Selasa, 03 November 2015

#MatahariAkar [Favorite Way to Suicide]

Jadi ceritanya mulai dari 1 Oktober 2015 ini gue sudah tiba di Jepang. Di email pemberitahuan keberangkatan diberitahukan bahwa mahasiswa yang mendarat di Narita akan dijemput oleh staff universitas, sedangkan mahasiswa yang mendarat di Haneda silakan menuju kampus sendiri. Daripada nyasar di negara orang, gue memilih mendarat di Narita.

Ternyata eh ternyata, setelah sampai kampus ini gue baru tahu bahwa jarak kampus dan bandara Haneda jaraknya tidak sampai 2 jam naik kereta. Oke fine.

Jadi ceritanya, di email pemberitahuan itu gue diberi tahu bahwa harus menyiapkan sejumlah uang untuk membeli kereta express dari Narita ke Tokyo. Ternyata eh ternyata, staff yang menjemput di Narita bilang bahwa ada sedikit gangguan dan perjalanan akan diganti jadi naik bus.
"We will take a bus from Narita, instead of train. I'm sorry for this. Someone jumps into the railway. Needs time to fix it. In Japan, jump into the railway is the most favorite way to suicide."
Astaghfirullah
Gue cuma diem-diem-cengo aja pas seseorang yang menjemput gue bilang kayak gitu.

Selama sebulan di sini, gue sudah pernah mengalami cerita mengenai delay kereta sebanyak 4 kali. Penyebabnya sama, favorite way to suicide. Di Jepang banyak banget kasus orang bunuh diri dengan cara menabrakkan diri ke kereta. Mungkin karena kereta itu cepat kali ya, jadi ga kerasa apa-apa. Naudzubillahimindzaalik.

Salah seorang kakak gue dari Indonesia *yeah, I do have another family here :')* bercerita bahwa Sensei-nya pernah komplain yang intinya,
"Kalau mau bunuh diri, jangan loncat ke rel kereta gitu. Menghambat aktivitas orang lain, tauk."
Karena Jepang ini luar biasa ontime, terlambat semenit aja bisa jadi urusan gawat. Bahkan di stasiun gue pernah menemukan orang yang nanya jam ketika sedang menunggu sesuatu dan pertanyaannya itu gini,
"Ima nan pun desu ka?"
(Sekarang menit berapa?)
Buseeeeeeeeeeeet

Ketika orientation di awal mengenai cara hidup di Jepang, salah seorang Sensei gue berkata seperti ini,
"No matter one minute, or five minutes, or fifteen minutes, once you late, it is a late"
Zinnngggg
Kelas langsung sunyi

Karena itu pula kalau ada seseorang yang loncat bunuh diri ke rel kereta, keluarganya yang justru akan dikenakan denda oleh pemerintah. Udah mah kemungkinan dia bunuh diri adalah karena ada masalah, trus malah nambahin masalah keluarga pula. Kan itu malah ngerepotin yak --"

Oke, balik lagi ke urusan suicide.
Bagi gue yang seorang muslim, suicide is not a choice. Kita boleh gagal, tapi ga boleh putus asa. Kita boleh gagal, tapi kita harus sabar menerima takdir itu. Kita boleh gagal, tapi tetap harus bersyukur. Ngetiknya sih gampang, tapi dikerjainnya susah. Tapi kalau ga susah, ya ga naik kelas dong?

Jadi inget dengan salah satu status Aa' di Smansa yang pernah jadi ketua BEM TPB IPB *yaelah pasti ketebak ini siapa* yang intinya begini,
"Jika kita sudah bersyukur ketika mendapat anugerah dan bersabar ketika mendapat musibah, sudahkah kita bersyukur ketika mendapat musibah dan bersabar ketika mendapat anugerah?"
Level gue belum sampai situ..
T_T

Suicide is not a solution. Mungkin di dunia bisa selesai, tapi who knows kabar di akhirat? Yah, mungkin kepercayaan dari beliau-beliau yang suicide itu ga ada kehidupan lagi setelah dunia. Tapi kan gue percaya.

Kan lagipula kata Rasul,
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya adalah baik baginya. Hal ini tidak didapatkan kecuali pada diri seorang mukmin. Apabila mendapatkan kesenangan, dia bersyukur, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya. Sebaliknya apabila tertimpa kesusahan, dia pun bersabar, maka yang demikian itu merupakan kebaikan baginya.”
Hadist Riwayat Muslim

Kalau kita punya tempat bergantung yang kuat sih harusnya suicide is not a choice.

Pesan moral dari tulisan ini adalah,
Jangan panik kalau main ke Jepang dan menemukan kasus suicide.
#salah

Pesan moral dari tulisan ini adalah,
Ibadah disertai niat yang bener.
Kalau suatu saat nanti ga ada manusia yang bisa nolong, Allah bisa.
:)

Tidak ada komentar: