahasa Smansa, itu namanya cari aman. Itu namanya mencari kambing hitam. Dan sadarkah (Si)Apa Dzat yang dikambinghitamkan?

Lain halnya jika kasus janjian jam 10 tadi itu disikapi dengan bersiap sepenuh hati. Sudah mengalkulasi durasi waktu perjalanan yang dibutuhkan dan berangkat pada jam yang dirasa pas. Tapi jika ternyata bannya bocor atau ada kecelakaan di perjalanan sehingga terhambat dan terlambat tiba di lokasi, itu lain urusan. Ban bocor dan kecelakaan itu bisa dibilang masuk ke dalam sepersekian persen yang tadi, kuasa Allah.
Wallahu'alam

Juga gue pernah menemukan "Insya Allah" sebagai bentuk penolakan secara halus. Ini yang kasusnya agak sering. Misal ada rencana kumpul-kumpul reunian lalu kita mengajak teman kita dan dia menjawab dengan muka sedih gitu, "Aduh, tanggal segitu ya? Eummm, Insya Allah deh ya.."

Mungkin maksudnya baik yakni tidak mau menyakiti orang yang punya hajat. Tapi apa susahnya untuk to the point aja bilang, "Punten euy, ga bisa deh gue kayaknya". Selesai perkara. Ga akan ada kisah orang yang over-positive-thinking seperti gue yang mengharapkan kedatangannya. Rasul juga bilang kan agar mengatakan kebenaran meskipun ia pahit.

Begitulah kisah keresahan gue akhir-akhir ini.
Sekian.
Semoga keresahan akan "Insya Allah" yang mengalami pergeseran makna ini dapat tertanggulangi segera.
Aamiin
:)

Tidak ada komentar: